Menu
Teguh Indonesia

Mumpung Punya Bibir, Tersenyumlah


Oleh: Teguh Estro*

    Wajah merupakan bagian tubuh yang paling mudah diingat oleh orang lain. Seringkali kita terasa sulit mengenali foto yang tidak tampak wajahnya. Ketika seorang teman berdiri membelakangi kita, terkadang ada perasaan ragu untuk menegur. Lagi-lagi karena untuk mengenali seseorang secara pasti memang harus lewat wajahnya. Karenanya penampilan wajah yang menarik, tentu menjadi poin plus dalam dunia pergaulan. Maka dari itu, seharusnya di depan cermin rumah kita tertulis “Sudah Betulkah Muka Anda”.

Persoalan wajah yang menarik bukan persoalan mulus ataupun tidak, mancung atau pesek bahkan tidak mesti juga persoalan putih dan gelap kulitnya. Namun yang terpenting sebetulnya hanya perkara sepele. Yakni “Wajah Yang Bersahabat”. Alangkah senangnya ketika tubuh lelah sehabis pulang kerja, disambut oleh istri dengan wajah tersenyum lebar penuh ketulusan. Karena Sifat dasar manusia adalah ingin merasa nyaman. Mereka tentu akan menghindari apapun yang mengancam dirinya. Termasuk dalam hal ini adalah wajah-wajah yang mengancam. Si cantik dan si tampan sekalipun tidak akan memberikan kenyamanan jika selalu menampakkan muka cemberut, ketus dan sorot mata yang sinis. Oleh karenanya seorang ‘Ngobrolers’ yang handal tentu lihai dalam memamerkan senyum yang paling menarik. Apalagi jika anda bukanlah orang yang berhidung mancung, kulit kasar dan gelap. Maka mau tidak mau bertobatlah, dan berikan senyum yang menarik pada lawan bicara anda.

Alangkah baiknya jika dalam sehari, kita menyempatkan latihan senyum di depan kaca rumah. Tariklah ujung bibir selebar mungkin dan simetris hingga terlihat sedikit gigi bagian depan. Sekali lagi perlu ditekankan kata-kata ‘harus simetris’. Hal ini karena jika panjang ujung bibir yang ditarik bagian kanan atau kiri berbeda sedikit saja, maka akan memunculkan kesan yang buruk. Kesannya melecehkan, merendahkan orang lain, tidak menghargai dan lainnya. Maka dari itu pengertian tehnis senyum nan tulus adalah senyum yang lebar dan simetris. Dan satu lagi ditambah dengan tatapan mata yang rileks.

Kenapa senyum yang tulus harus dilatih? Karena membiasakan wajah untuk bisa tersenyum dengan tulus tidaklah mudah. Apalagi dalam kondisi yang begitu menghimpit. Baik menghimpit emosi maupun menghimpit isi dompet. Semisal seorang karyawan toko yang tengah putus cinta. Padahal ia dituntut untuk selalu keep smile dengan pelanggannya. Dan akan terlihat perbedaan antara bibir yang terbiasa dengan yang terpaksa.

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro*     Wajah merupakan bagian tubuh yang paling mudah diingat oleh orang lain. Seringkali kita terasa sulit mengenali...
Teguh Estro Selasa, 13 Desember 2011
Teguh Indonesia

Sumpah…! Akulah Pemuda


Oleh: Teguh Estro*


    Hari sumpah pemuda, 28 Oktober merupakan hari raya bagi segenap generasi muda  di Indonesia. 82 Tahun yang lalu terkumpul sekelompok pemuda dari berbagai pelosok nusantara untuk mem’baiat’ dirinya sebagai Pemuda Indonesia. Perjuangan mengusir penjajah memang tidak terlepas dari peran serta pemuda. Terusirnya ‘kompeni’ dari Nusantara adalah harga mati. Dan pemuda di masa lalu telah mengawali tekad bersejarah itu. Belanda memang terlampau licik dalam melancarkan politik adu dombanya. Namun kaum muda tak kehabisan akal dengan itu semua. Mereka bersumpah bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Sumpah tersebut menginspirasi para pejuang di daerah-daerah untuk menyatukan kekuatan dalam mengusir penjajah.

Bangsa ini harus berterima kasih kepada ibu-ibu yang rajin melahirkan. Pasalnya merekalah yang ‘menyuplai’ stok pemuda setiap tahunnya. Konon dahulu bung Karno begitu bangga dengan adanya pemuda di republik ini. Hingga terkenal ucapan beliau “ Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”. Bahkan juga dalam sejarahnya Umar ibn Khatab justru sering bertanya kepada pemuda jika tengah menghadapi polemik dalam pemerintahan. Contoh lain yang begitu membekas di Indonesia ketika sekumpulan pemuda dari kampus berduyun-duyun menggulingkan Soeharto.

    Secara fisik, masa muda adalah waktu kemuncak untuk semua kemampuan. Saat mudalah seseorang memiliki fisik dalam kondisi yang terbaik. Coba kita melirik perlombaan olahraga. Sangatlah jarang ada atlet olahraga berusia diatas 40 tahun. Lionel Messi bersinar di Barcelona saat ia berusia 22 tahun. Chris John mengalami karier emasnya sebagai petinju dunia di usia muda. Taufik hidayat pun menjadi juara Indonesia terbuka dunia saat ia berusia 18 tahun. Sungguh fantastik, geliat anak manusia di usia muda.

Seorang pemuda biasanya memiliki sifat alamiah yang hanya dimiliki pada masa muda saja. Pertama adalah adanya naluri ‘tidak mau mengalah’ yang menjadikannya berani memulai perjuangan hidup. Ia selalu ingin terlihat lebih hebat, lebih pintar, lebih gagah dan lebih bergaya daripada yang lainnya. Karenanya efek buruknya sering terlihat anak muda ‘bermain’ balap liar di jalanan. Hal tersebut tidak lain karena ia ingin mempertontonkan kehebatannya pada publik. Termasuk dengan banyaknya tawuran-tawuran, nyaris didominasi oleh anak-anak muda. Tentu saja akibat salah kaprah dalam menyalurkan sifat alamiah mereka yang ingin terlihat lebih kuat di mata orang lain. Alangkah bangganya negeri ini jika watak ‘tidak mau mengalah’ tersebut disalurkan untuk mengibarkan sang merah putih di setiap kejuaraan olahraga antar negara. Alangkah hebatnya jika Bambang Pamungkas dkk dalam Timnas sepakbola menjadi tim yang tidak mau mengalah pada tim negara manapun. Walaupun pada kenyataannya kini tim sepakbola Indonesia adalah tim yang paling sering ‘mengalah’ pada negara lain.

Sifat khasnya yang kedua adalah suka untuk mencoba hal-hal yang baru. Karena masa muda adalah peralihan dari kanak-kanak yang seringkali dibatasi oleh keluarga menuju dunia kebebasan memilih. Jika di masa kanak-kanak ia mengenal dan mempelajari sesuatu berdasarkan informasi dari orang tuanya. Namun kini para pemuda bisa mengenal sesuatu yang baru dengan sendirinya, tanpa harus diketahui orang tuanya. Mereka bebas berkenalan dengan apapun dengan usaha mereka sendiri bukan lagi bimbingan ayah dan ibunya. Karena bagi mereka, sesuatu yang baru adalah prestise dan tantangan yang harus ditaklukan. Walaupun dampak negatifnya, karena karakter itulah mereka bisa berkenalan dengan dunia Narkoba dan pergaulan bebas. Bukankah kini penikmat Narkoba dan pelaku seks bebas tidak sedikit dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Padahal sifat alami pemuda ini akan berdampak positif jika diarahkan dengan benar. Jika kaum muda memang gemar mencoba hal-hal yang baru, maka lakukanlah hal tersebut di laboratorium penelitian. Temukan penemuan-penemuan baru yang berguna bagi masyarakat.

Di zaman modern ini bangsa Indonesia masih sangat membutuhkan peran pemuda. Negara yang tengah terpuruk ini sangatlah membutuhkan sosok yang tidak mau mengalah pada persoalan yang melilit tiada akhir. Begitu juga kehadiran manusia yang terobsesi pada tantangan baru sungguh ditunggu-tunggu kemunculannya oleh bangsa ini. Pemberantasan korupsi adalah tantangan baru maka cobalah wahai pemuda. Menuntaskan persoalan kemiskinan adalah tantangan baru maka tuntaskan segera wahai darah muda. Mengatasi lemahnya pendidikan negeri ini juga tantangan baru, maka atasilah wahai anak muda. Hanya pemuda saja….!


Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro*     Hari sumpah pemuda, 28 Oktober merupakan hari raya bagi segenap generasi muda  di Indonesia. 82 Tahun yang la...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Episode DEMOKRASI Dalam Islam


Oleh: Teguh Estro

Wajarlah, sekiranya terdapat polemik dalam menyikapi demokrasi. Pasalnya umat Islam memiliki tradisi ‘hati-hati’ dalam beramal. Sebagaimana sebuah kaidah dalam fiqh awlwiyat (kaidah fiqh prioritas) menyebutkan. “…Al-akhdzu bits-tsiqoti wal-‘amlu bil-ihtiyaathi fii baabil-‘ibaadati awla…” (Mengambil pendapat yang terpercaya dan beramal dengan kehati-hatian dalam bab Ibadah, itulah yang diutamakan). Bahkan Ulama-ulama di zaman baheula sekalipun tetap mendahulukan kehati-hatian dalam berucap, bersikap dan beramal.


Demokrasi, bahwasannya ikhtilafiyah didalamnya hanyalah perdebatan yang terwariskan dari pemikir-pemikir lawas. Tidak ada sesuatu yang baru dalam polemik ini. Dan seringkali justru ‘menjebakkan’ diri untuk membenturkan antara demokrasi dan Islam. Akan tetapi sebagai upaya berhati-hati dalam bersikap, maka tradisi penyerta yang harus dilakukan yakni dengan berupaya membetulkan pemahaman tentang demokrasi.
‘Secara formalitas’ sistem demokrasi memang terlahir dari barat. Sehingga wajar jika sibghah Islam agak ‘terlambat’ menyusup ke dalam sejarah demokrasi. Dan terkesan Islamlah sebagai pihak yang mengadopsi sistem ini. Dan tentu saja beberapa pihak yang ‘masih’ berhati-hati sangat berkeberatan jikalau Islam disejajarkan dengan produk barat itu. Sampai pada titik yang extream merekapun menolak demokrasi mentah-mentah.

Selanjutnya, definisi demokrasi yang terlalu netral membuat siapa saja boleh menafsirkannya. Sehingga literatur yang bertalian dengan sistem kenegaraan ini tidaklah sulit untuk dicari. Namun sayangnya, ilmuwan barat telah terlebih dulu menjadi muassis yang memunculkan teori-teori demokrasi. Begitupun ide-ide liberal mereka kerap kali melekat dalam teori-teori tersebut. Dan parahnya negara-negara barat justru menyalahgunakan demokrasi tesebut untuk memojokkan, menjajah dan merusak umat Islam. Sehingga sebagian umat Islam kian ‘alergi’ saja terhadap demokrasi.

Jika demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi prosedural, tak mengapa ia diklaim sebagai made in Western. Akan tetapi jika yang dimaksud adalah demokrasi substansial, maka Islam tentu memiliki sejarah tersendiri. Beberapa substan dari demokrasi yakni konsep musyawarah, kontrak sosial negara-rakyat, konsep keadilan sosial dll. Dan jika ditilik dari sejarahnya, maka Rosullullah Saw dan khalifah-khalifahnya sejatinya telah mengamalkan demokrasi substansial. Semisal konsep musyawarah yang terwujud dalam piagam madinah. Dan komponen masyarakat Madinah yang majemuk berhasil disatukan Rasulullah melalui sebuah piagam yang fenomenal, yaitu Piagam Madinah. Dalam Piagam itu diatur mekanisme hubungan yang setara dan adl antara pemeluk Islam, Nasrani, Yahudi dan berbagai suku yang ada di Madinah kala itu” (Amin Sudarsono : 2010)

Pasca runtuhnya Ottoman Kingdom, umat Islam sungguh merasa terpukul mengaduh-aduh. Pasalnya di satu sisi sistem kekhalifahan tidaklah mudah didirikan dalam sekejap kilat, dan disisi lain umat Islam belum siap untuk menjajal sistem kenegaraan di ‘luar’ pakem. Sehingga tercerai-berainya umat Islam pada saat itu tentu saja tidak asal berpecah-belah. Akan tetapi masing-masing berupaya keras menyatukan kembali umat Islam dengan aneka macam ijtihad. Dan memunculkan firqah-firqah yang saling ‘berdialektika’ hingga akhir-akhir ini. Namun sisi positif dari runtuhnya Turki Utsmani adalah umat Muhammad Saw ini mulai melirik urgensi seorang Muslim menjadi negarawan. Sehingga firqah-firqah yang –dipaksa sejarah- terlahir untuk berlomba-lomba menata umat. Mulai dari Al-Ikhwan Al-Muslimin, Al-Hizb-atTahrir, Pan-Islamica, Salafiyah, Ahmadiyah, Nahdlatul ‘Ulama, Muhammadiyyah, Jama’ah Tabligh dll.

Akhirnya sampailah kita pada pembahasan mengenai ikhtilafiyyah demokrasi pada internal umat Islam sendiri. Salah satu perselisihan fundamental dalam diskursus ini adalah terkait posisi Islam dalam dasar negara.
Ada yang benar-benar ‘tidak rela’ jika ada sistem lain yang dijadikan patokan dalam berhukum. Mereka bersikeras untuk berhukum hanya dengan hukum Allah Swt bukan sistem lain. Sehingga golongan tersebut memilih untuk membelakangi demokrasi lantaran dianggap bukan sebuah sistem yang bersumber dari Allah –dengan kata lain tidak menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai pijakan berhukum. Sebut saja di Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, bukan al-Quran dan Hadits. Ada beberapa pihak yang jelas menolak Pancasila sebagai ideologi tunggal di tanah air. Dan terkadang penolakan yang dilakukan justru dengan melakukan peberontakan destruktif (missal: DI/TII)

Masih ingat bagaimana kekeuhnya Moehammad Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Respek positif terhadap beliau adalah karena lebih memilih memperjuangkan Islam dari arah dalam. Dengan kata lain masuk ke dalam Konstituante dan berdebat hebat di dalamnya. Walaupun akhirnya beliau mulai ‘melunak’ dengan menuangkan tulisan di majalah mingguan Hikmah terbitan 9 Mei 1954. Artikel tersebut berjudul: “Bertentangankah Pancasila Dengan al-Qur’an?”

Dia bertanya mana mungkin al-Quran yang memancarkan tauhid bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Mana mungkin al-Qur’an yang ajarannya penuh dengan kewajiban enegakkan ‘adalah ijtima’iyah dapat apriori bertentangan dengan sila Keadila Sosial? Mana mungkin al-Quran yang justru memberantas sistem feodalisme dan pemerintahan istibdad (diktator) sewenang-wenang, serta meletakkan dasar musyawarah dalam susunan pemerintah, dapat bertentangan dengan apa yang dinamakan Kedaulatan Rakyat ? mana mungkin al-Quran yang menegakkan islah bainannas (damai antara manusia) dapat apriori bertentengan dengan yang disebut Peri Kemanusiaan? Mana mungkin al-Quran yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan, dapat apriori bertentangan dengan Kebangsaan.

Selain M.Natsir masih banyak sejumlah yang meperjuangkan Islam sebagai Ideologi dan Dasar Negara. Merekaterdiri dari 15 orang berjuang di dalam BPUPKI. Di antara 15 orang golongan Nasionalis Islam tersebut adalah KH.Ahmad Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, KH.Mas Mansur, KH.Kahar Muzakkir (Ketiganya dari unsur Muhammadiyyah), KH. Masykur dan KH.A.Wachid Hasyim (Keduanya dari NU), Sukiman Wiryosandjoyo (PII), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Partai Penyadar) dan KH.Abdul Halim (PUI).

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro Wajarlah, sekiranya terdapat polemik dalam menyikapi demokrasi. Pasalnya umat Islam memiliki tradisi ‘hati-hati’ dalam b...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Paradigma Definisi Negara Islam yang Ideal.

Oleh: Teguh Estro*


Agama Allah di muka bumi bukanlah ajaran yang asing bagi dunia pemerintahan. Sejak Adam a.s tercipta, ia telah mengalami ‘ujian’ kepemimpinan sebagai khalifatu fil ardl. Dan Nabiyullah Adam a.s yang cerdas itu pun bisa mengakhiri polemik mengenai posisi khalifah-Tuhan-manusia. Kendati salah satu konsekuensinya adalah tergelincirnya manusia pertama itu dari surge ke bumi. Kisah al-anbiya yang paling popular terkait kepemerintahan yakni nabiyullah Yusuf a.s, Sulaiman a.s dan Muhammad saw.

Berbagai model kepemerintahan telah di’model’kan oleh para nabi hingga sahabat bahkan umat Islam di abad pertengahan. Akan tetapi tidak ada sebuah daliil yang menyatakan bahwa suatu model pemerintahan tertentu diaggap ideal. Kenegarawanan yang dicontohkan Nabi Yusuf a.s memang ‘ideal’ di masanya. Begitupun model kerajaan Nabi Sulaiman a.s menjadi legenda pada zamannya. Nabi Muhammad Saw sebagai qudwah umat akhir zaman juga men-contohkan model pemerintahan ideal di zamannya saat menetap di Yatsrib.

Pola yang berbeda juga dilakukan oleh para sahabat semisal Mu’awiyyah bin Abi Sufyan yang meniru kerajaan ala Romawi dan Persia. ‘tradisi’ Mu’awiyyah ini bertahan dan berjaya hingga era Umar bin Abdul Aziz r.a. Sehingga penulis berpendapat, model pemerintahan ideal itu tidaklah sak-klek mengadopsi satu model saja. Akan tetapi model ‘negara Islam’ ideal itu dinamis sedangkan tujuannya untuk menegakkan maqashidu asy-syari’ah itulah yang baku. Sehingga paradigma mengenai ‘negara Islam’ yang ideal harus benar diposisikan sebelum kita mendefinisikannya.

…Dari sekian banyak bentuk pemerintahan, Ibnu Abi Rabi’ memilih Monarki atau kerajaan dibawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal sebagai bentuk yang terbaik………………………… keyakinannya bahwa dengan banyak kepala, maka politik negara akan terus kacau dan sukar membina persatuan…” (rujukan : al-Ahkam ash-Shulthaniyyah)

Dalam buku yang sama Imam al-Mawardi menyampaikan :
“… Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal…”


Imam Ibnu Taimiyah menyampaikan yang dikutip oleh H.Munawir Sjazali, M.A :
“…Ibnu Taimiyah mendambakan ditegakkannya keadilan sedemikian kuat, sehingga dia cenderung untuk beranggapan bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil meskipun Islam, dengan menyetujui ungkapan bahwa Allah mendukung negara yang adil meskipun kafir, dan bahwa Allah tidak mendukung negara yang tidak adil sekalipun Islam…

Dari berbagai pendapat ulama diatas, penulis kian menguatkan bahwasannya konsep ‘negara Islam’ nan ideal adalah dinamis. Hanya saja tujuannya untuk menegakkan maqhasidu asy-syari’ah adalah harga mati. Sehingga apapun model pemerintahannya jika ia bisa memberikan peluang lebih besar dalam menegakkan syari’at maka itulah kondisi ideal. Maka dengan kata lain, Negara Islam Ideal adalah negara yang memiliki model pemerintahan yang memungkinkan diimplementasikannya syaria’at Islam.

Sedikit mengulang uraian yang diatas. Bahwa pada masanya, model kerajaan yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman sudah ideal. Karena pada masa itu beliau adalah Ulama’ sekaligus Umara’ sehingga lebih memiliki power dalam mengatur rakyat sesuai syariat allah Swt. Rasulullah Saw tidaklah jauh berbeda, meskipun secara simbolis beliau tidaklah disebut sebagai seorang raja. Model pemerintahan Rasul saw saat hidup di Madinatu al-Munawarah, merupakan salah satu model yang ideal di masanya. Lantas di zaman umat Islam saat ini, model pemerintahan semacam apa yang terasa lebih ideal untuk digunakan…?

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro* Agama Allah di muka bumi bukanlah ajaran yang asing bagi dunia pemerintahan. Sejak Adam a.s tercipta, ia telah mengalam...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Menimbang-nimbang NKRI Sebagai ‘Negara Islam’

Oleh: Teguh Estro


Mengucap kata NKRI, tentu gambaran luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya budaya adat-istiadat. Wajar saja, pasalnya sejarah yang tersebar mengenai gambaran Indonesia memanglah menceritakan demikian. Akan tetapi selama ini, rakyat Indonesia tidaklah diceritakan mengenai campur tangan Islam dalam membangun NKRI. Andaikan lembaran kisah mengenai Manifesto muslim diceritakan secara jujur, maka kita akan tahu begitu islami-nya proses perjuangan hingga pembentukan NKRI.

Jujur sajalah, siapa yang memperjuangkan negeri ini dari penjajahan yang berkepanjangan. Maka umat Islamlah jawabannya. Kurang gagah berani apalagi Cut Nyak Dhien dalam melawan ‘kompeni’ di ujung Pulau Sumatera. Begitupun, bagaimana sikap Sunan Gunung Djati yang ‘tidak mau mengalah’ dalam mempertahankan kesultanan Banten, Jayakarta dan Cirebon dari ancaman VOC. Belum selesai sampai disitu, mungkin kita masih ingat bagaimana Jenderal Soedirman yang awalnya hanyalah seorang ‘guru ngaji’ di persjarikatan Muchammadijah. Beliau menjelma menjadi seorang jenderal besar mengerikan yang membawa konsep perang gerilya. Sehingga dengan bangga penulis beranggapan bahwa saham terbesar dalam tubuh bangsa ini adalah hasil jerih payah umat Islam di nusantara.

Begitupun dalam perumusan pancasila dan lambang negara lainnya. Mereka para perumus konsep negara Indonesia adalah para ulama. Setelah menerima kritukan dari M.Natsir, Agus Salim dan A.Hassan terkait konsep Nasionalisme, sang proklamator ini menyampaikan maksud nasionalisme yang benar. Ia mengatakan bahwa nasionalisme yang digagas bukanlah bentuk Chauvinism atau bentuk tiruan dari nasionalisme versi barat, melainkan sebuah bentuk nasionalisme yang menjadikan orang-orang Indoensia menjadi hamba Tuhan yang hidup dalam roh tau jiwa agama.

Dalam perkembangannya, model pemerintahan Indonesia belum pernah keluar dari pakem demokrasi. Entah itu demokrasi terpimpin, demokrasi liberal, demokrasi pancasila dan lain-lain. Sehingga sungguh tepat jika kita ajukan pertanyaan, bagaimana posisi syariat Islam dalam model demokrasi di Indonesia selama ini. Jika dalam kelahirannya, NKRI telah sah sesuai khittah keIslaman. Akan tetapi perjalanan pasca lahirnya Negara berpenduduk muslim terbesar ini memang ‘agaknya’ sedikit mereduksi nilai-nilai Islam. Sehingga akhir-akhir ini tidak jarang sebagian kecil gerakan ‘ekstrim’ yang menuduh NKRI sebagai Negara kuffar bahkan menganggap sebagai daru al-harb.

Diagnosa Beberapa ‘Kekeliruan’ NKRI Yang Sudah Ideal

Jikalau hendak mengkoreksi sebuah sistem terlihat baik atau kurang baik, maka yang menjadi pertanyaan adalah siapa korektornya. Pun Indonesia yang berdaulat ini jika ditilik dari sudut pandang demokrasi barat-liberal-sekular, boleh jadi malah menjadi contoh bagi bangsa lain. Akan tetapi mestinya, Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap Islam sebagai agama mainstream di nusantara. Maka bagaimana sistem demokrasi ala Indonesia ini apabila dikoreksi dengan menggunakan pisau analisis Islam.

Salah satu ciri khas Islam dalam bernegara, yakni menjadikan hukum/syara’ menjadi panglima dalam menegakkan keadilan. Sebab salah satu fungsi negara adalah menjadi ‘pengadilan’ yang seadil-adilnya terhadap rakyatnya. Dan penegakkan keadilan, merupakan tradisi agama ini di setiap model pemerintahan Islam yang telah tegak di muka bumi. Semangat menegakkan keadilan selalu dinomor-satukan, Entah itu tatkala Umar bin abdul aziz r.a berjaya di masa Bani Umayyah ataupun saat kesultanan Turki Utsmani yang mengalami pesakitan karena ‘dibekukan’ oleh sejarah.

Indonesia, saat ini telah melampaui era kejumudannya. Penandanya terlihat saat reformasi yang bergulir 13 tahun lalu. Sehingga kian hari, negara yang dikepalai oleh presiden SBY ini selalu menuju perbaikan. Dan salah satunya bagaimana keadilan di negeri ini sering tersorot media publik, kendati jarang diselesaikan secara hukum. Kalau dulu penindasan TKW, KDRT, Penipuan dana di BANK bukanlah tidak ada akan tetapi tidak ter-ekspos ‘borok’nya. Dan pada masa keterbukaan informasi saat ini segala ‘borok’ di negeri ini dipertontonkan, meski sedikit ‘lebay’ dalam mempublishkannya. Salah satu catatan hitam Indonesia adalah kurangnya komitmen para penegak hukum dalam mengurus keadilan. Dan parahnya penyakit ini munculnya secara laten dan mengakar hingga mentradisi. Sehingga penyelesaian yang paling efektif untuk memotong malpraktik keadilan di Inonesia yakni melalui pemimpinnya, yakni PRESIDENnya, yakni SBY.

Selanjutnya, tugas negara sebagai pengayom haqqul adami para rakyat memang terlihat tidak ‘islami’ di Indonesia ini. Bukan berarti para pemimpin harus berpeci dan sarungan, akan tetapi pendistribusian lumbung-lumbung kesejahteraan kepada rakyat justru macet…! Mungkinkah karena luasnya negara ini, hingga sulit mendistribusikan kesejahteraan hingga akhirnya tidak di distribusikan. Penulis kira, tidaklah demikian. Penyebab macetnya pemerataan kesejahteraan adalah pola kepemimpinan feodal-pragmatis masih menjangkit. Dan parahnya pasca otonomi daerah, penyakit warisan ORBA tersebut kian terimplementasi di daerah-daerah. Tradisi menyunat dana, uang rokok, ‘biaya ongkos’ yang tentu saja kesemuanya berstereotip negatif telah mendarah daging.

Islam sebagai pelopor jargon rahmatan lil ‘alamin, telah banyak memberikan kisah inspiratif dalam mendahulukan rakyat tinimbang khalifah. Umar ibn Khattab r.a telah memikul gandum, Abu Bakar ash-shidiq telah menyumbangkan seluruh hartanya, Umar ibn Abdul Aziz telah menjadikan zakat menjadi sulit diedarkan (maksudnya, sebab rakyatnya telah merata kemakmurannya). Dan kuncinya adalah pada kepemimpinannya yang harus TEGAS dalam mengutamakan umat mustadh’afiin. KALAU PIDATO SAJA CURHAT KARENA TIDAK PENAH NAIK GAJI, bagaimana bisa tegas terhadap polemik kesejahteraan ini.
Sehingga penulis berkesimpulan, setidaknya KEADILAN dan KESEJAHTERAAN yang kurang diperhatikan di Indonesia membuatn NKRI ini kurang ‘islami’.

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro Mengucap kata NKRI, tentu gambaran luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya budaya adat-istiadat. Wajar saja, pasalnya se...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Menggagas Kepemimpinan Khas Jogjakarta

Oleh: Teguh Estro


Kota Ngayogyakarta lahir dari peristiwa sejarah. Perjanjian Gianti pada tahun 1755 memaksa Kesultanan Mataram rela membagi kekuasaannya menjadi dua bagian. Sebagian masih dikuasai kesultanan Surakarta dan sebagian lagi menjadi milik kekuasaan pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa diberi nama kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah kekuasaannya adalah kota Ngayogyakarta sebagai ibu kota dan beberapa daerah mancanegara mataram lainnya.

Setiap membincangkan sejarah kota Yogyakarta, tentu tidak terlepas dari sejarah kepemimpinan tanah jawa. Dan pastinya memiliki ke-khas-an tersendiri tinimbang daerah lainnya di Indonesia. Salah satu yang paling kental yakni adanya peranan falsafah adat budaya yang mempengaruhi model kepemimpinan di kota Yogyakarta ini. Dalam falsafah jawa kuno, seorang pemimpin bukanlah sekedar pengatur saja. Akan tetapi dia adalah Titisan Saking Sang Hyang widhi di tanah jawa. Atau setelah berasimilasi dengan dunia Islam, sebutan itu berganti dengan Khalifatullah ing tanah jawi. Sehingga tidak jarang apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin tentu akan benar-benar menjadi bakti oleh rakyatnya. Tradisi falsafah tersebut terus diyakini sesuai dengan perkembangan zamannya.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian NKRI dengan nama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan tentu saja sebagai ibu kota dari kerajaaan, Kota Ngayogyakarta turut menjadi bagian dari NKRI dengan nama Kotamadya Yogyakarta. Dan kini model kepemimpinan di kota Yogyakarta juga mengikut konstitusi NKRI dengan Walikota sebagai pimpinannya. Begitupun lembaga lainnya semisal adanya DPRD, lembaga peradilan dsb. Tentu saja perubahan wajah itu ikut mempengaruhi kian tenggelamnya model khas kepemimpinan dan pemerintahan ala pribumi. Sehingga perlu digali kembali bagaimana model kepemimpinan khas ala Yogyakarta. Sebagaimana sejarah bumi Mataram yang tidak terlepas dari pengaruh Islam dalam pemerintahannya.

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro Kota Ngayogyakarta lahir dari peristiwa sejarah. Perjanjian Gianti pada tahun 1755 memaksa Kesultanan Mataram rela memb...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Pendidikan Karakter 'Under Cover'


Oleh: Teguh Estro

A.    Pendahuluan
Potret buruk dari kelakuan manusia Indonesia belakangan ini kerap dijadikan senjata untuk menyerang lumpuhnya sektor pendidikan. Sebut saja korupsi, lagi – lagi korupsi dan terus korupsi. Apakah sebuah kebetulan, jika banyak kaum elite yang hobi mengambil uang haram. Bahkan saat ini ‘pencuriannya’ bukan lagi berbentuk uang cash saja. Korupsi asset bangsa, pejabat berbagi proyek sampai jual beli dalam legalisasi undang-undang.

Mungkin sejenak kita bakal terheran-heran. Sosok yang tampilan luarnya necis, pakai kopiah dan kemana-mana selalu assalamu’alaikum. Tapi ternyata justru dialah yang menjadi  ‘preman proyek’ di gedung DPR. Sekali lagi, apakah kebobrokan ini sebuah kebetulan saja…? Seorang bupati terpaksa digiring ke sel dengan perkara tindak asusila. Apakah ini terjadi kebetulan…? Dan masih banyak lagi cuplikan yang sebenarnya membingungkan.

Kesemuanya justru akan terlihat wajar, jika hendak melirik ulang darimana mereka berasal, ya bangku sekolah. Masih ingat bu Siami dan anaknya si Alif. Mereka terpaksa terkucilkan karena tersandung kasus pencemaran nama sekolah. Pasalnya mereka terlalu ‘vokal’ menceritakan contekan masal di sekolahnya. Dan kacaunya, Fenomena bu Siami dan Alif hanyalah riak-riak kecil dari gunung es kasus serupa di Indonesia. Maka kesimpulan sementara, kemunculan mahluk bernama koruptor itu bukanlah hal yang kebetulan. Karena karakter penipu ulung sudah ‘dikader’ sejak mereka berusia 10 tahun di bangku sekolah. Ya, karakter negatif yang terbina.

B.    Asal Muasal Pendidikan Karakter
Tolok ukur kebenaran sebuah nilai dalam perspektif filsafat adalah aksiologi. Perbedaan pandangan tentang aksiologi akan membedakan baik-buruknya sesuatu. Artinya jika pendidikan sebagai wujud transfer of value (proses transfer nilai), maka indikator keberhasilannya terletak pada aspek aksiologis juga. Secara lebih sederhana semisal pada mata pelajaran PPKN. Tentu saja bukan sekedar penilaian dengan angka-angka, akan tetapi bagaimana nilai yang diajarkan tersebut mampu dipraktekkan oleh para siswa. Dan kata ‘karakter’ agaknya bisa lebih representatif untuk mewakili itu. Sehingga tidak ada pembelaan terhadap siswa yang gemar tawuran, meski ujian mata pelajaran PPKN berangka sempurna.

Sudah jama’ diketahui akan dekadensi moral bangsa ini. Kian lama terus mengakar menjadi sebuah tradisi berbahaya. Seks bebas semakin dimaklumi, NARKOBA menjadi jajanan mahasiswa dan korupsi yang kini mewabah. Jelas sekali butuh perombakan building character terhadap anak-anak bangsa ini. Hanya saja, apakah Pendidikan berbasis karakter yang dicanangkan pemerintah adalah jawabannya?
Pendidikan berbasis karakter telah digaungkan oleh Kemendikbud (dulu Kemendiknas) sejak awal tahun 2010 lalu. Ada 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Diknas. Antara lain sbb:

1.    Religius
2.    Jujur
3.    Toleransi
4.    Disiplin
5.    Kerja keras
6.    Kreatif
7.    Mandiri
8.    Demokratis
9.    Rasa ingin tahu  
10.    Semangat kebangsaan
11.    Cinta tanah air
12.    Menghargai prestasi
13.    Bersahabat
14.    Cinta damai
15.    Gemar membaca
16.    Peduli lingkungan
17.    Peduli Sosial
18.    Tanggung Jawab
    
Sebenarnya Pendidikan Karakter bukanlah sesuatu yang baru jika ditilik dari tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003. Yang berbunyi sebagai berikut :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam tujuan pendidikan nasional, sudah tersebut karakter bangsa yang dijadikan target. Yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan lebih komprehensif lagi setelah disusun oleh Kemendiknas menjadi 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

C.    Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa
Salah satu alasan mendesak dibutuhkannya pendidikan karakter bangsa yakni disebabkan karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun bangsa yang unggul. Sedikitnya terdapat 55 kebiasaan kecil yang menghancurkan bangsa.

a.    Kebiasaan memperlakukan diri sendiri

1     Meremehkan Waktu     
2    Bangun Kesiangan     
3    Terlambat Masuk Kantor     
4    Tidak Disiplin     
5    Suka Menunda Pekerjaan     
6    Melanggar Janji     
7    Menyontek     
8    Ngrasani     
9    Kebiasaan Meminta     
10    Stress  
11    Mengangga Berat Setiap Masalah     
12    Pesimis Terhadap Diri Sendiri     
13    Terbiasa Mengeluh     
14    Merasa Paling Hebat     
15    Meremehkan Orang Lain     
16    Tidak Sarapan     
17    Tidak Biasa Antri     
18    Banyak Tidur     
19    Takut Berubah    
20    Banyak Nonton TV

    

b. Kebiasaan buruk memperlakukan lingkungan

1    Merokok di sembarang tempat     
2    Membuang sampah di sembarang tempat     
3    Corat coret di jalanan     
4    Kendaraan kita mengotori udara     
5    Jalan bertabur iklan     
6    Konsumsi plastik berlebihan     
7    Tidak biasa mengindahkan aturan pakai     
8    Menebangi pohon di hutan berlebihan     
9    Menganggap remeh daur ulang    

C.    Kebiasaan yang merugikan ekonomi
1       konsumtif     
2    pamer     
3    silau dengan kepemilikan orang lain      
4    boros listrik     
5    nyandu nge-game     
6    tidak menyusun rencana-rencana kehidupan     
7    tidak biasa berpikir kreatif     
8    Shopaholic     
9    mengabaikan peluang    

d.    Kebiasaan buruk dalam bersosial
 

1       Tidak mau membaca     
2    Jarang mendengar pendapat orang lain     
3    Nepotisme     
4    Suap menyuap     
5    Politik balik modal     
6    Canggung dengan perbedaan     
7    Beragama secara sempit     
8    Lupa sejarah     
9    Demo upah/gaji     
10    Tawuran     
11    Tidak belajar dari pengalaman     
12    Birokratif     
13    Meniru     
14    Provokatif dan mudah diprovokasi     
15    Tidak berani berkata “tidak”     
16    Berambisi menguasai     
17    mengesampingkan tradisi adat    

    Pendidikan berbasis karakter muncul untuk menjawab keresahan moral yang sangat mengakar di bangsa ini. Sehingga harapannya dengan adanya kurikulum berbasis karakter, RPP dan impementasi KBM berbasis karakter bisa mewujudkan lulusan yang berkarakter kuat. Karakter jujur menjadi jawaban wabah korupsi, karakter cinta damai menjadi solusi untuk kerusuhan dan tawuran selama ini dan karakter tanggung jawab sebagai modal pembangunan bangsa.

D.    Implementasi Pendidikan Karakter dan Evaluasinya

Dalam Prakteknya :
1.    Guru dituntut menemukan sendiri metode yang tepat untuk menggali karakter tersebut. Dan dituangkan dalam bentuk Kurikulum, RPP selanjutnya KBM. Evaluasinya untuk saat ini setiap guru kesulitan untuk menggali karakter tersebut. Apalagi kualitas guru yang beum mencukupi.
2.    Guru diharuskan mengawasi tingkah laku para siswa. Evauasinya, ketidakseriusan para guru dalam mengawasi jika siswanya dalam jumlah banyak.
3.    Guru dituntut memberikan tauladan terlebih dahuu mengenai karakter tersebut. Evauasinya masih banyak justru institusi sekolah yang me’legal’kan guru-guru nakal.
4.    Satuan sekolah dituntut untuk bertindak aktif kepada semua elemen. Antara lain para orang tua siswa yang menjadi variabel pengawasan anak di rumah. Masyarakat sekitar agar memberikan lingkungan yang kondusif dalam menumbuhkan karakter yang akan dibentuk. Evaluasinya Hubungan Guru dan Orang tua wali masih bersifat formalitas, apalagi elemen masyarakat sekitar sekolah yang kadang malah bersitegang terhadap kenakalan para siswa.

Oleh: Teguh Estro A.     Pendahuluan Potret buruk dari kelakuan manusia Indonesia belakangan ini kerap dijadikan senjata untuk menyerang...
Teguh Estro Sabtu, 10 Desember 2011