Menu
Teguh Indonesia

Jeng Reni dan Ke-bhineka-an


Oleh: Teguh Estro*


    Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni atau sering dikenal Jeng Reni. Beberapa bulan lalu menggegerkan tanah air dengan Royal weddingnya yang begitu ningrat. Putri bungsu Sultan Keraton Yogyakarta HB X itu resmi menikah dengan Achmad Ubaidillah, pemuda asal Lampung. Jeng Reni sendiri selain cantik, rendah hati juga sosok yang pandai bergaul. Konon sifat itulah yang membuat Ubaid (sapaan Achmad Ubaidillah) kesengsem. Kendatipun ia seorang bangsawan, namun tetap terlihat style apa adanya. Bahkan finalis Miss Indonesia itu juga kerap menemani Ubaid main futsal.

    Sebelumnya penulis ngaturaken ngapunten kepada Jeng Reni yang seandainya membaca tulisan ini. Sebenarnya ada hal menarik yang bisa kita bahas terkait pernikahan beda etnis tersebut. Pertama sebuah keunikan tatkala keluarga Keraton Yogyakarta memutuskan menjalin tali keluarga dengan orang yang non Jawa. Padahal tidak sedikit dari masyarakat Jawa yang masih kekeuh melarang menikahkan putera-puteri nya dengan etnis non Jawa. Akan tetapi justru keluarga Keraton memberi contoh yang berbeda. Hal ini menyiratkan tauladan sebuah  sikap jiwa besar terhadap perbedaan.

    Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini kembali mengelus dada akan ragam kerusuhan yang terpicu oleh ketidakdewasaan menghadapi perbedaan. Sebut saja yang masih anyar kerusuhan warga Sidomulyo, Lampung. Perseteruan antar etnis yang dikarenakan hal sepele, uang parkir. Akibatnya, 60 rumah warga hangus terbakar. Dan kekisruhan ini bukanlah kali pertama di Indonesia yang telah ditakdirkan ber-bhineka ini. Kesemuanya sama-sama bermula dari kejadian kecil yang dibesar-besarkan. Akar masalah dari itu semua lantaran miskinnya karakter jiwa besar dalam keberagaman.

    Saat ini Yogyakarta sudah menjadi ‘besan’ dari warga Lampung. Umpama Jeng Reni ditanya apakah orang Lampung itu baik ? mungkin beliau malah menjawab "..saya sangat sayang orang Lampung..." Maka, persoalannya bukan dari mana etnisnya, akan tetapi adakah rasa sayang di antara kita ? bahkan hal yang lebih sederhana, adakah tersirat sikap menghargai eksistensi etnis lain. Jika sudah hilang, maka persatuan Indonesia akan terus menjadi mimpi.

    Sebenarnya rakyat di negeri ini tidaklah bisa selalu dikambinghitamkan. Setidaknya tauladan buruk yang dipertontonkan pejabat-pejabat memengaruhi sikap masyarakat. Seolah terdapat pembenaran bahwa kekisruhan hanyalah kebiasaan yang bisa dianggap lumrah. Lihat saja, saat sidang di senayan live disaksikan warga se-Indonesia. Mereka seakan sengaja ‘berakting’ membuat kekisruhan dan saling pukul di persidangan. Bahkan di luar ruangan rapat  sekalipun, politisi kita sibuk saling hujat dan menjatuhkan. Padahal masyarakat menyaksikan mereka.

    Tampaknya slogan Bhineka Tunggal Ika sudah tidak lagi menjadi ‘mantra’ yang ampuh. Padahal bentuk negara kesatuan sejatinya telah menjadi konsensus nasional. Bayangkan saja, di era teknologi komunikasi dan informasi yang nyaris tanpa batas ini. Seharusnya kian mampu menumbuhkembangkan rasa sadar-keberagaman di Indonesia. Setiap orang di satu daerah bisa bercengkrama dengan banyak teman lintas nusantara dengan fasilitas Social Network di Internet. Intinya, menjadi insan yang siap melihat perbedaan ratusan etnis di bumi pertiwi ini.

    Selanjutnya dalam menangani penyelesaian konflik yang tersebar dari sabang hingga merauke. Pertama, benar-benar pemerintah menyelesaikannya sampai ke akar persoalan. Berani untuk membuka pintu dialog, kendatipun terasa sulit dan berbeit-belit. Jika ada etnis tertentu  merasa ‘terzholimi’ oleh dominasi etnis lain, maka segera dijawab dengan rembug kekeluargaan. Kita harus yakin bahwa sekeras apapun hati manusia, pasti akan luluh juga. Di sanalah letak peran pemerintah yang harus mengayomi rakyat dengan sabar.

    Kedua, aparat keamanan butuh kerja lebih giat lagi. Di berbagai daerah kudu bisa menjadi penengah yang betul-betul berorientasi pada keselamatan lan ketertiban. Jangan sampai justru aparat menjadi backing kelompok tertentu. Atau bahkan mengambil kesempatan pencitraan dibalik kerusuhan. Penulis yakin masih banyak polisi-polisi yang memiliki jiwa besar dalam melihat keragaman di negeri kita. Dan akhirnya penulis justru berharap banyak dari segenap masyarakat untuk menanamkan sikap siap bertoleransi terhadap kebhineka-an Indonesia.

*Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga
Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro*     Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni atau sering dikenal Jeng Reni. Beberapa bulan lalu menggegerkan t...
Teguh Estro Selasa, 31 Januari 2012
Teguh Indonesia

Negarawan Dari Daerah

Foto.detik.com

Oleh: Teguh Estro*

    Sepertinya chaos di berbagai penjuru tanah air kian marak dan meruncing. Mulai dari seteru PEMILUKADA, disintegrasi, sengketa lahan hingga konflik antar etnis. Tampaknya Indonesia tengah ‘diuji’ terkait kedewasaan hidup sebagai negara bangsa. Kian sedikit manusia yang siap tepo seliro terhadap ratusan keragaman di nusantara. Seiring itu, begitu mudahnya api amarah tersulut di masyarakat akar rumput. Kalau dulu jelas perpecahan bangsa yang terjadi akibat ulah kompeni  dengan politik pecah-belah nya. Namun sekarang pertumpahan darah justru dilakoni oleh sesama bangsa sendiri.

Indonesia kerap disebut sebagai negara besar atau setidaknya dulu pernah besar. Para founding fathers bangsa ini pun sudah kadung menyepakati bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdirinya republik ini bukanlah sebuah hadiah yang secara instan atau tiba-tiba. Kemerdekaan kita sejatinya karunia yang didapat melalui perjuangan, atau lebih tepatnya pengorbanan. Dan perlu diketahui pula, sebenarnya para pendahulu kita juga tersimpan konflik sesama mereka. Semisal Presiden Soekarno pernah bersitegang dengan Jenderal Soedirman, Muhammad Natsir bahkan Muhammad Hatta sekalipun. Tidak perlu ditutup-tutupi bagaimana panasnya seteru H.O.S Cokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara dalam berjuang membangun bangsa ini. Akan tetapi mereka semua memiliki jiwa besar untuk lebih mengutamakan kesatuan negara tinimbang kepentingan individu. Hasrat berkorban demi kemerdekaan ternyata telah merasuk terlalu dalam ke jiwa mereka. Itulah sifat seorang negarawan yang kini kian menghilang.

Negarawan sayangnya terlanjur diidentikkan dengan sikap patriot yang dimiiki para pucuk pimpinan negara saja. Itu tidaklah sepenuhnya salah, pasalnya sikap tersebut memang sangat urgent dimiliki oleh pemerintah. Akan tetapi alangkah luar biasanya jika setiap lapisan masyarakat berlomba-lomba memberikan pengorbanan untuk negara. Karena sikap negarawan sejatinya puncak kepribadian yang harus menjelma dalam watak setiap warga negara. Seorang tukang parkir yang negarawan, bertanggung jawab di setiap jengkal ‘tanah air’ yang ia jaga. Atlet nasional yang negarawan, siap berjuang mati-matian serta berlatih siang dan malam demi kejayaan sang merah-putih. Pak RT yang negarawan, rela menjadi ujung tombak sekaligus ujung tombok dalam mengayomi warga kampungnya. Guru SD yang negarawan, kudu rela mendidik calon-calon pemimpin bangsa senakal apapun mereka. Sehingga kita memaknai betul akan semangat patriotik bagi seluruh kalangan masyarakat.

    Kebuntuan pemerintah pusat dalam menangani beberapa provinsi juga menjadi biang keladi gejolak di daerah. Semisal kurang meratanya kesejahteraan sosial antar daerah, baik di Indonesia barat ataupun timur. Ataupun adanya ancaman disintegrasi yang diatasi dengan destruktif-militeristik. Termasuk persoalan korupsi yang menjangkiti semua kalangan sampai ke  eselon pemerintahan terbawah sekalipun. Kekhawtirannya jika problem di daerah kurang terawasi, maka bisa memunculkan sikap primordial yang kebablasan. Kita sangat membutuhkan sosok negarawan yang mampu menemukan akar masalahnya.

Saat ini persespsi kita harus segera berubah mengenai siapa sosok negarawan. Tidaklah selamanya negarawan itu identik dengan presiden. Bukankah dahulu banyak para pahlawan yang justru muncul dari daerah-daerah. Mereka kadang ‘diembargo’ secara politik, sosial dan ekonomi oleh kaum londo. Akan tetapi dengan sikap kenegarawan-an, membuat mereka tidak akan menyerah sampai benar-benar kehilangan nyawa. Begitupun di era reformasi ini. Bukan tidak mustahil akan muncul para pahlawan baru yang justru berasal dari daerah-daerah terpencil. Semisal seorang teknorat negarawan, bisa saja muncul dari SMK di pelosok desa tertinggal. Atau akan hadir sosok ekonom yang lahir dari pondok pesantren di kampung-kampung. Sudah saatnya praktek kenegaraan setiap masyarakat memberikan kontribusinya, meski harus berkorban harta dan waktu. Termasuk diantaranya menghargai jerih payah produksi anak negeri.

*Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga

Teguh Indonesia

Foto.detik.com Oleh: Teguh Estro*     Sepertinya chaos di berbagai penjuru tanah air kian marak dan meruncing. Mulai dari seteru PE...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

KPK Harus Usut Banggar

Oleh: Teguh Estro*
(Diterbitkan di SKH Kedaulatan Rakyat, 07 Februari 2012)
            Marzuki Alie ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah melaporkan dugaan korupsi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu saja terkait dugaan korupsi proyek ruang rapat Badan Anggaran (Banggar). Nominal 20 Milyar dinilai sebagai angka yang cukup fantastis untuk biaya renovasi sebuah ruang rapat. Tentu saja memancing publik untuk menanyakan transparansinya. Jangan-jangan terdapat korupsi dengan melakukan mark-up harga. Apalagi kasus ini sudah sampai ke meja kerja Abraham Samad, ‘sang penangkap koruptor’.
            Sejak pertama kali terlantik, Abraham Samad berjanji hendak membongkar kasus-kasus besar di republik ini. Saat ini sudah waktunya bagi pimpinan KPK tersebut menajamkan taringnya dengan membongkar kasus ruang rapat Banggar. Pasalnya Banggar menjadi salah satu jantungnya berbagai penyelewengan dana rakyat.
            Kondisi dilematis tengah dirasakan Marzuki Alie saat ini. Pasalnya salah satu politisi Partai Demokrat itu bertindak sebagai pelapor yang berpotensi juga terlibat di dalamnya. Perlu diketahui bahwasannya pimpinan lembaga legislatif itu juga merangkap jabatan sebagai pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI. Padahal semua proyek apapun tidak akan bisa berjalan jika tanpa persetujuan ketua BURT, termasuk proyek 20 Milyar tersebut. Anehnya ia berkelit dengan mengatakan tidak tahu-menahu. Dan akhir-akhir ini ia malah menyalahkan Setjend DPR yang tidak melaporkan secara utuh dalam rapat BURT.
            Analisis pertama, kenapa Marzuki Alie sampai tidak mengetahui adanya laporan dana sebesar itu. Mungkin alasan terkuat adalah posisinya sebagai pejabat penting dengan kesibukan merangkap banyak jabatan strategis. Termasuk sebagai pimpinan DPR RI sekaligus Ketua BURT. Apalagi kalau bukan karena tersumbatnya komunikasi dengan agenda-agenda rapat yang bertabrakan menjadi rasionalisasi. Sungguh aneh di zaman teknologi komunikasi yang sudah serba canggih masih punya alasan kurangnya komunikasi. Padahal anggaran tunjangan komunikasi telah selangit, ditambah tunjangan transportasi, bahkan sengaja dibelikan ‘kalender termahal se-Indonesia’. Kesemuanya tidak lain agar sebagai wakil rakyat bisa fokus dalam menjalankan tugasnya. Alangkah tidak masuk akal jika dalam rapat BURT terdapat kelalaian yang sangat fatal. Sampai-sampai sang pucuk pimpinan tidak tahu-menahu terhadap keluarnya uang 20 Milyar yang telah ia setujui.
Selanjutnya terkait tuduhan Marzuki alie terhadap Setjend yang teledor lantaran tidak menyampaikan laporan secara utuh. Maka pertanyaanya kenapa tidak jauh-jauh hari dikomunikasikan jika terdapat laporan yang tidak utuh. Kenapa setelah kasus ini terkuak barulah rame-rame melaporkan ke KPK ? Mungkinkah terdapat kesengajaan untuk menjebak Marzuki Alie agar tersandung kasus tersebut ? Lalu mengapa pula pada Jumat (20/01) lalu pimpinan DPR RI itu berani-beraninya melaporkan ke KPK. Padahal jika dilaporkan bisa saja ia juga terseret dengan tuduhan sebagai pihak yang menyetujui anggaran haram tersebut. Benar-benar pimpnan senayan tersebut tengah berspekulasi besar.
            Selanjutnya apa yang seharusnya dilakukan KPK ? Pertama, kasus ini menjadi langkah awal untuk kembali menunjukkan kewibawaan institusi penjagal koruptor tersebut. Apalagi Abraham Samad sudah mendeklarasikan dirinya yang tidak berafiliasi parpol. Dalam kalimat lain, ia akan bertugas tanpa tekanan para penguasa senayan. Mengusut Banggar tanpa ada perasaan berhutang budi kepada pihak manapun, termasuk Presiden SBY.
            Analisis berikutnya terkait munculnya kasus-kasus di senayan akhir-akhir ini. Wa bil khusus banyaknya perbincangan terkait mahalnya sarana-prasarana di gedung wakil rakyat tersebut. Akankah ini lagi-lagi sebagai usaha pengalihan terhadap isu yang lebih besar. Semisal skandal Nazarudin-Rosa-Anas Urbaningrum yang tersandera kasus wisma Atlit. Atau malah isu Bank Century yang telah lama terkubur dalam-dalam. Setidaknya masyarakat kudu cermat memperhatikan tingkah para politisi negeri ini. Terutama KPK yang harus tetap fokus mengentaskan korupsi.

*Penulis adalah pegiat LPM Lensa Kalijaga




Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro* (Diterbitkan di SKH Kedaulatan Rakyat, 07 Februari 2012)             Marzuki Alie ketua Dewan Perwakilan Ra...
Teguh Estro Sabtu, 28 Januari 2012
Teguh Indonesia

Berharap Aceh Damai (Amin)

Oleh: Teguh Estro*

    Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam saat ini cukup memprihatinkan. kisruh di kalangan elit politik lokal mengakibatkan waktu pelaksanaan pesta rakyat itu terpaksa diundur lagi. Kondisi politik nan kian memanas akhirnya merambat luas menjadi aksi teror bahkan kekerasan fisik. Semisal salah satu calon yang mendaftar sebagai calon pemimpin daerah mengalami teror penembakan di rumahnya sendiri. Untungnya pihak yang bersangkutan tidak sedang di kediamannya. Analisisnya bisa dikarenakan kepentingan politik antara incumbent dan pesaing-pesaingnya. Ataukah masih ada serangkaian infiltrasi dari para separatis di negeri serambi mekah tersebut.

    Secara historis provinsi Nangroe Aceh Darussalam memang memiliki tempat istimewa dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sebuah daerah yang pernah melahirkan pahlawan kharismatik sekelas Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Dan provinsi Indonesia paling barat ini pernah mendukung gerakan R.M. Kartosuwiryo dalam mendirikan Negara Islam Indonesia. Pada saat itu basis wilayah Aceh di bawah sosok tokoh sentral Daud Beureuh. Hingga akhirnya Presiden Soekarno berdialog dengan menjanjikan kepada ‘sang Teungku’ bahwa Aceh akan menjadi daerah yang diterapkan syari’at Islam. Masyarakat Aceh memang terkenal ‘ganas’ saat melawan para penjajah. Dan sebaliknya mereka justru santun dan mau berdialog terhadap sesama bangsa seperti yang ditunjukkan oleh Daud Beureuh. Asyiddaa-u ‘Alal-Kuffar wa-ruhamaa-u baynahum.

    Kembali kita menilik sebuah polemik PEMILUKADA di provinsi beribu kota Banda Aceh tersebut. Penembakan, kekerasan juga teror yang terjadi beberapa waktu lalu bisa dianalisis kembali. Salah satunya dengan tersumbatnya pintu dialog antara pemerintah dengan tokoh lokal Nangroe Aceh Darussalam. Sehingga terjadi deviasi dalam penyelesaian konflik dengan cara destruktif. Keberanian membuka dialog adalah sebuah opsi penyelesaian yang memiliki efek jangka panjang. Jika saat ini kisruh PEMILUKADA telah ditengahi oleh Mahkamah Konstitusi, hal tersebut hanyalah solusi jangka pendek. Toh, dengan ikut sertanya Partai Rakyat Aceh dengan mengusung pasangan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf bukan berarti masalah otomatis selesai. Bayangkan saja Calon Incumbent –Irwandi Yusuf- yang pernah berjuang bersama-sama dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), masih belum bisa diterima oleh Partai Rakyat Aceh sebagai partai yang dibentuk mantan anggota GAM juga. Dengan kalimat lain seolah ada beberapa kepentingan yang belum tuntas untuk dirembuk kembali oleh para elit politik lokal.

    Kebebasan berekspresi di negeri ini memang dibenarkan. Hanya saja, bila kebebasan bisa mengakibatkan ketidaknyamanan rakyat Aceh tentu menjadi salah juga. Alih-alih hendak melaksanakan pesta demokrasi, malah menginjak-injak nilai demokrasi akhirnya. Begitu juga menjadi harga mati PEMILUKADA pada April 2012 nanti harus berjalan damai. Bahkan bisa saja prosesi demokrasi saat ini menjadi batu loncatan dalam sejarah perdamaian di Indonesia.
    Selanjutnya dalam hal menyikapi seteru elit politik antara pimpinan parpol lokal, Mendagri dan juga Mahkamah Konstitusi yang mengakibatkan ditundanya waktu pencontrengan. Salah satu jalannya adalah dengan memberikan kepercayaan kepada Komisi Independen Pemilu (KIP) Aceh. Pasalnya setelah MK memutuskan agar PEMILUKADA diundur sampai April 2012, tentunya ada sedikit pihak yang keberatan. Jangan sampai hal tersebut mengakibatkan kekecewaan yang kembali berujung konflik. Sehingga betul-betul semua pihak harus mendukung dan percaya terhadap KIP sebagai penyelenggara pesta rakyat. Dan akhirnya mereka bisa bekerja tanpa ada tekanan atau rasa ketidaknyamanan.

    Peristiwa konflik Aceh saat ini bukanlah kali pertama dialami rakyat Nangroe. Sehingga sudah saatnya penanganan segala sesuatunya bermind-set untuk jangka panjang. Semisal mengusut tuntas penembakan terhadap warga akhir-akhir ini. Tentu saja tidak berhenti sampai batas menemukan pelakunya, tetapi mampu mengurai akar masalahnya. Boleh jadi hal tersebut buntut dari kekecewaan warga lokal terhadap kebijakan yang mengabaikan grassroot. Atau jika memang akar masalahnya terdapat friksi antar kelompok, maka keberanian membuka pintu dialog kudu dijalankan. Dalam diaog itu semua pihak harus bisa terbuka untuk membangun Aceh. Pasalnya tidak bisa dipungkiri konflik GAM belumlah seluruhnya tuntas. Butuh pikiran dingin serta keterbukaan dalam mengurai benang kusut masa depan rakyat serambi mekah.

* Pegiat forum LPM Lensa Kalijaga

Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro*     Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam saat ini cukup memprihatinkan. kisruh di kalangan el...
Teguh Estro Selasa, 24 Januari 2012
Teguh Indonesia

Logistik Sepi, Indonesia Timur bisa ‘Mati’


Oleh: Teguh Estro*

Begitu berharganya potensi yang dimiliki Kawasan Timur Indonesia (KTI). Lebih dari separuh wilayah NKRI adalah wilayah timur Indonesia. Begitupun sumber daya alam yang menyumbangkan lebih dari 80% pasokan nasional. Bahkan tidak sedikit atlet-atlet nasional yang berprestasi lahir dari Kawasan Timur Indonesia juga. Sebut saja Papua, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara meskipun seolah merasakan sebagai penduduk ‘kelas dua’ di negeri ini. Bahkan tahun 2011 lalu KTI mendapat tidak lebih dari 30% dari anggaran pembangunan. Pasalnya selama ini pembagian kue kesejahteraan hanya didasarkan pada pemerataan jumlah penduduk. Kalau seperti itu tentu selamanya hanya Indonesia bagian barat saja yang memperoleh jatah dominan. Dan sampai kiamat sekalipun, wilayah timur Indonesia tidak akan pernah maju.

       Sampai sekarang terdapat beberapa permasalahan krusial yang mencekik kemajuan KTI. Infrastruktur yang menjadi urat nadi perekonomian ternyata tak kunjung diprioritaskan juga. Kebijakan yang muncul hanyalah sebatas perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur. Padahal para pegiat ekonomi membutuhkan terbukanya jalur logistik antar daerah. Terutama jalur logistik menuju dermaga-dermaga vital. Antara lain jalan raya, listrik dan pembangunan dermaga berkelas. Bayangkan jika jalan antar daerah masih banyak masalah. Semisal mulai dari kerusakan jalan sampai pungutan liar (pungli) yang berlapis-lapis. Maka pembebanan biaya transportasi akan bertambah. Sehingga wajar jika harga barang yang hanya Rp.10.000,- di Yogyakarta bisa bernilai Rp.50.000,- jika telah sampai ke Merauke.

        Pembangunan jalur-jalur logistik akan mempermudah konektivitas antar daerah yang selama ini menjadi kendala di kawasan timur Indonesia. Padahal almarhum ‘Gus Dur’ pernah mengatakan konsepsi yang unik terkait wawasan nusantara. Bahwasannya selat dan laut bukanlah pemisah antar pulau di Indonesia, akan tetapi justru penghubung diantaranya. Konsep tersebut memang menarik saat diucapkan. Akan tetapi menjadi gagal ketika direalisasikan di wilayah yang miskin infrastruktur. Apakah mungkin penduduk manggarai yang berada di Nusa Tenggara mudah berjejaring dengan masyarakat Celebes (Sulawesi) jika jalan menuju dermaga rusak, apalagi jika dermaga yang ada tidak memiliki sirkulasi kapal yang baik. Jangankan mereka yang ‘TERPISAH’ antar pulau, lihatlah antara penduduk kota Sorong dan Kota Nabire saja masih terkendala jalur logistik darat karena persoalan jalan raya padahal masih satu pulau, Papua.

       Rencana pada tahun 2012 ini pemerintah akan fokus pada pembangunan infrastruktur di wilayah yang lebih dulu tersinari matahari ini. Entahlah, janji tinggal janji. Kita akan melihat bagaimana Kementrian Pekerjaan Umum (PU) merealisasikannya. Sudah saatnya kini pembangunan nasional harus berbasis potensi alam, bukan sekedar berdasarkan pada estimasi penduduk saja. Lihatlah potensi perikanan di kepulauan Maluku Sulawesi dan Nusa tenggara yang kurang terolah. Begitupun potensi pertambangan di Papua yang justru disikat oleh asing.

       Biasanya wilayah KTI memiliki kawasan yang luas dengan berpenduduk sedikit. Tentu saja tidak bisa disamakan model pembangunannya dengan pulau Jawa yang mengalami permasalah keterbatasan lahan sekaligus ledakan kepadatan penduduk. Dimulai dari Maluku  tentu saja di ‘negeri para raja’ tersebut jangan dipaksakan harus menanam padi seperti di Jawa Tengah. Seharusnya disana diperbanyak pelabuhan yang bisa menampung kapal-kapal besar. Baik kapal penumpang maupun kapal penangkap ikan yang modern. Bahkan bisa saja jalur pelayaran ikan dari Jepang menuju Aussie tidak perlu lagi transit ke pelabuhan Singapura, akan tetapi langsung memotong melalui Indonesia timur. Tentu saja dengan pelabuhan yang bertaraf Internasional.

        Selanjutnya peran pemerintah melalui tangan Kementerian PU yang sudah mengawali proyek kawasan Indonesia Timur harus tetap komitmen. Sama komitmennya seperti membangun pulau Jawa dan Sumatera. Dan akhirnya cita-cita nasional bangsa ini akan segera terwujud jika paradigma pembangunan nasional tidak parsial. Semua potensi negeri ini teruntuk bagi keseluruhan NKRI, bukan hanya kawasan barat Indonesia saja. Sebagaimana tercantum dalam preambule : “…membentuk suatu Pamerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indanesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

*Penulis Bergiat di LPM Lensa Kalijaga
Teguh Indonesia

Oleh: Teguh Estro* Begitu berharganya potensi yang dimiliki Kawasan Timur Indonesia (KTI). Lebih dari separuh wilayah NKRI adalah wi...
Teguh Estro Selasa, 17 Januari 2012
Teguh Indonesia

Premanisme Sebagai 'Aset' Peradaban

antarasumbar.com

(Kenapa Harus alBaqarah:30)
Oleh: Teguh Estro*
            Sejak awal terciptanya manusia, malaikat telah menaruh mosi tidak percaya. terlebih saat mahluk berakal tersebut hendak dinobatkan oleh Allah Swt sebagai khalifatu fi al-Ardh,. Adam alaihissalam dan keturunannya dicurigai sebagai “…man yufsidu fiihaa wa yasfiku al-dimaa’a…” Malaikatpunn mencoba sedikit show-up mempertanyakan sebuah alasan. Logikanya kenapa tidak malaikat saja yang selalu bertasbih ditunjuk sebagai ‘wakil tuhan’ di muka bumi. Akan tetapi Allah Swt mengingatkan dengan menjawab “…inni a’lamu ma laa ta’lamuun…”
Sejenak kita renungkan, mungkin malaikat serombongan ada benarnya juga. Manusia memang memiliki potensi sebagai dalangnya pengrusakan alam dan pertumpahan darah. Bukankah sejarah peradaban manusia tidak pernah terlepas dari budaya premanisme para penguasa. Sebutlah Fir’aun dengan kebijakannya membunuh setiap bayi laki-laki, Hitler membantai setiap penduduk berkebangsaan Yahudi. Ariel Sharon meluncurkan Agresi kepada umat musim di jalur Gaza. Begitu juga Soeharto, Narsisco Ramos, Husni Mubarok dan George Bush sang tiran. Bukankah kekhawatiran malaikat tidaklah terlalu mengada-ada?
Indonesia raya merupakan nation-state yang juga berpenduduk manusia. dengan kata lain, bumi nusantara ini juga dihuni oleh para perusak alam dan penumpah darah antar sesama. Munculnya tragedi Tanjung Priok, Papua, Mesuji sampai penembakan mahasiswa di Bima sejatinya sudah skenario langit. Penulis hanya berasumsi ‘jangan-jangan’ tipikal dasar manusia adalah seorang fighter. Dan kenapa Sang Pencipta justru menunjuk khalifatu fi al-Ardh dari golongan ‘brutal’ ini?

Premanisme Versus Leadership
            Terciptanya manusia bukanlah produk gagal. Bahkan munculnya pembantaian sesama manusia akhir-akhir ini bukan juga kesalahan skenario dari Allah Swt. Inilah yang menjadi argumen Allah Swt kepada malaikat “…Aku lebih tahu atas apa saja yang kamu tidak ketahui..” Budaya premanisme benar-benar diciptakan dengan maksud yang jelas. Yakni untuk melahirkan para pemimpin yang kokoh. Bukankah Musa A.s muncul kepemimpinannya lantaran dihadapkan pada Fir’aun sang diktator. Rasulullah Muhammad Saw pun hadir ditengah manusia-manusia yang haus darah. Sang patih Gadjah mada juga seorang leader yang dibesarkan oleh misi-misi penuntasan kaum pemberontak dan penaklukan kerajaan-kerajaan Nusantara. Raden Fatah raja Demak Bintoro juga berjaya setelah bersaing dengan Adipati Terung –adiknya sendiri- dalam ‘menjinakkan’ Prabu Brawijaya. Bung Karno menjadi legenda bangsa ini karena ide besar anti kolonialismenya. Kesimpulannya pemimpin besar itu muncul karena fighting terhadap premanisme. Itulah alasan kenapa dipilih manusia, bukan Malaikat!
            Bangsa manapun pasti akan mengalami konflik, termasuk Indonesia. Akhir-akhir ini tragedi warga Bima versus aparat dalam demonstrasi pembebasan pelabuhan dan berujung kematian. Sebelumnya warga Mesuji, Lampung berhadapan dengan timah panas brimob dalam perebutan lahan dengan PT BSMI. Bukan hanya aparat yang bertindak brutal, bahkan warga pun menjadi liar tak terkendali. Dalam kondisi semacam ini, sangat dibutuhkan kepemimpinan yang kokoh.
            Strenght Leadership bukan sekedar pemimpin yang memiliki militer kejam. Akan tetapi pemimpin yang mampu bertahan dalam kondisi terburuk. Memiliki kecerdasan dalam menyelesaikan masalah. Terutama menyelesaikan konflik dengan bahasa masyarakat. Apa yang diinginkan warga Mesuji adalah pembebasan lahan yang diklaim pihak PT. BSMI. Menghadapi situasi yang sudah memanas, pemerintah memang harus tegas. Akan tetapi tegas yang dimaksud bukan membunuh warga. Yakni tegas menolak pemilik modal yang merugikan rakyat. sekali lagi pemerintah kudu tegas. Kalau cuma melempem jangan jadi manusia, jadi malaikat sajalah!
Teguh Indonesia

antarasumbar.com (Kenapa Harus alBaqarah:30) Oleh: Teguh Estro *             Sejak awal terciptanya manusia, malaikat telah me...
Teguh Estro