Menu
Teguh Indonesia

Rhinoceros in Memoriam

image: nationalgeographic.com

Oleh: Teguh Estro*

    Seekor hewan yang gempal dengan kulit tebal dihiasi cula cantik di atas moncongnya. Badak, merupakan satu diantara hewan mamalia darat bertubuh besar. Pada akhir tahun 2011 lalu Taman Nasional Cat Tien Vietnam mengumumkan kepunahan badak Jawa di sana. Setelah spesies terakhir didapati dalam kondisi mengenaskan mati dengan cula terpotong. Begitupun sebelumnya Rhinoceros Sondaicus ini juga sudah divonis punah di India. Dan kini populasi hewan pemalu itu di seluruh dunia hanya ada di Indonesia, Ujung Kulon. Sedihnya lagi, sekarang spesies pemakan tumbuhan ini tinggal 35 ekor dengan jumlah betina 4 ekor saja. Bila populasi betina terus habis maka kepunahan kian serius mengancam. Bahkan bisa saja ia menyusul badak hitam Afrika yang sudah lama punah di seluruh dunia. Dan kelak anak-cucu kita hanya mendengar dongeng bahwa dulu pernah hidup ‘mahluk imut’ bernama badak Jawa di Indonesia.

    Java Rhino resmi menjadi hewan langka pada tahun 1900-an di masa hindia belanda. Padahal di era kejayaannya badak bercula satu ini sempat menjadi hewan liar yang ‘disegani’ banyak orang. Bahkan ia juga pernah hidup begitu dominan di pulau Sumatera berdampingan dengan ‘adiknya’ yang lebih mungil, Rhinoceros Sumatrensis. Populasi badak pula pernah tersebar di seluruh dunia, terutama benua Asia. Hanya saja kian hari hewan kebanggan warga Banten ini terus menyusut. Sebagian besar terbunuh oleh tangan dingin para pemburu. Sisanya mati secara alamiah serta adanya persaingan lahan dengan ratusan hewan lain, terutama banteng.

    Pada tahun 2009, badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) hanya sejumlah 60 ekor saja. Lalu menyusut menjadi 50 ekor di tahun 2010. Dan pada akhir tahun 2011 lalu melalui rekaman video di sejumlah titik menghasilkan data yang mengejutkan. Yakni hanya 35 ekor dengan estimasi betina tinggal 4 ekor lagi. Apalagi ini adalah spesies badak yang hanya melahirkan satu anak setiap 16 bulan pada masa kehamilan. Artinya tanpa adanya perburuan sekalipun tetap saja Java Rhino terancam kepunahan secara biologis. Karena kemampuan breeding  yang kian memprihatinkan. Walaupun demikian tidaklah lantas memunculkan kepasrahan. Para pengelola kawasan konservasi kudu memaksimalkan pemantauan terhadap hewan yang gemar mandi lumpur ini.

    Cula badak memang menjadi magnet bagi para pemburu. Konon, ‘tanduk’ badak tersebut bisa menjadi ramuan penambah gairah seksual pria. Meski belum pernah ada pengujian secara klinis, tetap saja menjadi komoditas mahal. Di pasar gelap, benda yang hanya dimiliki spesies jantan ini bisa mencapai 30.000 US Dollar tiap kilogramnya. Dan sudah menjadi rahasia umum bila pengobatan tradisional menjadi tempat paling laris atas permintaan cula badak. Hanya saja, dibalik itu semua tetap saja Rhinoceros Sondaicus yang menjadi korbannya. Bahkan beberapa kasus begitu mengenaskan saat cula badak dicabut paksa tanpa obat bius. Dan tentu saja bisa membuat keguncangan pada kerangka tengkorak dan syaraf vital di kepala. Sehingga wajar bila seekor badak sehabis diburu culanya acapkali akan teriringi kematian yang menyiksa.

Konservasi Bukan Asal Pengkandangan
    Pemerintah menargetkan penambahan jumlah populasi badak Jawa menjadi 75 ekor di tahun 2015. Tentu saja bukanlah sesuatu yang mustahil gagasan tersebut bila dicanangkan sebagai spirit pelestarian. Mengingat pernah pada tahun 1937 populasi hewan berkuku ganjil tersebut hanya 25 ekor saja. Namun dengan pengawasan yang ketat mampu menambah jumlah badak menjadi 45 ekor di tahun 1975, bahkan 62 ekor pada tahun 1989. Dengan kata lain, campur tangan dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam menjaga habitat hewan yang telah hidup sejak 60 juta tahun lalu ini.

    Hal yang lebih urgen bukan saja penjagaan yang wajib diperketat agar aman dari intaian para pemburu. Akan tetapi menyediakan kawasan hutan konservasi yang kondusif bagi sang badak. Pasalnya hewan langka ini hanya betah hidup di hutan yang teduh dan rapat serta  menghindari tempat-tempat terbuka. Sehingga mendesain kawasan hutan konservasi agar tetap rapat dan teduh juga harus dipikirkan. Bahkan habitat semacam itu butuh perluasan lagi mengingat daya jelajah badak yang kadang bisa mencapai 30 km. Selanjutnya persoalan ketersediaan pakan betul-betul memprihatinkan. Setidaknya karena adanya spesies hewan lain yang memiliki jenis asupan yang serupa, yakni banteng. Sehingga jumah badak yang tinggal beberapa ekor saja harus bersaing dengan sejumlah banteng yang juga ‘menghuni’ TNUK. Mengingat Rhino adalah hewan yang begitu sensitif terhadap gangguan, tentu akan membuat mereka lebih mudah stress atas kompetisi ekologi ini.

*Penulis Bergiat di LPM Lensa Kalijaga

Teguh Indonesia

image: nationalgeographic.com Oleh: Teguh Estro*     Seekor hewan yang gempal dengan kulit tebal dihiasi cula cantik di atas monc...
Teguh Estro Selasa, 13 Maret 2012
Teguh Indonesia

Hutanku, Tumbuh Satu Gugur Seribu

image: kaskus.us
Oleh: Teguh Estro*
    Selama 4 dekade terakhir hutan di Indonesia terus menyusut dari 130 juta hektare kini hanya tersisa 80 juta hektar. Pernyataan Menhut tersebut kian diperkuat data LSM Greenpeace Indonesia bahwa hutan nusantara berkurang seluas 1,08 juta hektare pertahun. Jika trend ini diteruskan maka tidak sampai 50 tahun Indonesia akan menjadi negara tanpa hutan. Musababnya beragam, mulai dari kebakaran hutan sampai penebangan pohon secara liar atau illegal logging. Akan tetapi penyebab utama justru disebabkan penebangan yang dilakukan secara legal. Yakni maraknya industri-industri kertas, ekspansi perkebunan sawit dan menjamurnya perusahaan-perusahaan tambang. Kesemuanya telah mengantongi izin legal dari pemerintah untuk melakukan alih fungsi hutan.

Andaikata tidak mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat, perusahaan penebang tersebut mulai merayu kepala daerah di meja negosiasi. Bahkan beberapa kasus banyak perusahaan berani mencukur ribuan hektare hutan hanya dengan izin via kepala desa. Dan tentunya para tetua desa itu terlebih dulu telah dititipi ‘amplop’ sakti. Itulah kenapa hutan Indonesia sangat mudah direnggut keperawanannya. Pasalnya perusakan alam ini acapkali  didalangi cukong resmi ‘berplat merah’.

Pada tahun 2011 lalu hutan di Riau misalnya, yang telah tercukur seluas 243.672 hektare. Dan menurut LSM Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) kerugian negara telah mencapai 1.994,5 Triliun. Sekitar tujuh kali lipat dari dana APBD Provinsi Riau pada saat itu. Berikutnya kejadian di Padang, Sumatera Barat. ratusan hektare hutan dijarah oleh pihak yang belum teridentifikasi. Lebih gilanya, kawasan tersebut merupakan areal hutan lindung tempat hunian flora dan fauna yang menunggu kepunahan. Apologi sederhana dari pemerintah setempat yakni lokasi yang jauh dari pusat kecamatan serta terbatasnya personel polisi hutan. Tragedi paling mengenaskan terjadi di Jembrana Bali. Hutan di daerah Parkutan sudah punah sejak tahun 2009 lalu. Luas areal hutan yang ditumbuhi pohon saat ini hanya sekitar 9% saja.

Hukum di Indonesia pun tampaknya belum bisa berpihak banyak pada alam. Rentetan upaya deforestasi yang memilukan malah ditambah dengan rendahnya ‘apresiasi’ penegak hukum. Terlihat dengan mudahnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) diberikan kepada  perusahaan-perusahaan yang awalnya terlibat melakukan kejahatan hutan. Begitupun vonis hukuman kepada banyak terdakwa yang sangat jauh dari menimbulkan efek jera. Semisal di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur hanya memperoleh vonis hukuman 6 bulan penjara saja. Padahal ratusan mahluk hidup telah mati terbunuh di area hutan. Apakah kita sudah lupa bahwa pepohonan juga mahluk hidup?

Dahulu kita sering dikisahkan mengenai pentingnya hutan sebagai penyerap karbon. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji hendak mengurangi emisi karbon sampai 41 %. Bukankan hutan merupakan wahana yang paling berperan besar dalam mereduksi emisi karbon. Jika penindakan terhadap penjahat hutan terus dibiarkan, maka Janji presiden hanyalah pepesan kosong. Atau jangan-jangan ada pejabat ‘lingkaran Cikeas’ yang memang tengah dilindungi.

Moratorium Hutan Solusi Darurat
    Masa depan rimba nusantara juga ditentukan oleh keberanian menindak korporasi tambang. Perlu kiranya dilakukan pengukuran ulang luas areal tambang. Pasalnya luas antara fakta lapangan dengan kesepakatan izin usaha pertambangan (IUP) telah bergeser. Perusahaan-perusahaan kian binal dengan mencomot kawasan hutan sebagai wilayah komersial.

Apabila bangsa ini enggan kehilangan ‘paru-paru’ dunianya maka segala izin yang menggunakan lahan hutan harus di-stop. Pun demikian terhadap perusahaan-perusahaan tambang raksasa tidak boleh lagi melakukan perluasan areal eksploitasi. Jika dulu pak SBY pernah mengusulkan adanya UU Tindak Pidana Hutan, maka jauh lebih baik ditambahkan dengan  moratorium terhadap izin alih fungsi hutan untuk saat ini.

    Kalau memang benar ada itikad serius menyukseskan revolusi hijau. Maka pemerintah harus berani mengkerangkeng para mafia ‘berplat merah’ yang menjadi pelindung para cukong kayu. Logikanya sederhana saja, sehebat apapun UU Tindak Pidana Hutan bila tidak sampai menyentuh penjahat besarnya, tentu mustahil bisa meredam pembalakan liar. Karena mereka yang tertangkap selama ini hanyalah ikan teri saja. Ikan kakapnya kemana?

 *Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga
Teguh Indonesia

image: kaskus.us Oleh: Teguh Estro*     Selama 4 dekade terakhir hutan di Indonesia terus menyusut dari 130 juta hektare kini hanya...
Teguh Estro Jumat, 09 Maret 2012
Teguh Indonesia

Melawan Keangkuhan Freeport

image: inilah.com
Oleh: Teguh Estro*

       Bangsa ini memiliki harga diri yang harus dijaga. Kalau Belanda saja bisa terusir dari negeri ini, maka apa sulitnya mengusir sebuah perusahaan asing. PT Freeport Indonesia (PTFI), sebuah korporasi tambang miik Amerika yang menjajah pulau paling timur di Indonesia. Tahun 1967 terjalin kontrak karya pertama kalinya dengan presiden Soeharto sampai dengan tahun 1997. Hanya saja pada tahun 1991 perusahaan pengeruk emas itu berhasil renegosiasi terkait perpanjangan kontrak hingga 30 tahun lagi serta tambahan opsi perpanjangan 2x10 tahun. Artinya mereka masih bisa mengokohkan ‘rezim’nya sampai tahun 2041. Dan bila dihitung-hitung sejak beroperasi tahun 1967 sampai 2041 yang akan datang berarti akan tercatat selama 74 tahun. Andaikata benar-benar kesampaian, maka ‘rekor rezim’ Soharto di negeri ini akan terpecahkan.

    Renegosiasi kepada pihak Freeport harus segera ‘dipaksakan’ sebelum korporasi negeri paman sam itu tambah besar kepala. Semisal pembahasan wilayah pertambangan yang dirasa paling memberatkan. Padahal masa baheula PTFI hanya memiliki izin di atas lahan seluas 10 km saja. Lalu pada tahun 1989 mereka meminta perluasan wilayah sampai 61.000 hektare. Dan tentu saja dengan bertambah luas areal tambang kian membuat parah kerusakan alam. Sekarang saatnya untuk memberikan ‘kartu merah’ kepada mereka atas kerusakan hutan. Tanah subur di daerah Mimika, Fak-fak, Paniai dan Jayawijaya yang telah terkeruk mustahil bisa dilakukan reboisasi. Pasalnya sudah tidak ada lagi humus yang tersisa.

    Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 tahun 2003 berisi tentang royalti barang tambang berupa tembaga sebesar 4%, emas 3,75%, dan perak 3,25%. Namun selama ini perusahaan yang berlokasi di areal tambang Tembagapura itu hanya ‘menyisihkan’ 1% untuk royalti emas dan 1,5% atas tembaga. Mereka berdalih hal tersebut merupakan klausul dari kontrak yang dilakukan pada tahun 1991. Bahkan PTFI dengan kasarnya meminta pemerintah Indonesia agar menghormati pemberian 1% tersebut sesuai kontrak karya yang pernah disepakati dulu. Padahal PP yang dikeluarkan tahun 2003 itu sudah dikuatkan oleh PP nomor 13 tahun 2009 terkait royalti emas sebesar 3,75%. Sebenarnya persentase tersebut sangat kecil tinimbang standar luar negeri yang mencapai 5%. Bahkan di negara Ekuador sudah mencapai 8% dalam pemberian royalti ke pemerintah. Dan kejadian Freeport di Indonesia benar-benar menginjak-injak kepala. Mereka hanya menyetor 1% saja dari keuntungan dan ngotot tidak mau dinaikkan sampai sekarang. Bahkan korporasi tersebut terkesan enggan transparan dalam melaporkan keuntungannya. Wajarlah bila kerap bermasalah ihwal persentase upeti ke pemerintahan pusat.

Mengoyak Amanat UUD 1945 Pasal 33
    “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” demikian bunyi amanat UUD 1945. Perlu dipertegas terdapat kalimat “Dikuasai oleh negara” yang tentu saja dibuat bukan karena iseng. Bahkan terdapat kalimat “Dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” apakah kalimat itu tercantum secara kebetulan saja. Kesemuanya merupakan wujud kedaulatan negeri ini dalam hal pengelolaan alam.

    Indonesia saat ini statusnya bukanlah sebagai pemegang saham mayoritas di PT Freeport. Bahkan korporasi multinasional itu enggan membuka divestasi sahamnya. Sehingga sulit bagi pemerintah membeli saham sampai batas 51%. Hal ini terkait kebijakan masa lalu yang membolehkan PTFI untuk menerima saham asing secara penuh. Walaupun areal tambang yang terletak di Papua merupakan cabang mereka yang paling besar di dunia. Akan tetapi sampai saat ini pemerintah tak kunjung memiliki saham mayoritas di sana.

   Renegosiasi menjadi harga mati untuk dilakukan agar terbukanya divestasi saham. Entah kenapa Freeport begitu keras kepala untuk mengikuti peraturan dalam negeri. Padahal dulu tahun 1991 saat mereka meminta renegosiasi perpajangan kontrak begitu mudah ‘dikabulkan’. Dan sekarang giliran pemerintah yang meminta renegosiasi, PTFI kekeuh tidak bergeming. pemerintah harus terus mendesak mereka sampai berhasil. Seperti kejadian PT Newmont yang sudah bersedia mendivestasikan sahamnya sebesar 51% kepada Indonesia. Bangsa ini memiliki harga diri yang harus dijaga. Kalau Belanda saja bisa terusir dari negeri ini, maka apa sulitnya mengusir sebuah perusahaan asing.

 *Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga

Teguh Indonesia

image: inilah.com Oleh: Teguh Estro*        Bangsa ini memiliki harga diri yang harus dijaga. Kalau Belanda saja bisa terusir dari...
Teguh Estro Rabu, 07 Maret 2012