Menu
Teguh Indonesia

State, Definition Without Final Meaning

State, Definition Without Final Meaning
Oeh: Teguh Estro*

“If there are no rules, there being no state….”
(Ernest Gellner)
image: id.wikipedia.org

Definition of a state always develop follow epoch’s and circumstance change. That also form of state always being development from Tribal’s state until union state like nowadays. In its history mankind was lived in all development stage of state. Before mankind recognize modern state, they was passed tribal stage. Such as Indian people in Latina’s America, Aborigin in Australia continent and Mongolian in Asian. They are live in small organization from people to people and in simple communication. And then next epoch arise monarchi as a state’s form. Such as Spain, Britain, France, Ottoman or Japan. At the world war II epoch, existency of monarchi very obvios covering all world issue.

Axiomatic : Human is zoon politicon
Human is politic according to his character. Human have basic necessary in his life. Such as food necessary, home, literacy and sexual’s necessary. For attempt his necessary, human must need entire instruments. For an example, food necessary there are not being without farming sector or industrial’s machine. So, very reasonable if human attempt his nature like a forest to be farming location. That also very reasonable if human dig in the earth look for iron mineral for machine’s industrial. Then who is managing if all sector have growth develop in society. Ofcourse, society need one people or one team to manage their necessaries. This is a reason why one people can not ‘live’ without the others, specially nowadays, while one country and other’s tied in trade agreement. That just first stage from human live sirculation. Mankind has passed through fundamental stages in its history : the pre agrarian- Agrarian – and the industrial.
In brief, state is an organization that can being human necessary, surely within social contract. But in its development, people need additional live necessary. In fact number of people always growth eventhogh domestic necessary was limited. That is brief reason, why one tribal attack the other place beside security factor. In this condition, state’s function was developed from being primary necessary to occupate the other place. So, people will use military’s policy naturally. Transition from tribal state to monarchi state is beginning while military unsure was entered. Lord character change drastic more to order politic affair than domestic affair.

Monarchy’s Manifest to Modern State
Character of Monarchy’s state model is while power legitimacy handle by family clan. But in its development, many of empire that’s manage his people with good managing of governance. Such as ottoman kingdom, Spain kingdom and Britain kingdom. They are recognizing kind position in governance. As we know there are ministry, prime ministry, military affairs etc. so, surely modern state just the modification of monarchy’s model. Basicly nothing difference among them. Even nowadays, monarchys model still exist in several countries.


* Activist of 'Lensa Kalijaga' Student press.
** bahan bacaan :
- Muqaddimah author ibn Khaldun
- Nation and Nationalism author Ernest Gellner

State, Definition Without Final Meaning Oeh: Teguh Estro* “If there are no rules, there being no state….” (Ernest Gellner) image: i...
Teguh Estro Jumat, 28 September 2012
Teguh Indonesia

Rekonstruksi Peradaban Indonesia

Rekonstruksi Peradaban Indonesia
Oleh: Teguh Estro*
 image:wakalanusantara.com
            Perjalanan 67 tahun Indonesia merdeka kian terjal penuh himpitan. 67 tahun, dalam tolok ukur umur manusia tentu Indonesia bisa dikatakan telah berusia senja. Namun bila perbandingannya sebagai umur suatu peradaban, maka NKRI barulah seumur jagung. Lihat saja, kerajaan Tarumanegara berlangsung selama 2 Abad, Sri-vhidjaya lebih dari 7 abad lamanya atau peradaban Islam yang sempat mendunia dalam kurun hampir 8 Abad. Sehingga hakikatnya Indonesia kudu betul-betul belajar keras untuk menyambung usia peradabannya.
            Setiap peradaban memiliki siklusnya masing-masing. Indonesia telah melalui siklus badawiyah[1]nya. Sebuah fase perjuangan untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa yang utuh dan merdeka. Banyak yang berpendapat bahwa nusantara terjajah selama 350 tahun. Itu salah…! Justru dalam rentang 350 tahun itu merupakan waktu susah-payah nya bagi para penjajah merebut jengkal demi jengkal tanah Indonesia. Sehingga secara definitif Indonesia dijajah Belanda hanyalah selama 40 tahun saja. Hal tersebut tertandai dengan adanya struktur administrasi satu garis mulai dari desa, kadipaten, provinsi hingga garis tertinggi adalah kerajaan Holland. Dan saat itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Itu pun tidak lama setelah Belanda dan Perancis ditaklukan Inggris dalam perang Eropa. Sehingga kekuasaan Kerajaan Belanda diambil alih ole sir Thomas Stamford Raffles dari kerajaan Inggris selama lima tahun.
            Fase sebuah peradaban terus bergulir dalam setiap negara beriring perubahan karakter manusianya. Begitupun Indonesia saat ini yang dituntut mampu mengisi kemerdekaan. Kapankah masa keemasan Indonesia? Banyak yang berpendapat, masa Soekarno atau Soeharto itulah era kejayaan NKRI. Itu salah…! Karena orde-lama dan orde-baru adalah masa peletakan pondasi negara. Sedangkan di  era reformasi ini merupakan masa transisi yang sangat vital dalam sebuah peradaban. Pasalnya, umur panjang sebuah negara ditentukan saat ia bisa dengan cepat menemukan kematangan bernegara di masa transisi. Apalagi Indonesia yang memiliki territorial begitu luas ditambah ragam perbedaan di dalamnya. Perbedaan suku, kawasan, kepercayaan bahkan perbedaan kepentingan. Boleh jadi masa keemasan Indonesia masih 50 atau 100 tahun ke depan. Hal ini mengingat negara kepulauan terbesar ini belum kaya pengalaman dalam rangka mengisi kemerdekaan. Buktinya saat ini dalam membangun di era reformasi saja masih banyak yang ‘memaksakan’ membanding-bandingkan dengan perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Padahal sudah berbeda zaman, psikologis masyarakat bahkan berbeda kondisi perpolitikan pada kedua masa. Seharusnya Indonesia lebih banyak belajar justru ‘tehnik’ membangun a la sokarno, Soeharto ataupun pemimpin-pemimpin pada masa reformasi. Bahkan jangan sampai muncul arogansi meremehkan keberhasilan negara-negara jiran. Indonesia harus mau belajar dari mereka.

Menuju Kematangan Demokrasi
            Dalam pidatonya di hadapan ASEAN 100 Leadership Forum, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan tiga agenda besar dalam rangka tranformasi bangsa. Satu, pendidikan, untuk memperbaiki sumber daya manusia. Kedua, tata kelola pemerintah yang baik dengan menyediakan administrasi yang responsif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan terakhir, upaya untuk memperkokoh toleransi, keselarasan, dan kesatuan dalam negara yang majemuk. Tiga poin, pendidikan, good governance dan kesatuan bangsa.
image:skalanews.com
            Pasca kemerdekaan seolah Indonesia melakukan blunder dalam rangka bangkit dari keterpurukan. Yakni, begitu fokus melakukan perbaikan ekonomi dengan mengabaikan sektor pendidikan. Sehingga SDM yang membangun ekonomi bangsa ini bukanlah manusia yang berkarakter kuat. Para pendahulu tidak memulai dengan tradisi menghragai ilmu pengetahuan, menghormati para guru dan bergotong-royong memenuhi fasilitas pendidikan. Parahnya saat ini, karakter bangsa yang lemah sudah menjalar hingga ke struktur pemerintahan. KKN, tindak asusila dan kurang disiplin menjadi penyakit laten berpuluh-puluh tahun lamanya. Pemberantasan penyakit yang telah mengakar tidak bisa dimatikan dalam tempo 1 – 2 tahun. Dibutuhkan keseriusan dalam mendidik mulai dari generasi muda. Salah satu kesalahan paradigma para guru saat ini menyangka bahwa menanamkan karakter unggul hanya bisa dilakukan dengan teori semata. Padahal dibutuhkan kerja keras dalam memberikan tauladan, menyediakan lingkungan yang tepat bahkan asupan yang bernutrisi.
            Good governance, menjadi momok yang menakutkan bila tidak serius dibersihkan. Baik oknumnya ataupun tradisi kotor di dalamnya. Keterbukaan informasi publik salah satu ‘tehnik’ baru untuk menghakimi transparansi kinerja pejabat. Dan untungnya Indonesia menjadikan demokrasi (dan semngat demokratis tentunya) menjadi pilihan. Sebab iklim demokrasi membuat adanya check and balance antar lembaga pemerintahan. Hal tersebut yang membuat setiap institusi pemerintahan terus terpaksa belajar dari tahun ke tahunnya. Begitu keterbukaan informasi publik kian mempersempit ruang para koruptor melanggengkan kroni-kroninya.
            Persoalan pokok ketiga dari bangsa ini adalah spirit sebagai negara kesatuan. Selama ini pendahulu kita terjebak dalam perspektif yang salah. Mereka masih bernostalgia dengan cara lama, yakni prinsip "bangsa hanya bisa bersatu apabila ada serangan dari aggressor luar". Padahal itu adalah ‘mantra’ kuno yang dipakai oleh Jenderal Soedirman dkk. Akan tetapi dalam rangka mengisi pembangunan harus ada komitmen baru dalam melandasi alasan bersatunya bangsa ini. Tidak lain dan tidak bukan, persatuan NKRI didasarkan pada komitmen bersama untuk membangun manusia yang unggul. Dan hal ini sangat relevan mengingat SDM Indinesia yang tidak pernah memuncaki berbagai tolok ukur indek kualitas manusia. 36 juta jumlah pengangguran, pengakses situs porno nomor dua sedunia dan catatan buruk lainnya terkait kualitas manusia. maka dari itu, mewujudkan bangsa yang unggul adalah cita-cita bangsa yang jauh lebih unggul tinimbang gagasan negara merdeka Soekarno atau Kesejahteraan a la Soeharto. Dan kesemuanya kudu diperjuangkan dengan perbaikan pendidikan, good governance serta spirit kesatuan bangsa.



[1] Badawiyah istilah yang digunakan Ibn Khadun untuk menyebut fase awal suatu negara. Suatu fase saat para rakyat memiliki kebiasan orang-orang gurun, berperang dan piawai mempertahankan diri. Mereka mampu merebut kemerdekaan ataupun melepaskan diri sebagai separatis dari negara induk dengan usaha fisik.

*penulis adalah aktivis LPM Lensa Sunan Kalijaga
**bahan bacaan:
--> Negara-Negara di Nusantara karya:Samodra Wibawa
--> Indonesia Unggul karya: Susilo Bambang Yudhoyono
--> Demokrasi, Transisi dan Korupsi karya: Fahri Hamzah

Rekonstruksi Peradaban Indonesia Oleh: Teguh Estro*  image:wakalanusantara.com             Perjalanan 67 tahun Indonesia merdek...
Teguh Estro Sabtu, 22 September 2012
Teguh Indonesia

Reformasi dan Sisi Yang Terlupa

Reformasi dan Sisi yang Terlupa
Oleh: Teguh Estro*
image: http://foto.detik.com
    32 tahun rezim orde baru mewariskan luka panjang bagi bangsa ini. Bukan saja kerugian sebab korupsi besar-besaran, tetapi mental bangsa Indonesia turut jatuh di berbagai bidang. Sehingga krisis multidimensi menjadi hambatan terjal era trnasisi bangsa ini. Krisis moneter berdampak pada kehancuran ekonomi telah mengawali catatan di era reformasi. Nilai tukar rupiah terus melemah, harga SEMBAKO melilit rakyat bawah hingga ketakutan masyarakat akan kenaikan harga BBM. Begitupun ledakan-ledakan separatism di tiap daerah cukup mengkhawatirkan pengelolaan HANKAM di republik ini. Sebut saja Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Repubik Maluku Selatan (RMS). Tentu saja yang telah memisahkan diri provinsi Timor Leste yang menjadi pukulan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Hal yang jarang tersadari adalah mustahilnya ‘menyembuhkan’ krisis multidimensi ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Musababnya yakni begitu banyak dan kompleksnya musykilat yang dihadapi. Akan tetapi mental manusia yang memikul beban reformasi ini tengah rapuh di berbagai lapisan. Sangatlah tidak fair bila kita membandingkan kebangkitan Jepang dengan reformasi di Indonesia. Negeri ‘matahai terbit’ tersebut pernah mengalami kehancuran hebat dengan ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki (dua daerah lumbung pangan mereka). Jepang menyerah tanpa syarat dan bertekad membenahi bangsanya dengan cepat. Banyak pertanyaan kenapa Jepang begitu cepat mereform negerinya. Sedangkan Indonesia terus berpredikat sebagai negara berkembang sampai sekarang. Perlu ada pendekatan yang fair  terhadap kondisi bangsa Jepang sebelum ledakan tersebut. Mereka sebelumnya adalah imperialis di Asia. Tentu saja mental sebagai bangsa besar dan berpendidikan menjadi modal bagi mereka. Apalagi scope wilayah yang tidak seluas Indonesia serta persoalan internal yang tentu tidak serumit Indonesia pula. Sebaliknya kita tengok kondisi real Indonesia saat terjadi keterpurukan. Mental serta kultur yang rendah menghadapi persoalan njelimet dari Sabang sampai Merauke.

    Pendekatan dalam membaca reformasi haruslah sampai finish. Indonesia tengah menghadapi tekanan baik dari dalam maupun desakan kepentingan dari bangsa luar. Yang paling jelas adalah negara-negara pasifik barat yang begitu terasa kepentingan mereka kepada Indonesia. Sebut saja sang ‘polisi dunia’ Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Australia, Rusia, China, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan dan negara-negara ASEAN. Mereka semua jelas melihat bumi nusantara sebagai ‘sasaran empuk’ terhadap kepentinganya.
image: http://infopublik.kominfo.go.id

    Semisal Amerika Serikat yang memiliki sejuta kepentingan di Indonesia. Bukan saat ini saja, sejak masa Soekarno negeri Paman Sam itu telah mencengkeramkan pengaruhnya. Dalam hal kepentingan Ideologi, Amerika begitu aktif mendekati negara-negara yang tengah terjangkiti pengaruh komunis. Bahkan Partai Masyumi pernah mendapat bantuan dari Amerika US$ 1 Juta dalam rangka pemberantasan komunisme di Indonesia (pada masa presiden Eisenhower). Begitu juga dalam hal kepentingan HANKAM. Amerika begitu mengawasi perkembangan Nuklir di Korea. Bahkan dengan meningkatnya perhatian pemerintah China terhadap belanja militer membuat Amerika betul-betul membutuhkan Indonesia menjadi partner di kawasan Asia Pasifik. Bukankah berlepasnya negeri Lorosae (Timor Leste) sebagai salah satu hasrat Amerika hendak mendirikan pangkalan Militer di kawasan Asia Pasifik melalui tangan Australia.

    Pasca tragedi WTC 11 september 2011, kebijakan luar negeri Amerika Serikat drastis berubah. Mereka dengan 'tergopoh-gopoh' mencari kambing hitam yang kemudian teralamatkan kepada Osama bin Laden. Akan tetapi belakangan, negara super power tersebut kerap meng-general-isir terorisme yang distereotipkan pada Islam. Dan itu telah menjadi perspektif umum negara-negara barat. Sehingga dengan ‘rajin’nya jaringan teroris bergiat di Indonesia membuat Amerika kudu mengambil peran ‘lagi’.

    Selain Amerika, negara lain yang kerap banyak campur tangan dalam banyak urusan di Indnesia adalah Jepang. Pada tahun 1995, negeri para samurai ini menguasai 90% pasar otomotif di Indonesia (saya harus bilang “wow”) walaupun saat ini telah memiliki saingan baik dari korea, China, India maupun Eropa. Akan tetapi catatan besarnya penduduk Indonesia cukup menggiurkan bagi pengusaha otomotif mereka. Sehingga bergabung Jepang dalam organisasi APEC sejatinya tidak lain sebagai pencaharian bahan mentah dari Indonesia sekaligus pemasaran industri otomotif mereka.

    Pada masa reformasi ini, Indonesia dihadapkan pada dua persoalan sulit. Yakni kemelut di dalam negeri dan desakan kepentingan negara luar. Sehingga dibutuhkan beberapa ‘senjata’ untuk mengatasinya. Pertama, kapasitas mengelola perekonomian (terutama ekonomi mikro), kedua, mengakarnya jiwa persatuan dan ketiga, kemampuan pergaulan Internasional. Dan perwujudan ketiga hal tersebut secara mengakar diwujudkan dengan pendidikan. Sehingga bisa dimiliki oleh semua (tanpa terkecuali) oleh rakyat Indonesia khususnya di daerah.

Mengawali dari Pembenahan Pendidikan
    Bangsa besar adalah bangsa pembelajar. Kaisar Hirohito menjadikan para guru sebagai tiang pancang kebangkitan bangsa Jepang. Hal serupa yang dilakukan oleh Turki yang begitu prioritas dalam hal pendidikan. Di negeri separuh Eropa-separuh Asia tersebut orang-orang kaya wajib menyisihkan dana untuk pendidikan. Hanya saja ketika pembenahan pendidikan di Indonesia memang harus benar-benar lebih serius tinimbang negara-negara lainnya.

    Pertama, dalam menyukseskan reformasi harus meakukan diagnosa permasalahan secara detail dan kompleks. Dan salah satu inti dari keruwetan benang kusut ini adalah pendidikan. Bukan sekedar mendidik dalam lembaga formal, akan tetapi mendidik juga mengajarkan nilai moral kepada masyarakat.
    Kedua, masyarakat yang masih terbelakang di Indonesia begitu banyak jumlahnya. Sehingga peningkatan kualitas SDM bukanlah hal mudah yang bisa tuntas dalam hitungan 1 – 2 tahun. Tentu saja membutuhkan rencana bertahap dengan anggaran yang besar. Akan tetapi yang menjadi titik tekan adalah perasaan ‘sadar’ bahwa mendidik manusia Indonesia adalah hal yang terpenting dan segala-galanya. Apresiasi terhadap guru semsetinya menjadi tradisi bagi bangsa yang bercita-cita bangkit dari keterpurukan.


*penulis adalah Pegiat LPM Lensa Kalijaga
Bahan bacaan ;
1)    Reformasi Indonesia karya Widoyo Alfandi.
2)    Awakening the Giant (membangunkan negeri raksasa yang tertidur) karya Munawar Fuad.
3)    Transisi Menuju Indonesia Baru karya Sjahrir.
4)    NASIONAL.IS.ME karya Pandji Pragiwaksono

Reformasi dan Sisi yang Terlupa Oleh: Teguh Estro* image: http://foto.detik.com     32 tahun rezim orde baru mewariskan luka panjang ...
Teguh Estro Sabtu, 15 September 2012
Teguh Indonesia

CENTURY, Bongkar, Bongkar, Bongkar…!

CENTURY, Bongkar, Bongkar, Bongkar…!
Oleh: Teguh Estro*


Antashari Azhar ternyata masih sempat-sempatnya membuat gerah penguasa. Salah satu ulahnya yakni testimoni terkait rapat bailout Century. Antasari menuding bahwa pada 9 Oktober 2008, SBY telah mengkoordinir rapat ‘khusus’ bersama pejabat-pejabat penting dalam rangka penyelamatan
krisis nasional. Celoteh mantan ketua KPK itu menguatkan dugaan bahwa terdapat keterlibatan Presiden dalam kebijakan penggelontoran dana talangan 6,7 Triliun tersebut.

Sampai saat ini pengusutan kasus Century masih berputar-putar sampai ke sosok Robert Tantular saja. Seolah KPK enggan membongkar ikan kakap yang lebih besar. Saat ini jika Abraham Shamad dkk mau menunjukkan keberaniannya, maka periksalah Antasari sekarang juga. Pasalanya testimoni terkait bailout Century dari terpidana kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen itu belum begitu kuat. Harapannya dari pemeriksaan itulah bisa menghasilkan bukti yang kuat ataupun data penting lainnya. Karena seperti biasa, KPK belum berani mengambil tindakan jika belum memiliki minimal dua bukti atau pengakuan saksi.

Publik kian mencari kejelasan terkait siapa yang harus bertanggung jawab atas dana talangan tersebut. Pada tanggal 4 Maret 2010, Ketua Dewan Pembina Partai demokrat (SBY) menegaskan dalam pidatonya bahwa dirinya tidak terlibat dalam pengambilan kebijakan terkait bailout dikarenakan posisinya yang tengah di luar negeri. Akan tetapi saat ini alibi tersebut kian diragukan lantaran ‘testimoni genit’ Antasari Azhar. Belum lagi serangan penuh dendam dari Misbakhun yang mengungkap surat resmi dari Sri Mulyani (ketua KSSK saat itu) kepada SBY. Dalam surat tersebut termaktub kalimat pembuka “Sebagaimana Bapak Presiden Maklum”. Politisi PKS itu menafsirkan bahwa kalimat itu membuktikan  Presiden mengetahui secara mendetail terkait keputusan mencairkan dana 6,7 Triliun tersebut.

Beberapa pihak lain yang menjadi orang kunci harus segera dipanggil KPK. Antara lain Susno Duadji, Boediono maupun Sri Mulyani. Testimoni yang diungkap oleh Antasari juga memuncukan nama-nama baru yang patut dimintai keterangan. Yakni, Kapolri Hendarso Danuri, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Menko Polhukam Widodo AS dan Mensesneg Hatta Rajasa. Sehingga skandal Century memang layak untuk dibongkar lagi sampai ke akar-akarnya.

Presiden RI ke-6 ini jelas-jelas membantah bahwa rapat tahun 2008 itu merupakan pembahasan skenario bailout Century. Bahkan SBY membagikan transkrip notulensi rapat tersebut kepada berbagai media. Dalam transkrip yang dibagikan memang tidak menyebut sedikitpun terkait dana talangan Bank yang telah berubah nama menjadi Bank Mutiara tersebut. Akan tetapi kendati tidak menyebut bailout Century secara spesifik, rapat tersebut telah mengarahkan terkucurkannya uang. Sebagaimana dalam transkrip notulensi yang dibagikan, SBY mengarahkan rapat tersebut agar dalam kondisi krisis, pemerintah harus bisa mengambil kebijakan secara tepat. Meskipun belum ada hukum atau aturan yang mengatur pengambilan kebijakan dalam kondisi krisis, maka tetap dibutuhkan solusi demi kepentingan penyelamatan negara. Sehingga Presiden mengarahkan agar tidak mengapa ‘Melompati’ pagar aturan, demi kepentingan negara. Bahkan Antasari Azhar menambahkan sebuah yurisprudensi yang mengatakan bahwa hi­lang­lah sifat melawan hukum jika kepentingan umum terlayani.

  Dalam pidato presiden tahun 2010 pun sebenarnya sama saja, yakni tidak terdapat kalimat bailout Century secara spesifik. Perhatikan saja kutipannya "Sekali lagi, di saat pengambilan keputusan itu, saya sedang berada di luar negeri. Saya memang tidak dimintai keputusan dan arahan. Saya juga tidak memberikan instruksi atas pengambilan kebijakan tentang ihwal itu, antara lain karena pengambilan keputusan KSSK berdasarkan Perpu No 4/2008 memang tidak memerlukan keterlibatan presiden.” Tepis SBY kala menanggapi hasil keputusan DPR menerima opsi C tentang skandal Bank Century. Kendati pidato presiden itu tidak menyebut terkait bailout Bank Century, tetapi semua paham terkait substansinya yang menolak keterlibatannya dalam mega skandal tersebut. Begitupun dalam transkrip notulensi rapat tahun 2008 lalu, walaupun tidak tersebut kata bailout Century secara spesifik, tetapi semua tahu sama tahu arahnya kemana. Adalah skenario pengadaan dana talangan memang didalangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ayolah Abraham Shamad jangan pengecut….!

*Penulis adalah Aktivis LPM Lensa Kalijaga

CENTURY, Bongkar, Bongkar, Bongkar…! Oleh: Teguh Estro* Antashari Azhar ternyata masih sempat-sempatnya membuat gerah penguasa. ...
Teguh Estro Selasa, 11 September 2012
Teguh Indonesia

Perjalanan Dept Kebijakan Publik KAMMI Kota Yogyakarta tahun 2011

Perjalanan Departemen Kebijakan Publik
PD. KAMMI Kota Yogyakarta Tahun 2011
Oleh: Teguh Estro*

Periode ini sebenarnya bukanlah saat yang paling tepat untuk melakukan kerja-kerja eksternal bagi KAMMI daerah kota Yogyakarta. Pasalnya kondisi beberapa komisariat yang belum terkelola secara maksimal. Semisal Komisariat Ahmad Dahlan (KAD) yang mengalami krisis kepemimpinan. Selanjutnya beberapa kampus lain semisal STPMD, UST dan Akprind yang belum menginduk pada satu komisariat tertentu. Selanjutnya KAMMI daerah kota Yogyakarta juga mengalami kondisi dilematis. Yakni begitu progresifnya komisariat UIN Sunan Kalijaga tinimbang sejawat lainnya. Hal ini setidaknya membebani mental jika tidak apik dalam memanajemennya.

A.    Program Eksternal
Selanjutnya terkait strategi eksternal yang telah ‘terlanjur’ diprogramkan. Setidaknya KAMMDA masih memiliki visi yang jauh yang berwujud sikap dan kontribusi terhadap kota Yogyakarta. Ada beberapa tahapan dalam membangun paradigma eksternal bagi KAMMI Daerah Kota Yogyakarta.
1.    Pertama tahapan penginderaan, yakni kader mengeluarkan segala potensinya dalam mengendus kondisi dan pemetaan kota Yogyakarta. Sehingga begitu urgen dilakukan komunikasi spesifik terhadap stakeholder yang berhuni di kota gudeg ini. Semisal meakukan audiensi terhadap eksekutif maupun legislative, LSM dan masyarakat.
2.    Kedua, tahapan kontribusi, yakni segenap kader KAMMI turut serta menjadi bagian dalam penyelenggaraan pemerintahan Kota Yogyakarta. Sebab kader sedikit banyak harus mengetahui prosedural penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu contohnya, ambil bagian dalam dengar pendapat di seluruh komisi legislatif saat pembahasan sebuah perundang-undangan. Berkontribusi dalam menyukseskan program pro-poor yang dilakukan eksekutif. Dan yang paling penting KAMMI harus lebih dekat terhadap masyarakat. dan memiliki konstituen yang jelas secara definitif.
3.    Ketiga, tahapan bersikap, yakni KAMMI secara institusi mulai berani menentukan sikap positioning dalam bergerak. Organisasi ini harus berpihak pada rakyat dengan target yang jelas, masyarakat yang definitif dengan kapabilitas yang terukur. Semisal KAMMI benar-benar membidik warga kali code di RT dan RW yang jelas. Betul-betul menyatu dengan masyarakat serta wajib memiliki peta analisis sosialnya. Sehingga betul-betul advokasi yang dilakukan tidak tumpul.
Beberapa waktu lalu telah banyak agenda eksternal yang –semoga- tidak sia-sia. Dimulai dari “Aksi Netralitas KPU” yang akhirnya dikritik pedas oleh pak Nasrullah (ketua KPU). Ia menengarai bahwa aksi tersebut bisa membuat masyarakat apatis dan tidak percaya terhadap lembaga penyelenggara PILKADA. Dan itu sangat “berbahaya” menurut beliau.

Akan tetapi ada sebuah pelajaran penting saat itu, yakni mengenai karakter kota Yogyakarta. Bahwasannya hal yang dijunjung tinggi di kota ini adalah mengenai kenyamanan dan ketenangan suasana kota. Karena hal tersebut menjadi komoditas utama yang diperdagangkan sebagai kota wisata berbasis budaya. Beliau berkelit apabila Jogja selau di demo, maka wisatawan akan berpikir ulang untuk berkunjung kemari. Akan tetapi “nasehat” tersebut tidaklah di-iya-kan 100%. Karena jelang beberapa minggu setelahnya, KAMMDA Kota Yogyakarta melakukan Aksi kembali. Tepatnya di baaikota Yogyakarta berpas-an dengan agenda pengambilan nomor urut calon walikota Yogyakarta. Dan aksi itu bertajuk “PILKADA Anti Money Politik”
Penting diketahui beberapa hari sebelum aksi tersebut. Beberapa anggota KAMMI telah beraudiensi ke PANWASKOT. Hal terkait mengkompromikan beberapa ide ikhwal pencegahan money politik saat PILKADA. Akan tetapi dari pihak PANWASKOT menyuguhkan nada pesimis untuk melakukan itu. Setidaknya mengingat keterbatasan jumlah pengawas di setiap kecamatan. Bahkan di setiap kelurahan hanya terdapat 1 orang pengawas dari PANWASKOT. Padahal di setiap kelurahan terdapat belasan TPS.

Beberapa hari pasca aksi tersebut KAMMI akhirnya sedikit melunak dengan melakukan dialog terhadap KPU. Dan akhirnya KPU mau mengirimkan delegasinya untuk mengkampanyekan “PILKADA Anti Money Politik” hanya saja kita arahkan pada segmen pelajar dan mahasiswa. Sebuah diskusi publik yang sempat dihadiri oleh puluhan pelajar di kota Yogyakarta bertempat di Teatrikal Pusat Bahasa UIN Sunan kalijaga. Setelah PEMILUKADA Usai muncul hasil Haryadi Suyuthi dan Imam Priyono sebagai orang nomer 1 di kota Yogyakarta. Hingga akhirnya dilantik pada akhir tahun 2011 secara resmi.
KAMMI mulai melanjutkan program eksternal dengan melakukan dialog dengan pak Zuhrif Hudaya dari komisi C DPRD Kota. Beliau mengkritisi segala agenda KAMMI yang tidak memiliki output dan outcomenya. Dan selanjutnya pak Zuhrif Hudaya menjabarkan terkait Visi Yogyakarta sebagai “Kota Wisata berbasis Budaya”.

Sebagai tindak lanjut dari dialog tersebut akhirnya KAMMDA melakukan diskusi publik terkait ke-pariwisata-an. Sebuah seminar daerah bertajuk “Kota Jogja Aset Pariwisata Nasional –Membedah Compang-camping Pariwisata Jogja-“ diselenggarakan di kampus STPMD pada tanggal 24 desember 2011. Dengan pembicara dari dinas pariwisata kota Yogyakarta.

Beberapa pekan sempat vacuum hingga akhirnya melanjutkan silaturahmi kepada beberapa tokoh lokal. Pada awal februari akhirnya kita berdialog dengan pak Suwarto peye dari PDIP terkait kondisi masyarakat kota. Beliau mengingatkan mengenai watak masyarakat kota yang sangat khas. Terlebih lagi masyarakat miskin kota dengan penghasilan rendah tetapi gaya hidup mewah. Bahkan mereka jauh lebih cerdas dibanding ‘tampang’ miskinnya. Mereka diberi uang sebagai modal malah dihabiskan sebagai ‘jajan’ sehari-hari. Selanjutnya diberi bantuan barang-barang sebagai prasarana dagang, malah barang tersebut dijual dan dibelanjakan untuk keperuan yang tidak penting.

Setelah itu KAMMI berdialog lagi dengan pak Syafi’i dari PKS. Beliau menginformasikan terkait isue-isue menjelang 100 hari Walikota Haryadi Suyuthi. Ada beberapa kasus yang menarik untuk diungkap ke[ermukaan. Salah satunya kasus Mobil dinas dan kasus XT Square. Hingga akhirnya KAMMI kembali turun ke jalan menuntut tolak pembelian mobil dinas. Aksi tersebut dilakukan di dua tempat. Pertama di gedung DPRD sampai kita berdialog dengan dua orang anggota dewan yakni PKS dan Demokrat. Selanjutnya massa aksi melanjutkan rute aksi menuju balaikota. Kita disana menerobos pagar dan bertemu langsung dengan wakil walikota Imam priyono. Hingga akhirnya berdialog meminta “Mobil dinas diurungkan saja”.

Pasca aksi jalanan, perjuangan tidak hanya habis disitu. KAMMI mengundang perwakilan dari KPK pusat untuk berdialog bersama. Salah satu anggota KPK mas Harismmoyo berdialog panjang terkait pemberantasan korupsi di Indonesia. Dan satu hal yang bisa diambil, bahwasannya kita harus tegas menuntaskan Korupsi, bukan hanya koruptornya. Ada sistem yang salah dan terus berproduksi menghasilkan para koruptor. Dan itulah yang harus dituntaskan terlebih dahulu.
Beberapa hari kemudian perjalanan silaturahmi KAMMI berlanjut ke meja LBH Yogyakarta. Kita berdiskusi terkait pemetaan kota Yogyakarta. Beliau, bang Irsyad Thamrin menjelaskan akan penting konstituen dalam bergerak. Dan juga memiliki metodologi yang jelas dalam setiap program. Jangan  menjadi aktivis yang aktivisme, hanya terpaku dengan program2 tahunan. Lebih baik bergerak sedikit tetapi fokus dan menghasilkan. Dan ia menyarankan agar KAMMI benar-benar berpihak pada kelas menengah ke bawah. Sampai-sampai beliau mengkritik terkait aksi KAMMI Tolak Mobil DInas sekedar pncitraan semata.

Selang 2-3 hari berikutnya, KAMMI kembali berdialog dengan saah satu anggota legislatif. Yakni pak Chang ketua Komisi A DPRD Kota. Ia mendialogkan tentang adanya komunikasi yang terputus antar tiga elemen. Yakni pemerintah, DPRD dan masyarakat. selanjutnya pula anggota Fraksi dari PDIP ini menjelaskan mengenai masyarakat Kota khsusnya kali code yang bermasalah ada mentalnya. Sehingga pendidikan mental sosial itu sangat penting didahulukan. Karena persoalan ekonomi hanyalah kulitnya saja di kota Yogyakarta ini.

Perjalanan Departemen Kebijakan Publik PD. KAMMI Kota Yogyakarta Tahun 2011 Oleh: Teguh Estro* Periode ini sebenarnya bukanlah saa...
Teguh Estro