Menu
Teguh Indonesia

Menyakitkan Lalu Membangkitkan


Oleh: Teguh Estro
(Sambutan MILAD KAMMI ke-15 KAMDA Kota Yogyakarta)


“….Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan….”
----Pramoedya Anantatoer----

            Kesucian tekad barulah terpadamkan bilamana si empunya tekad melenceng dari tujuannya. Sekelompok muda bangsa yang menamakan diri mereka sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) benar-benar sehat pikirnya dalam satu tujuan bersama. Tujuan secara sadar itu yakni:
“Menjadi wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara yang Islami.”

            15 tahun yang lalu berarti sama dengan 5.475 hari lamanya organisasi mahasiswa ini terus-menerus hidup bahkan menghidupi bangsa ini.           Dengan modal yakin setinggi-tingginya  bahwa akan ada suatu masa keemasan bangsa ini. Entah 10, 20 atau 30 tahun mendatang maka KAMMI sudah terlalu siap untuk leading membenahi polemik-polemik krusial bangsa ini pada masa itu.

            Rekan-rekan aktivis yang saya banggakan.
            Kenapa harus diwujudkan peringatan-peringatan semacam ini. Tidak lain untuk menyadarkan kita tentang tiga pertanyaan pokok. Pertama darimana organisasi ini berpijak, lalu kedua   sudah sampai mana KAMMI bertegak sekarang. Dan yang ketiga, kemana tujuan akhir dari pergerakan ini.

            Pertama, Darimana organisasi ini berpijak? Suatu pertanyaan yang membuat kita teringat lagi historis heroisme gerakan reformasi. Awalnya lahir dari rahim reformasi tahun 1998 yang penuh dengan gejolak perubahan. 29 Maret 1998 KAMMI menjadi entitas baru dengan massa yang memadati jalan-jalan. Tentu saja kondisi reformasi menjadikan lahirnya organisasi ini benar-benar untuk cita-cita besar, perbaikan Indonesia. Bangsa ini bukanlah daerah yang hanya seluas 685 km2 saja seperti negara tetangga, tapi 2780 kali lipat dari itu. Sehingga membenahi bangsa ini sungguh dibutuhkan manusia-manusia pilihan. Serta negara ini juga bukanlah wadah yang diisi oleh ratusan ribu jiwa saja seperti negara-negara lain, tetapi 240.000.000 jiwa. Oleh karenanya sangatlah mendesak bagi rakyat Indonesia akan lahirnya jiwa-jiwa pemimpin yang sekuat baja. Dan kita sudah sejak awal meyakini dengan berdisiplin mengikuti Manhaj kaderisasi KAMMI merupakan batu loncatan membentuk karakter kepemimpinan.

Kita harus optimis bahwa dari rahim wanita-wanita Indonesia masih mampu melahirkan Soekarno-Sokarno baru seperti kita. Jiwa patriot Tjoet Nyak Dien akan lahir kembali dari sini, dari ruangan ini. Tan Malaka muda, Muhammad Natsir yang relijius dan modern dan sosok pemimpin berkarakter lainnya. Itulah visi besar kita memperbaiki bangsa ini dengan melahirkan kader-kader berjiwa pemimpin. Jangan pernah beranggapan kader-kader aktivis yang ada di ruangan ini tidak akan menjadi siapa-siapa. Mereka inilah orang-orang yang akan memimpin esok hari. Tentu saja dengan menapaki tangga pesakitan demi pesakitan hidup yang mungkin 10 kali lebih sulit ketimbang pemimpin-pemimpin instan di luar sana. Sekali lagi inilah visi besar kita kawan-kawan.

Saudara-saudara aktivis KAMMI yang saya banggakan
Pertanyaan Kedua, Sudah sampai dimana perjalanan kita sekarang? Sudah 15 tahun wadah ini  berproses dan akan terus menanjak tebing-tebing terjal dengan percaya diri. Inilah kondisi dimana kader-kader muda menjadi jembatan penyambung antara ide pendahulu gerakan dengan ide perbaikan bangsa kekinian. Kondisi saat ini KAMMI tengah menghadapi fase pematangan dan uji publik terhadap visi besarnya. Masih relevankah visi tersebut saat ini, masihkah seorang pemimpin dibutuhkan sebagai pemecah solusi sengkarut persoalan bangsa. Sudah saatnya bagi ideolog-ideolog gerakan KAMMI bersatu paham kembali. Dan tentu saja dalam waktu dan ruang saat ini, perlu ada pematangan ideologi gerakan. Karena ideologi bukanlah hanya milik generasi awal saja. Oleh karenanya perlu ada pematangan dengan penambahan ide konstruktif dari ideolog-ideolog KAMMI di masa sekarang.

Selain pematangan saat ini perlu adanya uji publik terhadap kader-kader KAMMI di masa sebelumnya untuk mengambil peran menjadi pemimpin di setiap lini kehidupan. Di Provinsi NTB sudah ada mantan ketua KAMDA periode 98/99 yang bertarung di  PILKADA. Beliau bernama al-akh Suryadi Jaya Purnama dan yang menjadi wakilnya adalah al-akh Johan Rosihan yang merupakan ketua KAMDA NTB periode setelahnya. Inilah masa kader-kader KAMMI melakukan uji publik. Baik ataukah buruknya itu persoalan proses, karena kita memahami bahwa karakter pemimpin tidaklah mewujud dalam masa yang instan.

Kader-kader KAMMI yang saya cintai
Pertanyaan yang terakhir untuk kita renungkan dalam MILAD KAMMI yang ke-15 ini adalah apa tujuan akhir dari pergerakan ini? Apabila merujuk pada visi organisasi maka tertera secara tekstual yakni “mewujudkan bangsa dan negara yang Islami.” Sebuah cita-cita nan luhur yang harus digapai sekumpulan mahasiswa muslim ini.

Ada dua obyek dari visi ini yakni bangsa dan negara. Membenahi bangsa artinya menata kekurangan – kekurangan hidup bermasyarakat sesuai stratifikasi sosial masing-masing. Ada domain budaya, sosial, dan kemajemukan manusia yang perlu digarap dengan konsep yang benar. Maka tugas kita adalah mewujudkan kesemuanya itu menjadi Islami. Berikutnya dalam hal bernegara maknanya mengatur pemerintahan secara hierarkis. Kader KAMMI harus berkapabilitas secara matang untuk mendewasakan pemerintahan negara ini menjadi lebih Islami.

Apabila hendak ditarik benang merah, maka membenahi rakyat dan pemerintah menjadi Islami adalah tugas panjang kita. Dan untuk mewujudkan itu kita tidak akan mampu berjuang sendiri. KAMMI butuh entitas lainnya untuk bekerja sama. Baik itu pihak pemerintahan, militer, akademisi, media, tokoh agama dlsb. Sejak saat inilah, di organisasi inilah, kita harus membiasakan diri menjadi perekat berbagai elemen tersebut. Agar tujuan organisasi ini kian mewujud nyata. Memang perjuangan ini terasa sakit, tapi seiring waktu kita akan menikmati pesakitan itu untuk membangkitkan bangsa ini.

Demikianlah sambutan dari saya
Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh

Oleh: Teguh Estro (Sambutan MILAD KAMMI ke-15 KAMDA Kota Yogyakarta) “….Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa ...
Teguh Estro Sabtu, 30 Maret 2013
Teguh Indonesia

Bersungguh-sungguh Dalam Berusaha


oleh: Teguh Estro
(Khutbah Jum'at di Masjid Baitul Karim Maguwoharjo 29 Maret 2013)


Jama’ah Sholat Jum’at yang dirahmati Allah.
            Barokah di hari jumat ini semoga menghantarkan kita untuk senantiasa bersyukur pada Allah Swt. Karena setiap harinya kita selalu tersibukkan dengan rutinitas-rutinitas pekerjaan. Maka sudah sepantasnya hitungan detik yang kita gunakan dalam ibadah jumat ini, sebagai ekspresi syukur kepada Rabb. Karena ungkapan syukur memiliki makna kepasrahan pada Allah ‘azza wajalla. Kita lekas meyadari bahwa jatah umur yang masih ada sampai saat ini adalah pemberianNya semata. Kita mampu memahami kekuatan serta kecerdasan manusia selama ini tidak lain hanyalah karuniaNya. Itulah esensi syukur, mengembalikan semua yang kita punya pada Allah Swt.

            Selanjutnya Sholawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad Saw. Semoga kesemuanya kita yang berjama’ah di sini mendapatkan syafa’at di hari pembalasan nanti.

            Adapun judul dari khutbah jum’at hari ini adalah “Bersungguh-sungguh dalam berusaha”
            Setiap diri kita memiliki peran masing-masing dalam kehidupan. Dan peran tersebut sudah dan akan kita jalani dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Apapun profesi kita tentu saja harus bermanfaat bagi manusia lainnya dan bertujuan untuk mendapatkan ridho Allah swt. Usaha yang mulia tidaklah lantas mudah begitu saja tertunaikan. Pasti ada kesulitan yang pelik pada setiap proses usaha manusia. Bahkan tidak jarang  kita merasa sudah tidak sanggup lagi menahan beban hidup ini. Akan tetapi sebagai umat Islam kita harus meyakini adanya pertolongan dari Allah Swt. Sadarilah bahwa kita bisa bertahan kerja keras sampai sejauh ini ini tidak lain karena bantuan kekuatan dari Sang Penguasa. Oleh karena itu sesulit apapun rintangan usaha kita, maka minta lah kepada Allah Swt untuk turut campur tangan mempermudah kerja-kerja kita.

            Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah
            Dalam menyempurnakan kerja keras kita perlu adanya pemaknaan yang tidak setengah-setengah mengenai konsep kerja-keras dalam Islam. Apa yang dimaksud dengan ikhtiar, lalu kapankah manusia boleh bertawakal serta bagaimana peran do’a dalam segenap usaha manusia.

            Pertama, bagaimana sebaiknya sikap manusia dalam berikhtiar di dunia ini. Suatu ikhtiar kudu dibenahi dengan niat yang bersih untuk Allah Swt. Karena hal ini akan menentukan kedudukan amal tersebut akan memberikah barokah kepada kita atau tidak. Alangkah sangat disayangkan setelah kita berusaha sekeras-kerasnya akan tetapi tidak bernilai ibadah karena tidak menyertakan Allah Swt dalam niatnya. Kendatipun jabatan kita setinggi-tingginya, tetapi bila tidak menujukan niat kepada Allah, maka segalanya tidak dinilai ibadah. Karena yang Allah nilai itu hanyalah niat dari hati yang melakukan.

Artinya: Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr r.a, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia memandangg kepada hati kalian.” (HR Muslim)

            Selanjutnya, setelah benar niat kita maka usaha yang kita lakukan harus dikerjakan semaksimal mungkin. Seperti halnya bunda Siti Hajar berlari-lari sekuat tenaga mencari air untuk puteranya Ismail. Ia berlari mendaki dari satu bukit terjal ke bukit lainnya di tengah panas gurun. Sampai akhirnya Allah Swt memberikan pertolongannya saat kaki mungil Ismail menghentakkan tanah sampai memunculkan air dari perut bumi untuk diminum. Itula usaha yang maksimal. Sebagaimana juga usaha yang maksimal yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar. Seorang wanita yang memaksakan kuat menaiki terjalnya bukit Tsur untuk menghantarkan bekal makanan kepada Ayahnya r.a dan Rasulullah Saw yang dikejar-kejar kafir Quraisy. Bahkan saat Asma’ binti Abu bakar hijrah ke madinah ia tengah dalam kondisi hamil tua menyusuri panas gurun pasir dari Mekkah ke Madinah. Dan sesampainya di Quba ia berjuang melahirkan anaknya dan barulah kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Itulah usaha yang dilakukan secara maksimal ditunjukkan oleh mereka yang niatnya tulus. Begitupun di zaman sekarang saat kita berupaya kuat melaksanakan usaha apapun harus secara maksimal. Keringat bercucuran bukan persoalan, tangan melepuh bahkan menyumbangkan darah dalam pekerjaan demi totalitas berikhtiar.

            Terkadang manusia kerap mengeluh apabila hanya menghadapi panas sedikit. Atau berhenti berusaha ketika baru mengalami sekali kegagalan. Enggan berupaya kuat saat mulai banyak yang menghujat. Mari kita belajar dari seorang Nabi yang begitu sabar dalam berusaha,  dialah nabi Nuh a.s. Beliau menyampaikan risalah tauhid selalu istiqomah kendatipun banyak yang mencemooh bahkan anak dan isterinya meninggalkannya. Beliau mendapatkan hinaan bukan satu atau dua kali saja, akan tetapi beratus-ratus tahun lamanya. Bayangkan bagaimana sungguh terguncang jiwa seorang manusia jika selama beratus-ratus tahun dikucilkan, dihina dan diperlakukan sebagai orang aneh. Akan tetapi beliau tetap tegar berusaha semaksimal mungkin. Walaupun beliau hanya mendapatkan 70 orang pengikut saja selama 900 tahun usianya. Tetapi beliau telah menunjukkan upaya paling totalitas dalam berusaha. Sehingga benarlah bila beberapa ahli sejarah memasukkan beliau sebagai golongan ‘ulul ‘azmi diantara Nabi-nabi yang lainnya. ‘Ulul Azmi artinya golongan yang memiliki tekad yang tinggi.

            Bagi kita seorang muslim berikhtiar bukan sekedar asal-asalan apalagi bermalas-malasan. Karena kita tidak hanya berhenti pada pencapaian dunia saja, ada tujuan jangka panjang yang hendak dicapai. Yakni tujuan mencari ridho Allah Swt. Itulah penggerak utama antusias kita dalam bekerja dalam usaha kesehariannya. Apalagi bila tertnam dalam diri ini sikap merasa diawasi oleh Allah Swt dalam setiap amal yang diperbuat. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam Surah at-Taubah: 105

“ Dan katakanlah, bekerjalah kamu. Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin….” (Q.S at-Taubah: 105)

Kaum muslimin jama’ah Sholat Jumat rahimakumullah
            Selanjutnya setelah berusaha sekuat jiwa dan raga maka kita sebaiknya bertawakal kepada Allah Swt. Ingat, tawakal itu berserah diri kepada Allah setelah adanya usaha ataupun ikhtiar. Jika belum ada usaha apapun yg diperbuat maka tidak ada yang namanya tawakal. Makna dari berserah diri yakni menyerahkan apapun hasil dari yang dikerjakan kepada Rabb semesta alam. Sebagai umat Islam kita harus ridha terhadap apapun keputusan Allah. Tugas manusia hanyalah berusaha sekuat yang ia punya, dan Allah sajalah yang menentukan hasil. Dan Apapun keputusan tersebut kita wajib meyakini bahwa itulah yang terbaik untuk kita.

            Umat Islam tidak boleh mengingkari adanya campur tangan Alah Swt dalam setiap pekerjaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Qarun dengan sombongnya menganggap semua harta kekayaannya hanyalah dari peras keringatnya sendiri. Hal tersebut menjadikan Allah murka dan menurunkan azab dengan menenggelamkan segala harta usahanya. Maka dari itu bertawakal adalah puncak dari segala proses kerja keras kita.

            Kemudian hadirin sekalian, kita juga dituntut untuk berdo’a kepada Sang Pencipta. Meminta pertolongan bisa dilakukan kapan saja bahkan sebaiknya di setiap proses usaha kita selalu diiringi dengan do’a. Karena dengan berdo’a bermakna mengakui kelemahan diri  di hadapan Allah Swt untuk kemudian meminta pertolongan kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sungguh, hanya kekuatan dari Allah sajalah yang mampu membantu usaha-usaha kita.

oleh: Teguh Estro (Khutbah Jum'at di Masjid Baitul Karim Maguwoharjo 29 Maret 2013) Jama’ah Sholat Jum’at yang dirahmati All...
Teguh Estro
Teguh Indonesia

Indonesia Kian Lekang oleh Kelalaian


oleh: Teguh Estro


Setelah merdeka semakin bertambah tahun, hanyalah menambah kelahiran generasi-generasi lalai. Mereka yang sehabis mengusir penjajah, terusir juga rasa waspadanya. Mereka yang setiadanya Belanda, tiada pula Antusias perjuangannya. Dan mereka yang selepas memproklamasikan kemerdekaan justru dimaknai dengan proklamasi kelalaian dari sebentuk masalah-masalah yang akan timbul esok hari. Berikut akan tergambarkan senyatanya kelalaian segolongan besar manusia Indonesia hingga 67 tahun usianya ini.

Perihal pendidikan menjadilah berlarut-larut kualitas manusia Indonesia. Sistem pendidikan nasional berubah-ubah setiap tahunnya. Alhasil Hanya menghambur-hamburkan rupiah saja. Karena tidak lain ini hanyalah permainan proyek dari mafia-mafia pendidikan. Di sisi lain karena buramnya sistem nasional membuat sekolah-sekolah di daerah terlantarkan berjuang dengan sendirinya. Baik itu sekolah elite ataupun sekolah yang hampir ‘pailit’ kesemuanya mengalami kecemasan yang serupa. Inilah kelalaian manusia Indonesia yang paling fatal. Ketika wadah pendidikan tidak terbentengi dari praktik-praktik busuk para mafia. Seharusnya bagian ini dikelola oleh manusia-manusia terbaik di republik ini. Terbaik dalam hal patriotiknya, terbaik dalam hal kewaspadaannya serta terbaik dalam hal antusias mencari solusi. Kelalaian yang sistemik seperti ini pasti bermula dari kelalaian individu pada mulanya.

Urusan pemerintahan yang tidak bersih karena tercoreng oleh korupsi. Segala petinggi-petinggi politik terjerat kasus memalukan. Padahal partai politik selama ini menjadi salah satu wadah utama penghasil pemimpin-pemimpin bangsa. Salah satu kelemahan sistem politik saat ini adalah begitu tinggi melangitnya ongkos politik. Baik di tingkatan nasional begitu juga di daerah-daerah. Parpol-parpol besar saja yang memiliki kekayaan Triliunan rupiah masih bekerja ekstra memenuhi pundi-pundi partainya. Ada yang memang benar-benar berbisnis hebat namun ada pula yang menjadi tikus-tikus di pemerintahan, inilah yang paling dominan. Mengenai ini ada sebuah ungkapan menarik dari bang Fahri Hamzah dari bukunya Demokrasi Transisi Korupsi:

“….Akibat ganas korupsi bukan hanya menggerus anggaran pendidikan atau kesehatan rakyat, tetapi seluruh tata pemerintahan dan etos pejabatnya juga menjadi hancur….”

Dalam persoalan ekonomi nasional, kita sangat meremehkan pasar lokal. Aneh rasanya di negara yang banyak jumlah penduduknya justru menjadikan ekonomi makro sebagai indikator keberhasilan. Padahal selama ini kian tersohornya ekonomi makro kita justru tidak menyentuh persoalan mendasar terkait kesejahteraan rakyat. Justru ekonomi mikro yang menjadi penopang di kala krisis. semisal berbasis pada pasar-pasar rakyat, usaha-usaha mikro juga ranah entrepreneur malah bisa menampung lapangan kerja. Untuk menyindir hal ini Prof. Kwik Kian Gie mengatakan dalam bukunya Kebijakan Ekonomi Politik dan hilangnya Nalar:

“….Maka, yang dikejar hanyalah pertumbuhan ekonomi tanpa peduli apakah pertumbuhan itu lebih memperkaya yang sudah kaya dan lebih menyengsarakan yang sudah miskin….”


      Ini suatu kelalaian dalam membaca relasi kebijakan ekonomi terhadap peningkatan kemakmuran rakyat. baik itu kebijakan fiskal ataupun moneter tidaklah sepenuhnya dibaca secara hitam putih dengan angka-angka statistik. Ada pengaruh politik, kondisi psikologis pasar, keamanan suatu daerah dan yang terpenting adalah seberapa jauh keberpihakan pemerintah pada rakyat.

oleh: Teguh Estro Setelah merdeka semakin bertambah tahun, hanyalah menambah kelahiran generasi-generasi lalai. Mereka yang sehabis ...
Teguh Estro Sabtu, 23 Maret 2013
Teguh Indonesia

Dahulu Terjajah, Sekarang Apa?

oleh:
Teguh Estro


Apabila ditilik masa jajahan lalu seakan begitu ramainya tokoh-tokoh bangsa yang diklaim oleh sejarah sebagai sosok pemimpin. Seolah kondisi badai penyiksaan menjadi akselerator yang membentuk karakter kebangsaan kaum muda menjadi lebih laju. Sebab kekurangan materi itulah menghantarkan aktivis-aktivis muda menjadi lebih cepat belajar, lekas dewasa dan mengerti sepaham-pahamnya arti keberanian. Kondisi itu menjadikan heroisme sebagai aktivitas lumrah di sana-sini.

Andaikata ada satu saja rakyat di era tanam paksa seketika hidup kembali lalu ia bercerita bagaimana pedihnya disiksa oleh bayaran-bayaran Van den Bosch. Tentulah manusia-manusia modern akan ramai-ramai berkumpul disekitarnya penuh decak kagum mengira ia pahlawan. Kesakitan-kesakitan di masa cultuurstelsel itu berlipat-lipat pedihnya. Sebagaimana Ir. Soekarno bercerita:

“….Cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajari riwayatnya….“

Selanjutnya dalam buku Indonesia Menggugat, Soekarno Presiden pertama kalinya itu mengutip sebuah cerita dari Prof. Gronggrijp tentang kejamnya kondisi zaman tanam paksa:

“ orang laki-laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila. Tujuh bulan lamanya penuh, jauh dari rumahnya; dan selama itu mereka harus mencari makanan sendiri…… seringkali terjadi perempuan yang hamil melahirkan anak waktu sedang bekerja keras…. Pukulan dengan pentung dan dengan cambuk terjadi setiap hari dan di berbagai lading nila biasanya orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang…”

Inilah wong cilik yang mengalami pesakitan di masa lalu. Sehebat-hebatnya pesakitan fisik saat ini tidaklah lebih pedih dibanding cambuk-cambuk Belanda di kebun nila. Sehingga wajarlah pada masa itu heroisme menjadi jiwa yang lumrah. Karena siapapun yang tak berbahan bakar heroisme di dalam dirinya tamatlah ia, lebih parahnya tamatlah jiwanya menjadi ‘kacung-kacung’ penjajah meludahi rakyatnya sendiri. Hanya ada dua pilihan hidup ketika itu. Pertama hidupnya jiwa dengan berjuang ataukah matinya jiwa karena kepengecutan. Tidak ada pilihan ruang abu-abu atau loyalitas nan separuh-separuh seperti dunia Indonesia saat ini.

Kisah-kisah ini pastinya membuat manusia-manusia modern mencibir ketidak-adilan. Mulailah membanding-bandingkan keuntungan bilamana hidup di masa itu. Betapa kurang nyamannya menjalani masa modern diliputi kemunafikan, kepengecutan pada bangsa asing serta kelunturan spirit heroisme. Kenapa kita semua tidak hidup saja pada masa cultuurstelsel?

Jawaban yang tepat untuk pertanyaan atau keresahan itu tidak lain dengan membuka lebar-lebar kelopak matanya agar betul-betul lekas melihat kebenaran yang senyatanya. Kelemahan setiap kaum yang labil yakni tidak bisa memilah manakah masalah yang paling utama. Kaum yang labil justru menganggap segala hal menjadi masalah. Padahal senyatanya satu saja dari sekian banyak kenampakan itu yang berupa masalah. Selebihnya lagi dari semua bagian itu bisa jadi merupakan karunia besar, potensi cemerlang bahkan barokah kesempurnaan.

Satu saja yang senyatanya kunci berhasil kehidupan pemimpin di masa lampau. Mereka berjuang dalam kondisi yang memaksa jiwa serta fisik untuk menjadi pejuang. Sejenak terawangilah bagaimana Jenderal Soeharto saat masih sebagai pejuang penuh keterdesakan perang bernama “Serangan Umum Satu Maret”. Ia sungguh gagah dipuja semangat patriotiknya. Namun saat ‘keterdesakan’ itu lenyap, menjadilah ia penguasa yang serupa Belanda. Oleh karenanya harga suatu keterdesakan sangatlah mahal rupanya. Sikap merasa terdesak akan menghasilkan sikap antusias mencari solusi, kewaspadaan dan disiplin.

Ada dua muara dari manusia yang mengalami atau yang mempelajari filosofi penjajahan. Pertama, mereka yang relung jiwanya terdominasi oleh kelalaian. Baginya penjajahan itu murni suatu penyiksaan semata. Maka yang ia pikirkan hanyalah suatu cara agar terbebas dari belenggu dalam masa singkat. Sepeninggal itu ia hidup biasa lagi menjadi manusia rata-rata kembali. Sekaligus ditambah pula rasa trauma hidupnya. Bertmbah pula sikap inferiornya bilamana melihat kaum asing. Itulah kemunduran karakter bangsa. Dan parahnya itu menjadi perbincangannya kepada anak-anaknya turun temurun. Inilah kemunduran yang dikarenakan penjajahan. Sebagaimana Ir. Soekarno menuliskan dalam bukunya Indonesia Merdeka ;

“….Suatu kemunduran yang karena imperialisme, suatu kemunduran bikinan, suatu kemunduran ‘cekokan’, suatu kemunduran injeksian yang berabad-abad….”

Kedua, mereka yang pikiran serta jiwanya cerdas. Golongan ini menjadikan keterdesakan sebagai momentum mempercepat terciptanya karakter hidup. Mereka hidup dalam kondisi pesakitan yang berlipat-lipat daripada biasanya. Mereka berliat-lipat menampakkan antusias mencari solusi dalam tempo secepatnya. Akan tetapi tidak hanya berhenti sampai disana. Ruang dan waktu saat tersebut mereka pelajari sejadi-jadinya. Mereka mencari titik sebab suatu antusias dapat muncul. yakni saat adanya kejelasan sedetail-detailnya tentang tujuan sebuah perjuangan. Dan teriring juga adanya target waktu yang terbatas untuk pecahkan masalah. Sehingga golongan semacam ini bisa tetap gagah hidupnya, baik itu di masa penjajahan ataupun tidak sama sekali. Bahkan sanggup merekayasa suatu keterdesakan diri, sehingga mampu menghidupkan antusiasme ‘menggila’ kapan saja mereka mau.

oleh: Teguh Estro Apabila ditilik masa jajahan lalu seakan begitu ramainya tokoh-tokoh bangsa yang diklaim oleh sejarah sebagai s...
Teguh Estro Jumat, 22 Maret 2013
Teguh Indonesia

Awas! Pseudo-Demokrasi!



(Sambutan Dalam Agenda Simposium KAMMI Daerah)
Oleh: Teguh Estro


Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
            Rekan-rekan Aktivis dan Konseptor Gerakan KAMMI yang berbahagia.
            Kita semua di sini tanpa terkecuali laiknya sebuah motor serangan nan siap menggemparkan kesunyian intelektual selama ini. Kemudian masihkah kita mencari-cari alasan untuk diam, padahal lantangnya suara kita begitu diperlukan bangsa ini. Maka hari ini adalah hari dimana kita terbebas mengoyak langit dengan gugatan-gugatan kita sebagai kaum muda. Kendati masyarakat sekitar banyak yang gengsi mendengarnya, mencibir sepenuh hati gagasan-gagasan kita bahkan memusuhi ama-amal kita.

            Dalam simposium ini saya hendak mengajak segenap konseptor-konseptor KAMMI beserta keberanianya sekaligus. Mari kita melihat sedekat-dekatnya apa yang menjadi target atawa Goal perbincangan ini. Bukankah dalam visi KAMMI dicantumkan kalimat yang sangat dahsyat sekaligus menjadi tujuan dari gerakan ini. “Dalam Rangka Mewujudkan Bangsa dan Negara yang Islami”. Bangsa dan Negara yang kita lahir di atasnya, kita bersedih-suka bersamanya, semestinya hal ini selalu menjadi perhatian utama setiap kader-kader KAMMI.

            Sahabat-sahabat seperjuangan…..
            Setiap zaman memiliki caranya tersendiri dalam mencintai bangsa dan negaranya. Meski kita tidak hidup lagi dalam suasana perang fisik, tetapi justru pada saat sesudah kemerdekaan ini bermakna lebh pelik lagi. Sebagaimana Soekarno sudah mewanti-wanti “Perjuanganku lebih mudah karena melawan panjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”. Dan bapak proklamtor ini tidak main-main berpesan pada generasi penerus. Hingga saat inipun masih dan akan terus terasa imperialisme dan kapitalisme gaya baru menggurita di nusantara. Seperti dalam bahasanya Prof Amien Rais dalam bukunya Selamatkan Indonesia, “Bangsa ini dikuasi oleh Korporat-korporat asing. Bangsa ini adalah negara Korporatokrasi”. Beliau menambahkan korporatokrasi sebagai sebuah sistem atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan politik global yang memiliki 7 unsur: yaitu, korporasi-korporasi besar, kekuatanpolitik pemerintahan tertentu terutama Amerika dan kaki tangannya, Perbankan Internasional, kekuatan militer, media massa, kaum intelektual yang dikooptasi, dan terakhir yang tidak kalah penting adalah elite nasional negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador atau pelayan. Begitula Prof Amien Rais membungkus unsur-unsur suatu negara korporatokarasi yang kesemuanya sudah terdeteksi di dalam negara ini.

Rekan-rekan aktivis dan konseptor gerakan yang saya banggakan….
Mungkin secara awam kita masih bereuforia atas digembar-gemborkannya kemeriahan demokrasi di Indonesia. Bahkan beberapa kala, Negara ini kerap disematkan sebagai negara demokrasi terbesar setelah Amerika dan India. Padahal itu hanyalah demokrasi secara tampak kulit atau dalam bahasa akademik dikatakan demokrasi prosedural. Terlihat suatu pemilihan umum yang Nampak demokratis di sana-sini. Seolah-olah tidak pernah terjadi deal-deal politik antara calon penguasa dengan korporat-korporat asing. Seakan-akan tidak pernah ada bagi-bagi jatah antar partai politik sebelum dan sesudah pemilihan umum. Masihkah kita menutup mata akan hilangnya subtansi demokrasi. Padahal kata kunci dari kata demokrasi adalah kata “rakyat”. suatu pemerintahan “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Bukan sahaja di pentas politik nasional, wabah ini terus meng-endemik di daerah-daerah. Sudah jamak terlihat oleh para aktivis-aktivis akan kejadian di balik layar perpolitikan daerah di seluruh Indonesia. Kepala daerah memperdagangkan aset-aset daerah. Wilayah tambang menjadi komoditas kampanye kepada korporat-korporat kapitalis. Daerah hutan-hutan lindung kian gila dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan diperuntukkan bagi cukong-cukong tak berperasaan. Saudara-saudara! kenapa kita masih diam melihat kesemuanya. Di Kalimantan, para Orang Utan turun protes di perkebunan sawit. Dan nyawa mereka menjadi bulan-bulanan algojo-algojo para cukong. Di Sumatera harimau-harimau turun gunung menuntut hak-hak mereka. Harusnya kita yang hadir di sini yang masih bisa bicara lantang serta mampu bergerak cepat, seyogyanya menjadi pemecah kebuntuan masalah-masalah ini.


Kawan-kawanku para penerus pemimpin-pemimpin bangsa.
Pada awalnya kekhawatiran dari adanya sentralisasi kekuasaan pada masa Soeharto yakni akan mengokohnya kediktatoran pemerintah pusat. Sehingga dengan berbagai macam pertimbangan di sana-sini menjadilah pasca reformasi adanya otonomi daerah. Suatu daerah memiliki otonomi mengeola aset-aset daerahnya. Tentu saja ini akan berujung manis jika dieksekusi oleh manusi-manusia berwatak seperti nabi Yusuf a.s. Pemimpin yang memiliki kapabilitas, megutamakan rakyat serta takut pada Tuhan. Akan tetapi kini kondisi yang terjadi adalah muncul pemimpin-pemimpin daerah yang Gagap dalam memimpin. Sehingga aset daerah yang semsetinya diperuntukkan bagi masyarakat malah disimpangkan ke meja-meja yang lain.

Dengan kondisi ini, maka secara mutlak benar-benar dibutuhkan suatu kontrol terhadap pemimpin-peminpin daerah. Baik itu eksekutif berupa Bupati/walikota, legisatif yakni DPRD, Yudikatif berbentuk kejaksaan, Pimpinan keamanan dan pimpina daerah lainnya. Maka munculnya KAMMI di daerah bukan tanpa alasan. Kita memiliki dalil sekuat-kuatnya untuk berkontribusi pada bangsa ini. Maka dari itu dalam simposium daerah kali ini, harapannya mampu menghasilkan rumusan gagasan. Gagasan yang lama tersimpan dalam brankas-brankas jiwa mahasiswa. Rekan-rekan diharapkan mampu berbagi pemikiran terhebatnya untuk menambah laju dari gerak organisasi ini.
Selamat menyampaikan gagasan, Selamat mendengarkan dan Selamat Pagi.
Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh

(Sambutan Dalam Agenda Simposium KAMMI Daerah) Oleh: Teguh Estro Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh             Rekan...
Teguh Estro Rabu, 13 Maret 2013