Menu
Teguh Indonesia

Masih Ada Rasa


Ilustrasi
Oleh: Teguh Estro
(Cerpen Inspiratif)

            “Saya tidak mencuri, lepaskan…! Tolong lepaskan!” Susah payah usahaku melepaskan cengkeraman kedua polisi ini.
            “ Jangan banyak bergerak, nanti jelaskan saja semuanya di kantor polisi. Sudah diam!”
             Sebuah malam yang mangagetkan. Seketika keluargaku menjadi shock. Anak-anak dan isteriku hanya menjerit-jerit melihat kepala keluarga mereka ditarik paksa. Entah apa yang terjadi mungkin isteriku sudah pingsan tak sadarkan diri. Apalagi tetangga di sebelah rumah secepat kilat bergerombol menyaksikan penggrebekkan di kediamanku.

            Ini kali pertama diri ini diseret secara tidak hormat ke institusi penegak hukum. Bahkan ruang interogasi sudah tersetting apik. Nyaliku kian ciut saja, seketika didorong untuk duduk di kursi panas. Ada sekitar lima petugas mengelilingi bagian belakang tempatku bersandar ini. Sedangkan dihadapanku seorang polisi yang terlihat lebih senior tengah serius menatap mangsa.

            “ Nama lengkapmu?” Tanya pria berperut buncit itu.
            “ Saya? Umar Salim…..” jawabku tegas.
            “ Hah, kamu Cina kan….?” Polisi itu seakan tak percaya
            “ Kenapa? Kalian heran ada Cina bernama Umar hah…?” Emosiku semakin naik.
         “ Begini mar, kesalahanmu sangat fatal. Mobil yang ada di garasi rumahmu tercatat sebagai mobil curian. Dan saya cuma ingin memberi tahu kalau kamu dan teman-temanmun para mafia curanmor tak perlu macam-macam di kota ini…” Ujar manusia menyebalkan itu. Aku yang telah terlanjur emosi akhirnya tak bisa menahan diri.

            “ Maaf, saudara polisi yang saya hormati. Saya tidak mencuri, dan saya tidak memiliki teman dari komplotan mafia. Mobil itu hasil kerja keras dengan membeli pada teman kuliah dulu.” ujarku berbicara bernada tinggi.

            “ ya, namanya maling mana mungkin ngaku. Ya nggak? Tapi tenang aja yang bakal interogasi kamu bukan saya. Tapi atasan saya. Pak Leo namanya…” Polisi kurang ajar itu menyebut nama Leo. Serasa ada yang aneh dengan nama itu. Selama setengah jam lebih penantian membosankan di ruang tanpa AC itu. Pak Leo, atasan dari para polisi ini tak kunjung datang ke dalam. Hingga semua yang ada saling menatap satu sama lain lalu hening.

            “ krek, Selamat malam” Itu suara pintu terbuka. Itu suara orang masuk.
            “ Leo ? Kamu atasan mereka? Kurang ajar kamu….!” Melihat wajah lelaki yang masuk itu membuatku emosi. Dengan tangkas aku melompat mendekatinya. Genggam ini mengepal siap melesatkan pukulan terhebat yang aku punya. Belum sampai lengan ini menyentuh tubuh Leo, segerombolan polisi di barisan belakang melumpuhkan dengan cekatan. Serasa tak mau kalah, tubuhku kian memberontak sejadi-jadinya. Hingga kepalaku dibenturkan pada benda keras, dua kali. Pandanganku kini berbayang-bayang menatap sekitar, sangat memusingkan. Langkahku kian sempoyongan menuju tempat duduk lalu penglihatanku berubah gelap, tak tahu apa yang terjadi.
***

            Masa-masa SMA itu sangat indah. Teman-teman banyak yang bertanya, bagaimana bisa aku menjadi siswa paling pintar ? Entahlah, aku merasa melakukan hal yang sama seperti siswa lainnya. Kendatipun demikian jangan salah sangka. Sepintar apapun saya di sekolah ini, tetap tak akan bisa kuraih Juara umum. Apa mungkin karena saya Cina ya? Dialah juara umum 4 semester berturut-turut, Leo Batubara. Sedangkan prestasiku sudah tertebak menjadi juara 2 umum selama 4 semester pula. Leo itu anak guru, anak kepala sekolah malah. Dimana-mana juara satu itu hanya boleh dinikmati anak guru, sudah lumrah!

            Mobil paling mewah di sekolah ini baru saja melintas. Ayah dan anak bak selebritis tumben datang pagi-pagi. Dua orang itu keluar dari mobil dengan sombong, eh sebentar, ada satu lagi cewek yang keluar dari mobil. Wah, memang Leo itu cowok paling beruntung. Itu kan si Fitri yang baru saja juara model se provinsi. Mereka bertiga membuat iri siapapun yang menyaksikan. Bapaknya kepala sekolah, anaknya juara umum dan satu lagi si cantik, aduh parah…!

            Fitri itu dulu sangat akrab denganku. Rumah kami berdekatan selisih dua gang di komplek yang sama. Sekali lagi kami berdua cukup dekat, bahkan bisa dibilang spesial, lebih tepatnya pernah spesial. Tapi itu dulu sebelum ia secantik ini. Sampai akhirnya kutahu, perempuan berhidung mancung itu hanya berpura-pura. Aku saja yang terlalu berharap. Buktinya dia kian lengket dengan Leo.

            Menjelang ujian kelulusan banyak rekan-rekan yang mengajakku belajar kelompok, sangat banyak. Dari kesemua permintaan hanya satu orang yang kupilih, itulah Leo. Hampir tiga tahun, baru kali ini ia mengundangku ke istananya. Walau Cuma via SMS sih. Ada rasa kaget, ragu-ragu, takut dan kesal saat mendatangi rumah Leo, sekaligus kediaman kepala sekolahku itu. Sesampainya di gerbang coklat dan lebar, aku disambut oleh anjing dan gonggongannya.

            “ Cari siapa ya…?” Ujar satpam buru-buru menyapa.
            “ Leo ada? Saya Umar teman sekolahnya….”
            “ Maaf, dik Umar sudah janjian sebelumnya?” tanya lagi Satpam kerempeng itu.
            “ oh, sudah kok. Leo SMS saya pak…” Busyet, ribet sekali birokrasinya.

            Masuk rumahnya seperti hendak mendatangi presiden. Leo akhirnya menjemputku masuk ke dalam. Dan setelah memasuki ruang tamu, jantung ini serasa mau lepas. Di sana sudah ada Fitri duduk manis dengan pakaiannya seperti model. Kami berdua sama-sama melempar senyum, sama-sama senyum terpaksa. Aku tahu itu. Dan di ruangan ini tak ubahnya neraka sebelum neraka sebenarnya. Bingung, nggak konsentrasi pastinya, salah tingkah, malu-malu, dan semua bergumul di dadaku karena melihat Fitri.

            “ Mar, kita hari ini ngebahas soal-soal ya. Kamu kan jago he he” Akhirnya Leo memecahkan suasana. Syukurlah kurasakan kelegaan sesaat, selebihnya tersiksa. Memaksakan untuk fokus pada soal-soal yang harus dipecahkan. Sampai akhirnya dua jam lebih kami belajar, tepatnya saya yang mengajari. Mereka hanyalah pendengar setia diantara soal-soal yang dibawa Leo. Dan kuputuskan untuk menyudahi saja untuk pulang, tak tahan aku berlama-lama. Segera ku melangkah menuju rumah sendirian, tanpa Leo dan juga tanpa Fitri.

            Satu minggu berhasil kulewati kegalauan menuju sekolah untuk Ujian Akhir Nasional. Aneh, soal-soal yang disodorkan begitu mudahnya terselesaikan. Sesekali kuingat, bentu-bentuk pertanyaan di kertas yang katanya rahasia negara itu. Astaga, ini kan soal-soal yang sama persis dengan materi belajar di rumah Leo kemarin. Dengan sigap tentunya kulahap semua soal dengan gampang. Tidak sampai 15 Menit kulalui waktu ujian dengan cepat. Lalu pulang dengan riang.

            Pada hari kedua tanpa kecurigaan kuulangi hal yang sama. Sepertinya 10 menit akan terasa sangat lama di dalam ruangan. Sampai akhirnya terjadi malapetaka yang tak akan pernah terlupakan. Datanglah seorang dewan pengawas yang berpakaian dinas rapi memasuki kelas.

            “ Maaf bagi yang bernama Umar Salim bisa ikut saya ke kantor sebentar….!” Kutepok jidat sampai benar-benar pucat pasi wajahku. Sampai mengangkat pensilpun tak sanggup lagi jemari ini. Batin berkecamuk diantara ribuan tanya yang tak sanggup kujawab. Apa salahku, apa salahku dan Apa salahku begitulah pertanyaan di dalam hati hingga ribuan kali. 

Ruang kantor kali ini begitu horror. Dengan culun pura-pura kubenahi tali sepatu sampai gugup. Di hadapanku sudah berdiri pak Felix Batubara, kepala sekolah terkejam dalam seumur hidupku. Tiga orang di sebelahnya adalah wali kelasku, dan dua orang pengawas ujian di kelasku kemarin. Mereka menatap sinis, kasihan, kejam dan rasa tak percaya atas apa yang terjadi.

“ Umar, tolong jawab dengan jujur, mata pelajaran Matematika kemarin kamu menyontek atau tidak….” Tanya bu Linda wali kelasku.
“ tidak bu” jawabku singkat kepada guru teladan di sekolahku ini.
“ kenapa jawabanmu sama persis dengan Leo…” tanya bu Linda dengan berkaca-kaca. Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Sesaat pikiranku kosong, jantung serasa berhenti.

“ Kalau kamu ingin jadi juara umum mengalahkan Leo, jangan berlaku curang seperti ini dong Umar….!” Tiba-tiba pak Felix membentak meja mengagetkanku. Tetap saja aku kehabisan kata-kata, bibir keluh dan lidah sejenak kaku. Aku ingin mati saja. Sampai hari itu entah berapa kali mereka membentakku untuk menanyakan pertanyaan yang serupa. Hingga adrenalinku memuncak tak sanggup terkuasai, dalam waktu singkat tubuh ini lunglai, gelap, pingsan.
***

            “ Byur…. Byur…”
Kepala ini basah tersiram air berkali-kali dan akhirnya kembali sadar. Tapi tubuhku sudah terikat kencang pada kursi besi dengan tali melilit. Lampu penerangan hanya ada satu di ruangan ini. Pandanganku kabur, dengan tubuh tak bisa bergerak. Sekumpulan polisi masih setia mengelilingi ruangan ini. Sedikit mereka-reka sosok yang kini duduk berseberangan meja denganku.

            “ Umar, kita bertemu lagi….!” Itu suara Leo, Sombong dan sok berwibawa.
        “ Mau ngapain lagi kamu. Tidak cukupkah kamu merusak masa laluku. Gara-gara ulahmu aku didropout dari sekolah. Sampai akhirnya terpaksa sekolah memutasikan ke sekolah swasta. Kamu tahu leo, aku harus mengulang umur studi selama satu tahun di sekolah yang baru….” Lirihku dengan suara yang tersisa.

            “ Satu lagi yang harus kamu ketahui. Keluargaku shock menahan malu hingga seperti orang gila, terutama ayahku. Dan sekarang saya ucapkan selamat untuk kamu yang berhasil menjadi polisi di kota ini” Tambahku lagi dengan menatap wajah Leo, sangat tajam.
            “ oke aku ngerti itu, aku Cuma mau minta maaf. Dan sebagai ganti kejadian itu, kasusmu akan saya tutup mar….” ucap Leo sembari memberi kode kepada bawahanya untuk membebaskan aku. 

Dua orang polisi mengawalku dan mengantarku pulang dengan mobil polisi di depan kantor. Kutatap cuaca di luar kantor polisi sudah menyengat terik siang hari. Kali ini kunikmati langkah keluar dan inilah kemenangan dari sebuah kejujuran. Di dekat parkir mobil aku berdiri menunggu mobil yang hendak mengantarku pulang.

“ Mar, kamu Umar kan….?” Dari belakang pundakku ditepuk oleh sesosok wanita cantik. Dan lagi-lagi aku bertemu dia, Fitri Naysila. Kali ini aku tidak terkejut kenapa Fitri ada di sini. Tentu saja karena di tempat ini ada Leo. Tapi kali ini aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Kutinggalkan begitu saja sang primadona di sekolah dulu. Kaki ini melangkah memasuki pintu mobil yang sudah berhenti tepat didepanku. Senyum kecil pada diri sendiri meihat kejadian ini, dan tanpa kusangka Fitri mengejar menghampiri mobil yang hampir berangkat ini.

“ Mar, ini kartu namaku. Mungkin suatu saat ada yang bisa saya bantu….” Ujar Fitri tergopoh-gopoh memasukkan tangannya ke jendela mobil. Dengan santai kuambil kartu nama itu lalu kurobek-robek dihadapan mukanya.

“ Maaf bu Fitri, Saya sudah punya Istri” Jawabku bangga.

Ilustrasi Oleh: Teguh Estro (Cerpen Inspiratif)             “Saya tidak mencuri, lepaskan…! Tolong lepaskan!” Susah payah ...
Teguh Estro Minggu, 26 Mei 2013
Teguh Indonesia

Beginilah Cinta :)

Oleh: Teguh Estro
(Cerpen inspiratif)
   

“Pokoknya kita putus, titik…..”

    Hening menyesak penuhi dadaku mendengar ucapan Hanung barusan. Serasa diriku ini gadis paling sial di dunia. Semakin jauh langkah pria paling romantis yang pernah kukenal itu. Adakah dia berbalik badan padaku. Sudahlah, kupaksakan diri ini menapaki jalan lain. Jalan tanpa awan keceriaan seperti biasa. Gelanyut kehinaan menemani langkah gontaiku pulang sekolah sore ini.

    “Wulan, kok pulangnya agak sore” Sapa ibuku terheran karena sedari pagar rumah tadi,  muka anak pertamanya ini nampak padam. Tiada terpancar aura kegenitan seperti biasanya. Aku masuk rumah begitu saja tanpa sepatah kata. Lalu diikuti lirikan mata ibu sampai masuk ke kamar. Kaki yang lunglai sergap menghampiri ranjang kesayangan untuk melampiaskan gelisah romansa hari ini. Mungkin ini bukan yang pertama kegagalanku dalam dunia percintaan. Tapi ini adalah yang tersakit. Sangat sakit, terutama melupakan Hanung. Getar jantung tambah kencang setelah dari saku SMA ku bergetar juga HP mungil. Astaga! New message from Sayang Han.

From Sayang Han: “…Lan, mg kamu baik-baik saja. Dan mghdapi hari2 stelah ini dg tenang. Mmbiasakan hdupmu yg makin ceria meski tanpa aku. Mf kan aku yg pasti menyakitimu. Dari Hanung, ‘Kekasih yg hilang’ :)….”

    “Wulan, buruan sholat ashar dulu….” Itu suara bapak dari luar kamar. Dia manusia yang paling kutakuti sepanjang hidupku. Sepertinya begitu juga dengan ibu dan adik-adik, mereka takut pada bapak. Apalagi sejak memenangi pemilihan kepala desa, ia kian semena-mena.

    “Kamu punya telinga nggak….?” Suara itu lagi. Tetapi mulut ini tak juga mau bicara. Sampai lama tak ada bunyi keras lagi dari pintu kamar. Dan kembali mataku memperhatikan HP di tangan yang rasanya menjadi benda paling berat saat ini. SMS Hanung harus kujawab.

Reply to Sayang Han: “ Aq yg salah Han, kuakui itu. Minta maaf atas khilaf yg trjadi kmrn. Trserah ap pun sikap mu stlah ini, aq sllu terima saja. Yg pnting sdh kuakui atas kesalahan itu. Dari Wulan, ‘Mantan Kekasih’ :(…”

    Belum lama setelah SMS jawaban terkirim, hatiku sedikit lega. Ya sedikit saja. Namun kali ini malah Hanung yang Calling ke HP di tanganku. Aduh, gimana ya angkat atau tidak, bingung. Berkali-kali Hanung menghubungi, kian membuat salah tingkah.

    “Wulaaaaaaan, buka pintunya. Atau bapak dobrak dari luar….” Begitu kencang teriakan dari luar menambah panik saja. Begitupun nada dering tak henti-hentinya menjadi suara yang tak kalah membuatku panik. Akhirnya ku pilih untuk mengangkat panggilan Hanung terlebih dahulu.

    “ Halo Wulan, kamu gak ap2 kan….?” Suara yang khas membuat jantung tambah gemetar. Lagi-lagi bibir ini tak sanggup bicara untuk menjawab. Biarlah ia terus bicara dan telinga ini cukup mendengar. Aku tak mau bicara pada pria berkacamata ini lagi. Hanung terus memanggil namaku dan semakin kencang terdengar.

    “GedubBBbrrRRaaaa….KKkk!!!!” Suara pintu kamarku didobrak dari luar. Sosok lelaki tinggi besar dan wajah merah perlahan mendekati.

    “ Kamu itu ya, anak perempuan gak tau sopan santun. Kalau punya mulut itu dipake buat ngomong. Jangan diem aja! Mau jadi orang bisu hah…?” Belum selesai bapak marah-marah langsung aku pergi ke kamar mandi dan kumatikan HP. Aku tak mau bicara.

***

    Sungguh sulit bagi gadis sepertiku menyembuhkan luka perasaan. Hubungan kami sudah dua tahun terjalin tak mungkin terlupakan. Selama ini memang tidak jarang ada pertengkaran mulut, tapi biasanya mudah terselesaikan. Untuk ‘percekcokan’ yang terakhir ini sangat ganjil rasanya. Suatu alasan yang tidak berperasaan menjadi penyebab usai sudah masa indah ini. Alasan itu yakni ketidakcocokan. Pria kelahiran Bekasi itu seenaknya memutuskan tidak adanya kecocokan lagi. Jelas sudah siapa yang menjadi korban. Selalu aku yang berkorban. Padahal Hanung sudah begitu akrab dengan keluargaku. Tepatnya ia sangat dekat dengan bapak. Karena bapakku dan bapaknya Hanung adalah teman dekat sejak mereka masih di Madrasah Tsanawiyyah.

    Pagi ini kupaksakan berjalan ke sekolah sembari menahan wajah muram agar tak nampak oleh teman-teman. Tetapi, usahaku untuk tersenyum menjadi sia-sia saat di pintu gerbang sekolah terlihat Hanung di sana. Dia siswa terpintar di kelas IPA, jadi wajar banyak teman-teman yang mengerumuninya. Sempat kulihat matanya bertemu dengan pandanganku dari kejauhan. Belumlah aku sampai di gerbang sekolah, lelaki dengan nama lengkap Hanung Abrori itu sudah berjalan menghindari kedatangan ‘sang mantan’.

    Selama di sekolah aku terus berada dalam bayang-bayang kenangan. Siang hari biasanya aku sudah berduaan di kantin, tapi kali ini sendiri. Kemanakah sosok yang selama ini mengajakku bercanda? Tak tahan lagi sampai nekad langkahku berlari menjumpai kelas IPA yang tak jauh dari kantin.

    “…Cari siapa lan? Hanung gak ada di kelas. Dia lagi sakit di UKS” Ujar Bruno ketua kelas dengan tubuh gemuknya.

    “Siapa di UKS….?” Tanyaku memastikan

    “ H-A-N-U-N-G…! tadi sehabis pelajaran olahraga ia pingsan….” Bentak Bruno.

    Telingaku ternyata masih kangen mendengar nama itu, walau ada perih di dada mengenangnya. Tanpa berpikir lama, kaki ringan ini sudah berlari menuju ruang UKS. Dan sesampainya kutemukan seorang pria berbaring tak sadarkan diri. Tak berani langkah ini  mendekat, namun ia diam saja. akhirnya setapak demi setapak tak sadar bahwa keberadaanku sudah didepan pembaringan. Hanung tetap diam saja, aku pun sama. selagi ia tak sadar ingin sekali menegurnya seperti dulu pernah ia lakukan.

    " Hanung, semoga kau tak mendengar ini. Hanya satu yang kuingin tahu. kenapa kita kini tak seperti dulu. Mulutmu jangan diam saja Han, apa alasannya.Aku hanya butuh alasan darimu. katakan saja, jika memang aku tak menarik bagimu, aku terima alasan itu. atau karena sikap seorang Wulan yang kekanak-kanakan, juga tak masalah. jika kau sampaikan alasannya, setidaknya membuat perasaan ini tenang Han..." Rengekan air mata membanjiri pipi di depan pria yang tak berdaya ini. Sampai kering air mata. sesekali kulihat pintu luar yang masih terbuka. mungkin saatnya kembali ke kelas. Tatkala badan ini berbalik menuju pintu UKS. terdengar suara yang sudah lama kukenal.

    "Wulan, sebenarnya aku ingin sampaikan itu. Tapi kekhawatiranku jauh lebih kuat. Aku sangat khawatir pada dirimu dan keluargamu. keadaan ini bukanlah kehendak pribadi yang memang direncanakan. Tetapi aku terpaksa lan. Bapakmu yang memaksaku untuk menjauhi anak gadisnya yang paling disayangnya. tapi kau harus berjanji padaku untuk tidak merubah sikapmu pada pak Mur. Ia bapakmu yang hebat, aku menghormatinya seperti bapakkku sendiri...." 


     sendu sekali suara Hanung. Telinga ini sangat manja dengan suara itu. tetapi aku tak sanggup untuk berbalik menghadap Hanung yang sudah sadarkan diri. niat untuk kembali ke kelas menghantarkan kekesalanku pada Bapak sampai terbawa di dalam ruangan. Apa peduli janji pada Hanung, tetap geramku pada bapak kian menjadi. Selama di sekolah satu hari ini aku hanya membisu, bertarung di dalam batin antara hormat pada Bapak atau sesekali memberi pelajaran pada orang tua. Ini sudah kelewatan, ada hak pribadi yang terlalu jauh terganggu oleh ulah Bapak.

***

    Seperti biasa selepas Isya', sesosok lelaki tua sedang menyendiri di luar rumah. Dirinya dan sebatang rokok asyik berdua diusik sesepoi angin malam. seorang anak gadis yang katanya tak punya sopan santun malam ini mengadu nasib berusaha menemuinya. Aku adalah anak pertama. Kalau aku tak berani padanya, maka adik-adikku juga akan menghadapi hal yang sama di kemudian hari. Kuawali dengan mengajaknya berbicara lembut. Walaupun dia tak akan peduli itu semua.

    " Pak, sendirian di luar ya..." kubuka percakapan. Namun sang kepala desa ini hanya memandangku lalu mengerutkan dahinya. setelah itu ia tak berkata apa-apa sembari dihisapnya rokok batangan di tangannya yang tampak keriput.

    " Pak, Aku mau..." Belum selesai bicara bibir ini, ia sudah memotong dengan segera.

    " husssss, dah kamu masuk sana. dah malem. anak gadis malem-malem kelayapan di luar rumah aja. dah masuk sana" itulah Bapakku, otoriter, mau menang sendiri, tak pernah peduli, hanya berbuat kasar pada keluarga. kekesalanku terbungkam mendengar ucapan bapak tadi. Ku balikkan badan untuk masuk ke rumah. Belum sampai di depan pintu, kembali ku dengar Bapak memanggil.

    " Wulan, kamu sekarang fokus saja pada Ujian Akhir Nasional mu. Jangan kegatelan main sama cowok terus. Jangan nyusahin si Hanung terus. Biarin dia juga fokus pada sekolahnya...!" Pedas kudengar ucapan yang terakhir. kali ini tak bisa aku diam saja. ku balikkan badan serta tangan ini begitu keras mengepal di sebalik rok panjangku.

    "Maksud Bapak sulit aku ngerti. Wulan merasa justru bapaklah yang menyusahkan kami berdua. Hanung tadi siang cerita kalo' bapak yang meminta dia untuk menjauhi aku. Selama ini aku hormat pada orang tua, tapi untuk yang satu ini tidak bisa Wulan ngerti pak..." Seumur-umur baru kali ini aku bicara selantang ini pada Orang yang paling kutakuti. entah apa yang akan dikatakan Bapak aku tak peduli. Semua resiko harus ditanggung, dan aku merasa yang kulakukan sudah benar.

    Bapak juga terkejut mendengar ucapanku yang sangat tidak sopan. Ia membalikkan badannya lalu mematikan rokok butut itu. Perlahan ia mendekatiku. Kali ini ia tersenyum sinis melihat anak gadisnya yang mungkin dirasa kurang ajar.
   
 " Kamu nggak tahu apa-apa lan, Si Hanung itu selama dekat dengan anak gadis bapak ini malah menderita. Semua kelakuan manjamu itu membuat ia repot membagi waktunya. Ia harus menuruti segala maumu. sedangkan ia adalah anak pertama yang harus membantu Bapaknya berjualan di pasar. Dia sudah tak punya ibu lagi. Dan pak Tris sudah terlalu tua untuk menghidupi kelima anak-anaknya. Berkali-kali sahabat bapak itu masuk rumah sakit. Dan Hanung yang mengurusnya. kamu pernah ngerti kondisi itu....? Ia bekerja menghidupi dagangan di pasar sejak subuh sebelum berangkat sekolah. kamu pernah tahu itu....? Untungnya ia masih bisa menjadi juara umum di kelas. Dan akhir-akhir ini pak Tris kerap mengeluh ke Bapakmu ini kalau Hanung mulai kerepotan dan sering sakit-sakitan sepulang sekolah bahkan pingsan. Kamu yang ngakunya dekat dengan Hanung pernah tahu itu....? Kamu itu gadis genit yang cuma tahunya menuntut dan menuntut. Hanung itu anak baik-baik, dan Bapak tak mau ia terus-terusan tersiksa, karena dekat dengan kamu. Walaupun kamu anak yang paling Bapak sayang......" Aku diam tak berkutik. Dan Bapak terlihat berkaca-kaca wajahnya. Dan ia malah lebih dahulu masuk ke rumah. Astaghfirullah, kenapa Hanung tak pernah cerita tentang ini. Bodoh sekali aku ini. sangat bodoh. Kalau memang benar seperti itu. Aku justru yang Zhalim terhadap kedua lelaki ini. Hanung Maafkan aku, Bapak Maafkan aku.
 
***
   
 Hari minggu ku terbangun paling siang. Kucoba menuju dapur melihat apa yang dilakukan ibu. Wanita terhebat itu sedang memandika adik bungsuku. Sebelum diperintah, langsung kudekati tumpukkan piring dipojok dapur. Bilasan demi bilasan piring mengingatkanku pada ucapan bapak semalam. Sangat menusuk, untunglah aku tersadarkan. Bahwa selama ini justru akulah yang tidak pernah peduli. Terutama pada Hanung, Mantanku itu. Lagi-lagi kuingat-ingat, dan memang benar akulah yang selama ini egois.
 
" Astaghfirullah..." ibuku tiba-tiba berteriak dan langsung menuju kamar. Ia keluar lagi dengan berpakaian rapi. wajahnya panik seperti ada masalah serius.
  
  " Buk, kenapa sih, kok teriak-teriak"
 
   " Ini rantang bapakmu ketinggalan, nanti di sana dia nggak sarapan. gawat...!"
   
 " ya sudah, biar Wulan yang nganter ke kantor" jawabku ringan.
   
 " beneran kamu, ini untuk bapak lho. kamu kan sama bapak....."
    
" ya nggak masalah kan bu, aku kan anaknya Bapak juga. Anak gadisnya pak Mursidi, Kepala desa he he" Sambil kulepas senyum ke wanita terhebat dihadapanku ini. sebenarnya ibuku setengah tidak percaya, kalau aku mau melakukannya. Semua anggota keluarga tahu, jangankan menemui bapak ke kantor. Kalau ada Bapak di rumah ini, aku selalu menghindar kalau diajak bicara. Kalau saya ada di ruang tengah nonton Tv dan tiba-tiba bapak mendekati, aku lebih memilih menghindar pindah ke kamar. Tapi itu kan dulu, sekarang aku agaknya harus merubah sikapku pada bapak.
   
 Setelah berdandan rapi, Aku berangkat dengan motor matic di garasi menuju Kantor kepala desa. Beginilah Bapak walaupun hari minggu ia tetap bernagkat ke kantor. Sesampainya di serambi kantor, kumelihat ramai orang menunggu di luar. Kuurungkan niatku untuk masuk ke dalam karena nampaknya sangat mengganggu. Kubawa rantang menuju kursi di serambi kantor, bersebelahan duduk dengan ibu-ibu muda. Ia terlihat berwajah serius. Sepertinya ia hendak mengadukan masalah pelik kepada kepala desa.

  
  " Maaf bu, lagi ngantri ya..." tanyaku tipis.
    
" iya mbak, ini masih masalah yang kemarin"
   
 " Soal apa tuh?"
   
 " ini, saya mau mengadukan suami saya yang menikah lagi. Dan ketua RT di tempat saya tak mau melayani. ya jadinya saya urus ke KADES deh. walaupun belum tuntas juga sampai sekarang. Ternyata KADESnya sama aja nggak becus...." jawab wanita itu dengan ketus. aku pun geram mendengarnya. seenaknya dia bilang Bpakku tidak becus.
   
 " Maaf bu, Nggak becusnya gimana ya... setahu saya KADES kita selama ini profesional aja kok..." usahaku membela bapak.

    " Begini mbak, suamiku itu setelah bercerai langsung menghilang. Ternyata lelaki bejat itu membawa semua perhiasan saya, buku tabungan dan sertifikat tanah keluarga saya. nah, urusan bgini siapa yang mau bertanggung jawab. Pokoknya saya minta ke pak KADES untuk menyelesaikan urusan ini. Enak aja dia jadi KADES korupsi duit rakyat, urusan kita yang kaum jelata ini nggak diurus." jawabnya panjang lebar. akupun tak mau kalah dibuat emosi oleh wanita nggak tahu diri ini.

    " Maaf ya bu, Anda jangan ngomong sembarangan. Pak KADES kita itu tidak pernah korupsi ya. Kalau urusan anda dan mantan suami anda itu ya diurus ke pengadilan dong. itu kan urusan pribadi. kok malah orang lain yang diminta menyelesaikannya..." kali ini aku berteriak dan berdiri mengumpat wanita sialan ini. Ternyata janda genit itu malah bertambah galak akhirnya terjadilah kegaduhan diluar kantor. Sampai akhirnya semua orang keluar menyaksikan.

    " Wulan, kenapa kamu ada di sini...." Suara itu sudah ku kenal, Bapak. Kuberbalik badan mendekati bapakku tercinta dan memeluknya. Sungguh aku gadis tak tahu sopan santun. Ternyata begini pekerjaan sehari-hari seorang kepala desa. Barulah ku mengerti kenapa Bapak selama ini sangat kaku dan terlihat kasar di rumah. Karena setiap harinya banyak urusan rakyat yang harus diselesaikan. Sungguh aku yang egois tak mau peduli.


    " Pak Maafin Wulan ya..."
    " Kamu pulang dulu ya, biar bapak yang selesaikan..." Kali ini ia bertutur sangat lembut. Seperti berbisik di telinga sambil memeluk anak gadisnya yang kurang ajar ini.

***

Beginilah cinta, ia butuh saling mengenal, Memahami dan saling menanggung beban. Bapakku adalah KADES terhebat. Aku yakin ia sangat mencintai aku, juga keluarga kami dan mencintai warganya. ya, Beginilah cinta....

Oleh: Teguh Estro (Cerpen inspiratif)     “Pokoknya kita putus, titik…..”     Hening menyesak penuhi dadaku mendengar ucapan Hanu...
Teguh Estro Kamis, 23 Mei 2013
Teguh Indonesia

17 Ramadhan, Ia Ibuku



Oleh : Teguh Estro
(cerpen inspiratif)

“ Bunuh, bunuh saja aku…” Teriak Zuhdan panik.
“ Diam…!” aku baru tahu, ternyata suaraku tak kalah keras dalam membentak siapapun.
“ Tidak, Bunuh saja aku…” lagi – lagi adik kandungku berucap hal yang sama.

            Zuhdan, kami hanya berselisih umur empat tahun saja. Untungnya nasibku lebih mujur tinimbang anak sontoloyo yang mengalami keterbelakangan mental itu. Meski bersaudara, namun tak sudi aku dipanggil kakak. Jujur saja, siapa yang mau hidup walau sebentar dengan si cacat mental. Kadang berteriak semaunya sendiri, minta dibunuh lah, minta ditembak bahkan terkadang ia menjerit-jerit sendiri hendak dibuatkan lubang kubur. Bukan hanya aku, anggota keluargaku yang lain juga terkadang menjauhinya. Mungkin hanya ada satu manusia saja yang masih mau merawatnya, Sulastri. Ya, tetanggaku memangginya bu Darso, lantaran ia adalah isteri muda ayahku. Atau lebih jelasnya, ia adalah ibu tiri kami yang diperisteri ayah karena faktor kasihan saja. Seorang gadis desa ditinggal mati keluarganya setelah bencana awan panas di lereng gunung Merapi.

            Terkadang, imajinasiku teramat sombong. Bagiku wanita berusia 35 tahun itu tidak akan pernah sebanding dengan almarhum ibu kandungku. Anggapanku selama ini ketika ayah menikahinya, tidak lain sebagai hadiah. Ya, semacam pembantu rumah tangga. Karena memang sehari-hari kerjaannya pun tidak jauh berbeda layaknya pelayan. Tapi yang membuatku heran, sempat-sempatnya ia membuka warung minyak di depan rumah. Padahal perutnya tengah membuncit delapan setengah bulan, tinggal menunggu keluar saja. Ah sudahlah, begonya aku kalau terus menghabiskan waktu memikirkannya.

            Angin malam ini terasa berbeda. Membuatku teringat akan agenda yang sudah terencana. Oh iya, di bulan Ramadhan ini sengaja kurancang khusus agenda-agenda malamku. Maklum, ayah sedang banyak kerja di luar kota. Paling-paling sesekali pulang setiap akhir pekan. Dan pastinya saat lebaran ia pulang ke rumah. Hati kecilku terus menjerit melihat keadaan ini. Kenapa keluargaku ini, lusuh, penuh tambal sulam nan compang-camping. Tak ubahnya baju para pengemis.

            Sudahlah, malam kian gelap dan kaki ini harus bergegas. Ya, di lantai dua terdapat sebuah studio kedap suara yang biasanya khusus kugunakan untuk latihan keyboard. Namun kali ini bukan itu tujuanku, berpuisi. Yah, 17 Ramadhan bertepatan dengan 17 Agustus hari kemerdekaan. Di kampusku terdapat lomba baca puisi, maklum mahasiswa baru kudu eksis lah. Semangat sekali rasanya. Padahal sedari tarawih tadi mata ini terasa berat sekali, alias mengantuk berat. Namun lantaran puisi, gairahku seolah menyemangati dan terus berkompromi dengan kelopak mata. Pokoknya malam ini aku dan anggota badanku bersepakat untuk begadang sambil latihan puisi.

            Rasanya tidak sabar menunggu tanggal 17 Agustus di kampusku. Padahal lomba masih sekitar tiga hari lagi, tapi bagiku itu terlalu dekat. Karena sudah jauh-jauh hari aku terlanjur berjanji pada sahabatku untuk membawakan puisi terbaik yang dipersembahkan untuk orang yang paling kami cintai. Ya, aku dan Rusydi telah bersahabat sejak SMP. Dia termasuk anak cerdas yang sama-sama tinggal memiliki satu orang tua, ia sejak kecil sudah tak melihat bapaknya. Saat ibu kandungku masih hidup, beliau sering menyebut kami ibarat anak kembar.
***

            “Mas Umam, bangun. Makan sahur dulu, sebentar lagi mau imsak” Kudapati wajah Sulastri dihadapanku tengah membangunkan tidurku. Sontak, wajahku merah dan kaget. Entah kenapa bibir ini dengan mudah melontarkan kata-kata yang tidak enak didengar. Intinya aku tidak terima ia masuk ke kamar seenaknya. Namun aneh juga sih, mungkin karena tidurku terlampau larut hingga wanita berkerudung itu terpaksa masuk untuk membangunkan sahur. Biasanya, isteri ayah itu cukup dengan mengetuk pintu kamar dan aku pasti tebangun.

            Memang benar sih, sebentar lagi imsak. Buru-buru aku turun dari lantai atas menuju meja makan di lantai bawah. Akan tetapi, wajahku yang kucel karena baru bangun tidur bertambah kecut. Pasalnya mataku menatap di meja makan tak ada sesiapa lagi. Hanya ada seorang anak cacat mental yang makan seperti bebek. Pemandangan yang jorok dan menjijikkan. Kuurungkan niatku makan sahur dan kubalikkan badan ke kamar lagi. Belumlah sampai ke anak tangga Sulastri memanggil dari arah dapur.

            “Mas Umam, ayo makan sahur….!”
            “Kamu ngapain sih sok ngatur-ngatur seperti itu. Aku ndak makan sahur hari ini, sudah biasa kok. Kamu aja makan sama anak autis itu. Diajarin sana, biar makan ndak kayak bebek…” ujarku menasehati Wanita kelahiran Muntilan itu.

            Aku tahu nyali Sulastri ciut tatkala berdebat denganku. Sehingga ia lebih memilih berjalan perlahan menghampiri Zuhdan sambil mengelus perut buncitnya yang mau mbledus. Sebenarnya kembali ke kamarpun pikiranku justru bertambah penat, maklumlah karena tidak nyaman sudah seperti rumah tikus saja. Sampai-sampai sesekali aku merasa iri melihat Zuhdan yang segala keperluannya diurus oleh Sulastri. Meskipun autis, ruang tidurnya terjaga dan bersih. Tapi apa mungkin wanita ndeso itu mau membersihkan kamarku yang jorok ini. ih, najis… aku tak mau disamakan dengan manusia cacat mental. Lebih baik kutata kamarku sendiri.
***

            Berangkat kuliah pagi, perut kosong tanpa isi makan sahur. Ditambah hari ini tengah OSPEK di fakultas ku. Tapi urusan perut cukuplah kuatasi dengan membaca satu atau dua bait syair. Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS), di sana kujumpai penyair-penyair dari seluruh pelosok tanah air. Termasuk aku dan Rusydi, kamilah pujangga dari Yogyakarta. Menyelami dunia sastra haruslah bersama para penyelam handal pula kan? Kulihat di jidat teman-temanku yang tergambar adalah bait dan sajak saling bersahutan. Bahkan kemarin Rusydi bilang ia berkenalan dengan salah satu senior kampus yang novelnya sudah best seller di tingkat nasional. Awas yah, lihat saja tanggal 17 nanti, semua kampus akan tahu pujangga baru telah lahir di Yogyakarta.

            “Umam, sudah lihat belum? nomor urut dan jadwal tampil lomba. Sudah dipasang lho…?”
            “ Sudah ada toh, dimana ? Di papan pengumuman fakultas sudah ditempel toh?“ tanyaku pada Rusydi yang tiba-tiba nongol di mukaku pagi ini, ia hanya mengangguk sembari mesem-mesem melihat wajahku yang tampak sumringah.
            Ternyata benar, dan kutatap namaku dengan nomor urut 45 dan jadwal tampilnya pada tanggal 17 agustus sore. Wah, ternyata si Rusydi dapat jadwal tampil di pagi harinya. Semangatku kian terbakar menatap jadwal lomba di hadapanku. Aku pasti bisa, tanpa banyak bicara kuayun langkah menemui sang sahib, sepenanggungan dan tinggal satu komplek juga sih. Kutarik tangannya keluar fakultas, tak peduli OSPEK tinggalkan dulu saja.  Dengan susah payah membujuk ia pulang untuk latihan puisi.

            “ Rusy, di rumahmu kosong kan? Kita latihan di rumahmu aja ya..?”
            “ Emm, Cuma ada ibu sih. Tapi kok ndak di rumahmu aja mam. Kan lebih luas, ada studionya juga…?” Jawab umam, mungkin ia kangen ingin main ke rumahku. Padahal aku sama sekali tidak betah tinggal di rumah. Tapi Rusydi cukup mengerti saat kubalas hanya dengan senyum.

            “ Kalau ke rumahku, nanti kamu ikut-ikutan autis lho…” jawabku sambil tertawa.
            Selang beberapa menit, dua motor bebek kami sudah bertengger di depan rumah yang cukup sederhana pada sebuah komplek di belakang salah satu SMA swasta kota Yogyakarta. Sebenarnya ini adalah rumah barunya, karena sejak SMP dulu ia tinggal di daerah Sleman dekat kampus Gajah Mada. Untungnya ia pindah di sini, satu komplek dengan rumahku. Meski satu komplek, di sini suasananya begitu asing bagiku. Rumahnya benar-benar kosong seperti rumah zombi. Tapi justru semakin apik sebagai lokasi berimajinasi ria.

Setelah mengantarku istirahat di kamarnya, kulihat Rusydi bergegas keluar kamar  menuju arah belakang. Lama sekali ia tak muncul lagi, hingga kuberanikan mengintip kejadian apa di belakang rumah. Sepi dan tampak angker, jangan-jangan anak semata wayang itu melakukan ritual klenik agar menang lomba puisi. Apalagi penglihatanku menemukan kamar kosong yang pintunya sedikit terbuka. Dan akhirnya keluar juga sosok Rusydi dari kamar itu. Ia membawa sepiring bubur putih dan segelas teh berisi setengah kosong. Ia hanya diam berdiri karena melihat aneh tatapan tajam mataku. Aku heran, temanku yang biasa sehari-hari tak lepas dari masjid ternyata berbuat syirik.

“ Rusy, kamu sadar… sadar Rusydi. Ini perbuatan musyrik…” Dengan kuat kucekik kerah bajunya. Sampai-sampai piring di tangannya terjatuh dan bubur putih sesaji tumpah. aku bertambah kaget saat terdengar suara dari dalam kamar klenik itu. Ternyata saat kubuka lebar pintu kamar, terlihat sosok wanita dengan rambut acak-acakan tengah memperhatikan aku dan Rusydi tengah saling mencekik. Akan tetapi saat kuamati ulang, benar-benar kuperhatikan siapa sosok wanita tua itu. Dan astaghfirullahal’adziim, itu kan ibunya Rusydi. Tampaknya ia tengah menahan rasa sakit. Berarti tadi itu bukan bubur sesaji dong. Pasti bu Fatma sekarang hanya bisa makan bubur, makanya Rusydi tadi membawa bubur. Waduh, berarti aku salah sangka. Dan saat kubalikkan badan menghadap sosok Rusydi di depan pintu. Kini justru ia yang menatapku dengan tatapan singa lapar karena marah yang ditahan-tahan. Dan lagi-lagi kupaksakan untuk memberikan senyum padanya tanda minta maaf.

“ he he, maaf ya Rusy. Ini cuma salah paham kok. Sini buburnya biar saya yang membereskan…” Untungnya sahabatku itu orang yang pandai menahan amarah. Apalagi ini bulan puasa, ia pasti tahu diri lah.

Lama aku perhatikan kelakuannya di rumah, yang kutemukan hanyalah kekaguman pada sahabatku Rusydi. Andai ibuku masih hidup, mungkin akupun bisa berbakti seperti yang dilakukan sahabatku ini. Lelaki berambut keriting itu dengan sabar menuntun ibunya ke kamar mandi. Terkadang ia, menyuapi sang ibu yang terkena penyakit lumpuh itu. Dan tentu saja ia sendiri yang memasakkan makanan ibu yang sangat dicintainya itu. Baru kali ini aku cemburu melihat Rusydi. Keras ku berusaha agar tak menetes bulir kesedihan dari mata ini.

Sudahlah, kuputuskan untuk langsung meninggalkan rumah Rusydi tanpa harus  berpamitan. Karena benar-benar aku tak tahan menahan kecemburuan pada sahibku itu. Lantaran kian mengingatkan saja pada mendiang alamarhum ibu kandungku. Kali ini motor bebekku melaju menghantarkan tubuhku ke masjid Syuhada Yogyakarta. Kucoba bersujud di waktu duha. Pertanyaan demi pertanyaan kusampaikan pada Allah Swt,

Ya Allah, kenapa kau panggil ibuku begitu cepat.
Bukankah Engkau Tuhan Yang Maha Menyembuhkan.
Kenapa dulu penyakit kanker wanita yang paling kusayang itu tidak disembuhkan saja.
Dan kini kenapa malah Sulastri yang menjadi penggantinya.

Terus saja kunanti jawaban doa itu hingga sholat zuhur tiba, bahkan sampai malam kuikuti sholat tarawih di masjid Jogokaryan. Dan kesimpuan sementaraku, harus pulang dan menulis puisi untuk ibuku. Semakin dekat ke rumah, semakin membuatku kesal. Karena dalam benakku hanyalah ketidakbetahan. Paling-paling yang dijumpai hanya ada Zuhdan si anak autis, Sulastri dan juga yang pasti  ada si mbah putri yang diam saja di rumah.

Sewaktu masuk ke dalam rumah untungnya tidak langsung berjumpa wajah menjijikkan isteri muda ayah. Di tengah ruang nonton kuperhatikan, tampak Zuhdan meloncat-loncat seperti biasa. Namun anehnya ia justru diasuh oleh si mbah putri. Lho, kemana Sulastri kok ndak kelihatan.

Mbah, si Lastri tindak pundi nggih ?kok malah mbah putri dewe ingkang momong dik zuhdan ?” (Mbah, si Lastri pergi kemana ya? Kok malah mbah putri sendirian yang mengasuh dik Zuhdan) tanyaku pada si mbah. Namun ia tidak menjawab, malah berjalan menuju sofa tengah. Dan mengajak saya duduk di sampingnya.

umam, nak Lastri kui mbokmu ugi. Yo mbok koe sing sopan. Mau iku nak Lastri awake meriang anget banget. Yo kulo tak kongkon tonggo-tonggo nganterke teng puskes…” (Umam, nak Lastri itu ibumu juga, seharusnya kamu bisa sopan. Tadi itu nak Lastri badannya demam panas sekali. Ya saya suruh saja para tetangga menghantarkannya ke puskesmas)

Si mbah putri  ada-ada saja. Ya sudahlah, daripada aku yang mengurus Zuhdan, lebih baik langsung naik aja ke kamar studio. Namun, belumlah jauh kutapaki anak tangga, dari arah pintu rumah muncul para tetangga berduyun-duyun menuntun Sulastri yang tengah memegang  bungkusan obat di tangan kanannya. Rupanya ia hanya sakit ringan dan baru saja pulang dari Puskesmas. Mataku hanya sinis melihat ulah Lastri yang sangat manja itu. lalu kubalikkan badanku lagi menuju ruang studio. Seperti janjiku tadi, malam ini harus tertulis dari tanganku sendiri sebuah puisi mahakarya. Tentu saja kutujukan untuk orang yang paling kusayangi, Ibu.

Rintikan hujan di luar rumah memainkan iramanya. Sedikit demi sedikit suara rintik kian berkurang menjadi tetesan air hujan dari atap rumah membasahi jendela bergantian. Suara itu menuntun jemariku mencipta puisi terbaikku. Foto ibu dihadapanku membantu aliran inspirasi dan imajinasi membentuk susunan huruf di atas kertas. Hingga rembulan bersembunyi jauh di atas langit, hembuskan angin kantuk menutup mataku malam ini.
***

            Aneh, kali ini mataku terkejut bangun tanpa sadar. Mungkin lantaran suara keramaian di lantai bawah sana. Dan langkahku perlahan meraba-raba gelapnya ruangan menuju lantai bawah. Ternyata tetangga ramai membopong Sulastri keluar rumah. Ehm, pasti dia bikin ulah lagi. Semakin jalanku mendekati ruang tengah dan bertanya-tanya. Akhirnya aku tahu, rupanya si Lastri merasa perutnya mules. Dan atas saran si mbah putri, maka ia langsung di bawa ke rumah sakit. Katanya untuk berjaga-jaga siapa tahu sudah mau melahirkan. Dalam pikirku, bukannya kandungannya belum sampai sembilan bulan. Itu sih, akal-akalannya si Lastri aja.

            Tapi kalau dipikir-pikir kalau wanita yang bernama lengkap Endang Sulastri itu masuk rumah sakit bukannya malah ngerepotin saja. Berarti nanti yang masak siapa, yang beres-beres rumah, terutama yang mengasuh anak autis itu. Waduh, dasar wanita nggak tahu diri. Sehat sama sakitnya sama saja, ngerepotin orang.

            Benar saja, setelah makan sahur terpaksa piring-piring kotor, saya juga yang mencuci. Lalu yang paling berat di pagi harinya memandikan bayi tua si Zuhdan. Wah, ini benar-benar menyiksa lahir dan batin namanya. Sampai jam setengah delapan pagi barulah aku bisa menegakkan pinggang duduk empuk di sofa setelah beres-beres rumah. Tapi baru sejenak aku menarik nafas, si mbah putri menghampiriku.

            “ le, ndang tumbas jangan teng warung bu RT. Yen onten godong telo, tumbas tigang iket mawon. Jo nganti kesupen yo…!”
            (nak, ayo cepat beli sayuran di warung bu RT. Kalau ada daun singkong, beli aja tiga ikat. Jangan sampai lupa ya…!)

            Waduh kiamat dunia, terpaksa uang jajanku dipotong. Padahal pukul 10 pagi nanti ada studium general lomba puisi dan sebagai pemanasnya, panitia menghadirkan Taufik Ismail ke Yogyakarta. Akhirnya waktu yang sebentar ini kumanfaatkan saja, dengan sigap ku belanja ke warung bu Sri yang paling perhatian menghantar Lastri ke puskesmas dan rumah sakit.

            “ eh nak Umam, kok dereng mangkat. Mbokmu iku loh pisan-pisan yo ditilik’i teng rumah sakit…” (eh nak Umam, kok belum berangkat. Ibumu itu loh sekali-kali ya dijenguk di rumah sakit) Tegur bu Sri yang asyik membungkusi sesuatu.

            “ nggih bu, niki kulo tesih resik-resik griyo. Mengke yen onten wekdal ingkang lego, kulo tindak teng rumah sakit bu…” (iya bu, ini saya masih bersih-bersih rumah. Nanti kalau ada waktu luang, saya langsung berangkat ke rumah sakit) jawabku ringan saja.

Dasar orang yang tidak berperasaan, dipikirnya bersih-bersih rumah gampang apa. Sekarang baru aku tahu, ternyata menjadi ibu rumah tangga itu melelahkan. Lebih capek daripada lari maraton keliling komplek. Jari-jariku menjadi gemetar karena lama membilas tumpukan piring, wajan dan panci. Belum lagi bekas makan anak autis yang menjijikkan. Ya, ternyata selama ini kasihan juga si Lastri mengerjakan tugas berat ini, apalagi ia sedang hamil tua. Akupun terdiam lama di depan rumah memikirkan si Lastri. Ah, tapi masa bodoh lah. Yang penting penampilan taufik Ismail jangan sampai tertinggal.

            Pukul sepuluh pagi, kutancap gas menuju kampus di jalan kolombo Yogyakarta. Semakin mendekati ruang fakutas kian optimis hatiku. Tangan ini selalu mengepal karena membaranya api semangatku. Apalagi yang akan kusaksikan adalah penyair tersohor, Taufik Ismail. Tapi tetap saja, aku tak akan masuk jika tak ada Rusydi di sampingku. Kemana anak itu yah, kok dari tadi belum juga muncul. Sekitar setengah jam aku menanti ketidakpastian munculnya batang hidung si Rusydi. Dan akhirnya kuputuskan untuk kembali ke komplek menjemput sahib terbaikku itu.

            Aneh, padahal aku melintas di jalan yang benar menuju rumahnya. Tapi, kok ramai sekali, bahkan berkumpul orang-orang berpakaian serba hitam. Jangan-jangan si Rusydi melakukan hal tersebut. Tapi lekas ku bertutur “…Astaghfirullahal’adziim”, tidak boleh berprasangka buruk dulu. khawatir nanti malah salah paham lagi. Aku coba memasuki rumah tersebut perlahan. sembari coba kutemukan pemuda berambut keriting di dalam sana.

            Wajah bingungku tampak sekali di tengah keramaian. Namun serasa tangan ini ada yang menarik dari belakang, kulihat rupanya si Rusydi. Ia menarik sampai ke luar rumah hanya berdua saja. sembari tersenyum kucoba bertanya perihal keramaian ini. Belum sempat kugerakkan bibir, ia sudah memelukku dengan air tangis berseduh-seduh. Wajah ini bermaksud menenangkannya agar tidak menangis berlebihan. Kulepaskan pelukannya dan sesekali menatap matanya yang basah sembab.

            “ Ibuku sudah meninggal mam…” ucapnya dengan suara tipis.
            “ Innalilahi wainna ilaihi raji’un… maaf ya Rusy” Tampangku berubah merah terkejut hebat, siapa sangka geledek menyambar hati ini di siang bolong. Siapa yang tidak sedih ditinggal Ibu sebatang kara. Siapa yang tidak teriris kehilangan orang yang paling dicintai. Siapa yang bisa tertawa kala orang yang paling disayangi tiada. Oh, Rusydi sahabatku yang malang.

            “ Umam, entahlah apakah aku masih akan ikut lomba puisi. Karena orang yang kucintai sudah pergi. Buat apa aku berpuisi lagi. Jika kamu masih mau ikut lomba itu, berjanjilah padaku sobat. Jangan kau baca puisi itu, kecuali dihadapan orang yang paling kau cintai” ucap Rusydi di depan wajahku.

Lelaki keturunan Jawa dan Madura itu mendorong tubuhku agar menjauh dari dirinya. Mungkin anak cerdas itu tengah ingin sendiri. Aku pun menjadi salah tingkah, sekarang harus ke mana dan mau apa. Sudahlah, aku pulang saja mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan.
***

            Kugonta-ganti chanel televisi, tapi semua tayangan membosankan. Kulihat si mbah putri  tengah bersiap-siap hendak berpergian. Pasti mau ngelayat ke rumah Rusydi. Dan bu Sri tampaknya sudah menunggu di depan siap menghantar si mbah putri keluar. Setelah kutanya bu Sri, eh malah hendak ke Rumah Sakit menjenguk Lastri. Rupanya mereka sudah ngelayat tadi pagi. Dan tentu saja aku di rumah sendiri mengawasi Zuhdan yang tengah pulas di dalam kamar.

            Sendiri termenung di dalam rumah, seolah diikuti hadirnya bayang-bayang Lastri yang sibuk mondar-mandir di dalam rumah. Kucoba untuk menghilangkan imajinasiku itu. Tapi semakin kuat saja hadirnya bayangan ibu Tiriku itu. Kali ini kuamati bayangan Lastri tengah bercanda bersama Zuhdan di depan televisi. Apa ini karena kekurangajaranku selama ini. Benakku memunculkan memori saat ia kubentak-bentak hanya karena masuk kamar tanpa izin, padahal ia hendak membangunkan sahur.

Sejenak ku berpikir mengenai ibu. setelah membanding-bandingkan antara aku dan Rusydi. Kini mulai kusadari bahwa begitu besarnya jasa ibu. Bukankah seama ini Lastri tak pernah mengeluh di rumah ini. Zuhdan yangbukan anak kandungnya masih rela ia asuh. Apalagi ia tengah hamil tua, tanpa ada suami di sampingnya.

Apakah pantas Sulastri kupanggil Ibu. kali ini kembali Lastri membayang-bayangiku. terlihat ia seperti menghidangkan makanan di atas meja makan. Kucoba memanggilnya dengan panggilan ibu. Tapi tak ada jawaban darinya dan bayangan Lastri menghilang begitu saja. Ah sudahlah, kutinggakan Zuhdan sendirian di rumah. Aku akan menyusul ke rumah sakit sekarang juga.

            Semakin ku pacu kuda besi ini, kian dekat saja jarak antar aku dan Lastri, eh maksudku bu Lastri. mulai sekarang tak mengapalah ku panggil dia bu Lastri, Ibu tiriku. Sudah semakin dekat aku khawatir perasaanku yang berlebihan ini akan memunculkan kejadian lain. Jangan sampai ibu tiriku itu menyusul ibunya Rusydi. Hingga sampailah aku di depan kamar bu Lastri, tapi entah kenapa kakiku memilih berhenti tak mau masuk ke dalam. Apa karena mentalku belum siap menganggap ia sebagai ibuku. Dan degub jantung kian kencang saat terdengar suara kaki berjalan dari dalam hendak keluar pintu. Sedikit ku menjauh dan berbalik badan, jangan-jangan itu bu Lastri. kian jelas suara langkah kaki itu membuat gugup saja. Dan untungnya cuma seorang suster yang berjalan agak tergesa-gesa.

            “ em Suster, saya mau tanya tentang kondisi pasien di kamar Kamboja ini…”
            “ oh, bu Sulastri maksudnya…? Anda siapanya ya…?” Mendengar pertanyaan itu aku hanya terdiam. Haruskah kujawab bahwa saya adalah anaknya.
            “ kalo gitu ga jadi suster, saya ada urusan mau cepat pulang. terima kasih” aku mencoba mencari aman menjauhi perawat itu. Tapi dari belakang terdengar suara perawat itu memanggil. Namun aku hanya pura-pura tidak mendengar. Semakin suster itu mendekatiku, mungkin karena heran.

            “ maaf mas, kalau cuma sekedar ingin tahu. Saya sekedar menginfokan  kalau bu Lastri mulai besok sudah bisa pulang. dia Cuma shock saja karena kecapean…” ucap suster tersebut. Dan aku hanya bisa membalas senyum sambil berlega hati. Ternyata tidak terjadi apa-apa dengan bu Lastri. Syukurlah, lagi-lagi aku bingung dan salah tingkah mau kemana sekarang. Sampai akhirnya ku teringat dengan si Zuhdan adikku yang tertinggal sendirian di rumah. Ya sudahah pulang saja.
***

            Pagi hari ini merupakan hari kedua yang begitu melelahkan tulang-tuang punggungku. Ya apalagi kalau bukan beres-beres rumah hingga menyiram bunga di pekarangan depan. Kian dekat ku siram bunga yang di dekat pagar, ku tatap seorang lelaki berjalan di luar sana. Ya si Rusydi yang berjalan dari ujung komplek ke ujung komplek. Ingin rasanya kusapa sahabatku itu. Tapi bibir ini terkunci begitu rapat, seolah memahami bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk menghibur Rusydi.

            Kembali ku kembali ke dapur. Dan waktu yang kunanti-nanti hadir sudah. Karena bel rumah berbunyi pertanda bu Lastri pulang ke rumah. Ternyata benar, ia berjalan perlahan dituntun bu RT. Dengan gesit ku temui mereka dan menyambut bu Lastri mengganti bu RT yang tadi menuntunnya. Baru kali ini aku merasakan menuntun seorang ibu. Kini aku tak peduli ibu kandung ataukah ibu tiri. Tampaknya ia memang harus istirahat sehingga kubiarkan bu Lastri berbaring di ranjangnya. Tapi entah kenapa, masih saja aku sulit untuk mengeluarkan kata-kata apapun di depan bu Lastri.

            Kembali aku ke dapur menghidupkan kompor gas sekedar menumis sayur untuk makan Zuhdan. Aneh, kucari-cari garam dapur tak juga ketemu. Sialan, dimana kemarin kuletakkan barang tersebut. Wajah kesalku jelas terlihat di dapur seperti orang gila.

            “mas Umam cari apa ya, kok repot-repot masak di dapur…?” aku kenal suara itu, suara bu Lastri yang sedari tadi ternyata bangun dari tidurnya dan memperhatikan aku. Aduh gawat ini, hendak kujawab apa omongannya. Sambil berbalik ku hadapkan wajahku padanya.

            “ ini, apa ya, itu… cari dapur! eh, maksudnya garam dapur. he he, mau masak tumis buat si Zuhdan. dimana ya tempatnya?” matilah aku, habislah gayaku kali ini benar-benar aku salah tingkah. Bola mata ini mengarah ke segala arah yang tak jelas.

            “ ya sudah, biar saya saja yang melanjutkan masaknya…!” akhirnya keluar kata-kata itu dan selamatlah aku. Dan melihat wajah bu Lastri yang selalu senyum, akhirnya untuk pertama kalinya aku membalas senyumnya sembari meninggalkan dapur.
***

Alhamdulillah setelah lama akhirnya hari yang kunanti tiba. 17 Ramadhan bertepatan dengan 17 Agustus hari yang bersejarah bagi hidupku. Sejak semalam teah matng-matang kusiapkan puisi yng terbaik. Ingin rasanya mengajak bu Lastri ke kampus menyaksikan aku berpuisi. Tapi sepertinya tak mungkin, apalagi ia tengah menjaga kandungannya. Ya sudahlah, kutulis saja di kertas selembar untuk bu Lastri. semoga ia membaca, tapi kuharap ia tak membacanya.

            Sebelumnya saya berharap tidak ada satupun yang membaca surat ini.
Kepada Yth bu Lastri
Bu Lastri, sebenarnya saat ini 17 Ramadhan adalah hari yang paling penting dalam hidupku. Hari ini aku mengikuti Lomba baca puisi di kampusku. Jikalau bu Lastri mau datang untuk menyaksikan anakmu ini, sungguh gembira tiada terkira. Nanti sore di ruang auditorium budaya FBS. Karena dulu aku teralu berjanji kepada sahabatku agar membaca puisi ini di hadapan orang yang paling kucintai.
            Akan tetapi jika bu Lastri tak berkenan hadir, tidak apa-apa. Karena menjaga kandungan itu lebih utama. Maafkan jika permintaan saya begitu berlebihan.
(Anakmu, Misbahul Umam)
***
Kampus begitu panas, padahal hari sudah sore. Aku begitu kecewa karena pagi tadi 
ternyata Rusydi tidak hadir mengikuti kompetisi yang dinanti-nantikannya. Kini semangatku pupus sudah, tanpa kehadiran sahibku itu. Ingin ku mundur saja, apalagi bu Lastri juga pasti tak akan datang. Aku tahu waktu tidak akan mundur, mungkin giliran tampilku sudah kian dekat. Apa sebaiknya aku masuk saja, membaca puisi seadanya terus pulang. Ya akhirnya kuputuskan masuk saja. Daripada tidak mendapatkan apa-apa, apalagi kemarin sudah terlanjur membayar uang registrasi.

Ruangan yang besar ini membuatku kepercayaandiriku jatuh. Ditambah adatnya penonton dari berbagai fakultas kampusku. Matilah aku sore ini. Kian lama, kian dekat nomor urut yang terpanggil. Hingga tibalah namaku dipanggil oleh pemawa acara dengan nomor empat puluh lima. Awalnya sudah kuniatkan tidak akan tampil. Sampai terlintasah di benakku wajah Rusydi yang membuatku berpikir ulang untuk mundur. Ya sudahah, maju saja dengan pikiran kosong. Dan aku masih tak percaya kini aku sudah di depan panggung yang kunanti-nantikan sejak lama, tapi malah kurusak begitu saja. Baca saja puisi…

 “…Puisi ini kupersembahkan untuk ibuku yang ada di rum..” Belumlah tuntas kubicara, di dekat pintu jelas kulihat sosok yang tak akan kulupakan. Subbhanallah, bu Lastri ternyata datang juga. Ya kuperhatikan disampingnya adalah sahib karibku yang melambai-lambaikan tangan ke arahku. Sungguh terharu diriku atas kehadiran mereka berdua. Karena bagiku itu sudah cukup meski tidak memenangkan lomba ini. Padahal belum kubacakan puisi, namun kembali tetesa air mata jatuh di panggung bersejarah ini.

“Baiklah, saya ulangi. Bahwa puisi ini ku persembahkan untuk ibuku yang ada di barisan penonton belakang sana…” tanpa dinyangka tepuk tangan meriah terdengar jua.

Wanita Pemalu
Oleh: Misbahul Umam

Kau bangun, saat kami dipenjara oleh angin malam
Kau bersihkan, apa saja yang telah kami kotori
Kau bersabar, atas segala emosi
Kaulah, wanita pemalu
            Tampak di kejauhan masih berdiri dengan tersenyum ibuku, sulastri. Kini dengan bangga akan kupanggil wanita pemalu itu dengan panggilan IBU di akhir puisi ini.
Cantik parasmu, kian bercahaya
Indah hatimu, merobek-robek prasangka jahat
Walau awalnya, aku tak kenal persis dirimu
Karena kau wanita pemalu
            Selanjutnya saat kualihkan pandangan ke bangku penonton. Betapa kagetnya, kala ibuku dan Rusydi sudah di barisan paling depan. Tambah deras saja air mataku mengalir karena terharu sampai-sampai kuhentikan sejenak suaraku menanti reda cucuran ini. Kulanjutkan puisi ini…
Duhai wanita pemalu
Maafkan kami yang acuhkan harga dirimu
Terimalah kami, walau kadang menghinakanmu
Berilah kami, meski sedikit senyummu
Engkau wanita pemalu
Wanita paling kusayangi
Engkau juga menyayangi kami
Duhai ibuku, wanita pemalu.

                                                                        Yogyakarta, 17 Ramadhan 1431 H

            Selesai puisi dideklamasikan, penonton kian riuh menyambut langkahku. Lega rasanya, dengan percaya diri kudekati bu Lastri. Belumlah sampai aku di kursi penonton, ia justru lebih dulu memeluk tubuhku. Tahukah, ini adalah pertama kalinya dipeluk oleh seorang ibu. Ya kini kuucapkan padanya.
            “ Terima kasih ibu…”

Oleh : Teguh Estro (cerpen inspiratif) “ Bunuh, bunuh saja aku…” Teriak Zuhdan panik. “ Diam…!” aku baru tahu, ternyata suar...
Teguh Estro Senin, 20 Mei 2013