Menu
Teguh Indonesia

Mengajak Masyarakat Belajar

Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Berkat Serasan Kecamatan ABAB

Oleh: Teguh Eko Sutrisno, S.Kom.I

Uang Seratus juta diberikan Cuma-Cuma, belum tentu membuat rakyat menjadi kaya. Karena boleh jadi uang tersebut dengan mudah akan dihabiskan juga secara Cuma-Cuma. Berjudi, mabuk-mabukan serta berfoya-foya. Itulah realita banyak sekali masyarakat kita yang bukan hanya miskin fisik, namun juga miskin mental. Salah satu usaha terberat kita dalam menekan angka kemiskinan adalah mengangkat mental masyarakat secara super sabar.
            Masyarakat kudu diajarkan berorganisasi, manajemen administrasi, melek informasi, strategi marketing dan yang paling penting kesabaran dalam berkorban. Salah satu pilihan cara yang kita usahakan adalah melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Berawal dari memilih kelompok masyarakat yang memiliki keinginan berusaha. Melakukan survey lokasi usaha,  pemberian dana stimulan hingga monitoring sampai usahanya berjalan sukses. Itu semua butuh kesabaran tingkat tinggi. Karena kita melaksanakannya bukan dengan para pakar yang professional. Namun kita berusaha bersama masyarakat yang belum memiliki kemapanan dalam skill entrepreneurship.
          
  Salah satu kelompok yang kita bina adalah KUBE “Berkat Serasan” di Kecamatan Abab, Kabupaten PALI. Usaha ternak itik yang cukup sukses dengan kerjasama kelompok yang apik dan monitoring yang rutin.
Ada hal menarik yang terjadi di lokasi peternakan itik Abab ini. Mereka membagi itik berdasarkan umurnya dalam kandang dan tempat terpisah. Bila diamati para peternak membagi dalam empat proses pengerjaan.
Pertama areal pengerama telur. Karena itik tak bisa bertelur sendiri maka kita membutuhkan jasa entok ataupun angsa untuk menetaskan telurnya. Dan karena itik termasuk hewan yang sembrono saat bertelur, maka para peternak harus berusaha mengumpulkan telur-telur yang berserakan di areal peternakan.

Kedua pengkandangan bagi itik yang baru menetas mereka terpisah sampai berumur 6 bulan. Karena itik yang berusia di bawah 6 bulan butuh makanan yang lebih halus, kehangatan yang lebih dan vaksin yang rutin. Dipastikan kandang tertutup keliling dan steril dari penyakit dan kotoran. Dibutuhkan pembersihan kandang yang teratur.

Ketiga Pengkandangan bagi itik remaja yang masih bujang gadis. Mereka harus dikandang dengan pagar keliling. Karena usia remaja cukup lincah dan sulit diatur. Dan peternak kudu teliti memilih mana itik yang sudah cukup kriteria untuk dilepaskan ke kelompok itik dewasa. Karena itik remaja ini harus belajar untuk kawin bersama kawanan lainnya.

Keempat kelompok itik dewasa yang dilepaskan di areal peternakan yang lebih luas, disediakan kolam pemandian dan taman sederhana. Agar mereka tidak stress dan bergairah untuk kawin. Bebek dewasa harus benar-benar diperhatikan apalagi betina yang akan bertelur. Karena mereka sering asal-asalan saat bertelur tanpa melihat tempat yang baik.

Kita berharap Kelompok Usaha Bersama ‘Berkat Serasan’ Kecamatan ABAB bisa Sukses dan terus belajar dan bersabar dalam beternak itik. Terima kasih juga atas oleh-oleh 20 butir telur bebeknya.

Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Berkat Serasan Kecamatan ABAB Oleh: Teguh Eko Sutrisno, S.Kom.I Uang Seratus juta diberikan C...
Teguh Estro Sabtu, 17 Oktober 2015
Teguh Indonesia

Dusun Talang Sibetung


Proyeksi Program ‘Komunitas Adat Terpencil’




Oleh: Teguh Eko Sutrisno, S.Kom.I 



Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat kita. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk menjadi masyarakat sejahtera. Hanya saja ada unsur ‘keterpencilan’ yang melekat dan membuat mereka tertatih-tatih menuju masyarakat sejahtera. Dibutuhkan keseriusan untuk memberdayakan mereka, minimal membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.
            Dusun ‘Talang Sibetung’, berada lebih kurang 5 km dari jalan utama Desa Tempirai, Penukal Utara Kabupaten PALI. Akses menuju lokasi hanya bisa dilewati kuda besi beroda dua. Talang yang diketuai Kuyung Dedi ‘Andoi’ ini tak disentuh oleh akses listrik dan dihuni oleh 22 Kepala keluarga saja.
            Lokasi yang tidak terakses listrik, tentu saja sangat mengkhawatirkan. Selain keterhambatan ekonomi, juga kerawanan secara kriminal. Apalagi akses jalan menuju kesana melalui jalan hutan. Bayangkan saja, ketika penulis menuju lokasi harus melalui rimbun pepohonan yang begelanyutan aneka jenis kera di dahan-dahan pucuk. Selanjutnya lokasi nan terpencil ini jarang sekali tersentuh oleh program-program pemerintah. Walaupun sebenarnya mereka tidak begitu usik terhadap program-program pemerintah. Karena sebagian besar mereka ‘enggan’ mengkritisi kebijakan pemerintah. Mereka hanya masyarakat agraris, petani kebun karet yang sudah cukup terpuaskan bila kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi.
            Secara spesifikasi kelayakan huni, tempat tinggal mereka masih berdinding papan. Dan setiap satu rumah dihuni oleh beberapa orang dalam satu atau dua kepala keluarga. Beberapa sudah beratap genteng dan masih pula ada yang beratap seng bahkan daun rumbia.
            Selanjutnya dalam penggunaan MCK dan air minum, masyarakat talang sibetung 100 % bergantung pada aliran sungai ‘ayik Subagut’ yang merupakan anak sungai Penukal. Apabila kemarau terjadi, maka kesulitan air membuat keterhambatan ekonomi. Secara akses pendidikan pun setali tiga uang. Mereka terpaksa menitipkan anak-anaknya ke keluarga-keluarga di dusun sebelah agar tak jauh saat berangkat sekolah. Dahulu ada ‘sekolah pembantu’ yang berdiri sederhana di sana. Namun saat ini sudah tak ada lagi.
            Harapannya program Komunitas Adat Terpencil bisa menyentuh Talang Sibetung ini sebagai salah satu bentuk hadirnya pemerintah.

Proyeksi Program ‘Komunitas Adat Terpencil’ Oleh: Teguh Eko Sutrisno, S.Kom.I  Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan...
Teguh Estro Selasa, 13 Oktober 2015
Teguh Indonesia

Jalan Panjang Pengentasan Kemiskinan



 oleh:
Teguh Eko Sutrisno, S.Kom.I


      Sekitar 34% penduduk kabupaten PALI masih berusia dibawah 15 tahun. Oleh karenanya kebutuhan yang urgent untuk disediakan adalah pangan, pendidikan dan kesehatan.  Ketiga hal tersebut adalah kebutuhan mendesak bagi penduduk usia muda seperti Bayi, Balita dan anak usia sekolah.

Pemenuhan gizi bagi 21.200 jiwa bayi, masih menjadi Pekerjaan Rumah yang harus diselesaikan. Belum lagi fasilitas kesehatan yang jauh dari cukup. Secara rasio, setiap 10.000 orang penduduk di PALI hanya tersedia 1 orang dokter, 3 orang perawat dan 2 orang bidan. Bahkan data yang bersumber dari BAPPEDA PALI, rasio jumlah fasilitas kesehatan cukup memprihatinkan. Dari setiap 10.000 orang hanya tersedia 1 puskesmas dan 1 Puskesmas pembantu. Sementara untuk fasilitas rawat inap, kapasitas tempat tidur yang tersedia di Rumah Sakit Talang Ubi pada saat ini sekitar 4 tempat tidur untuk setiap 10.000 orang penduduk.

Data – data tersebut bila dibaca secara perlahan maka membuat kita khawatir. Pada satu sisi tingkat kelahiran dan jumlah penduduk muda sangat banyak. Sementara fasilitas dan tenaga kesehatan jauh dari cukup. Bila tidak diselesaikan, sama artinya kita menyengaja penduduk tidak tumbuh dan berkembang secara ideal. Mereka dibiarkan hidup tanpa sentuhan jaminan kesehatan. Bahkan ditambah lingkungan masyarakat yang kurang sadar akan kesehatan. Padahal Kesehatan fisik, perkembangan mental serta kecerdasan otak harus dimaksimalkan pada usia 0 – 15 tahun. Secara tidak langsung hal ini adalah ancaman bagi generasi muda.

Selanjutnya dengan data 34% penduduk PALI masih berusia muda (0-15 tahun), artinya sebagian besar penduduk PALI adalah mereka yang masih bergantung pada orang tua. Maka menjadi persoalan berikutnya adalah bagaimana tingkat kerentanan kepala keluarga dalam menafkahi para ibu dan anak. Seandainya kepala keluarga dengan alasan tertentu seperti sakit atau meninggal dunia, maka para penduduk usia muda akan beresiko mengalami guncangan kesejahteraan sosial. Tentu saja tak mungkin masalah ini bisa diselesaikan oleh satu orang. Butuh kerjasama baik dari pemerintah, masyarakat dan peran dunia usaha.

Pemerintah saat ini memang fokus pada pembangunan infrastruktur. Harapannya fasilitas kesehatan dan tenega kesehatan yang sudah ada bisa dimaksimalkan. Terutama daerah padat penduduk yakni kecamatan Tanah Abang (180 jiwa/km²) dan Kecamatan Talang Ubi (110 jiwa/km²). Penambahan fasilitas kesehatan hingga ke dusun-dusun, tenaga kesehatan yang tak kenal lelah melakukan sosialisasi hidup sehat. Bukan hanya pemerintah, Dunia Usaha/CSR Perusahaan juga dituntut tanggung jawab sosialnya. Setidaknya pada penduduk-penduduk yang tinggal di Ring-1 areal perusahaan. Begitu juga peran tokoh masyarakat yang mampu mengarahkan masyarakat agar sadar terhadap kesehatan. Semisal Sosialisasi Konsumsi ASI, Sosialisasi pola asupan kalori dan buah nan seimbang dan lain-lain.

Pendidikan yang belum diminati masyarakat.
            Cukup mencengangkan saat mengetahui bahwa 65,79 % penduduk PALI hanya lulusan Sekolah Dasar (Sumber BPS, diolah dari data Susenas 2013). Artinya motivasi masyarakat rendah dalam menyelesaikan sekolah, setidaknya sampai kelas menengah. Hampir rata-rata penduduk yang berlatar belakang agraris hanya berminat sampai tingkat Sekolah Dasar saja. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang berlatar belakang bekerja di Pertanian yang mencapai persentase 63,04%. Karena untuk bekerja di sektor agraris  tidak membutuhkan lulusan sekolah tinggi. Cukup dengan kemampuan ‘melek huruf’ bisa baca dan tulis. Apalagi bagi masyarakat yang hidup di sektor agraris tidak begitu tertarik pada kelas sosial. Karena bagi mereka hal yang mendesak adalah jaminan keamanan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Apabila urusan perut dan tempat hidup telah selesai, maka selesai sudah kebutuhan.
        
         Di beberapa tempat, semisal di Penukal Utara dan lainnya masih berjalan tradisi keluarga yang mendoktrin agar cukup menamatkan sekolah sampai Sekolah Dasar saja. Sehingga perlu adanya upaya penyadaran terhadap masyarakat akan pentingnya sekolah. Karena boleh jadi, rendahnya akses pendidikan bukan karena alasan ekonomi. Namun lebih karena kurangnya motivasi dari keluarga untuk bersekolah. Apalagi sampai ke perguruan tinggi, masih jauh untuk diperbincangkan. Maka tugas berat bagi kita untuk mewujudkan masyarakat yang kreatif dan inovatif bila sumber daya manusia kita masih enggan bersahabat dengan dunia pendidikan.

Mengurai Benang Kusut Kemiskinan
  
          Apabila ditilik dari jumlah penerima RASKIN di kabupaten PALI, yakni 10.012 Kepala keluarga. Dan jika diasumsikan menjadi jumlah jiwa, maka jumlah penduduk miskin kita berada pada persentase 20,6 %. Angka yang fantastis bila disandingkan dengan persentase nasional yang hanya berkisar 14% saja. Ada varian faktor yang menjadi bianglala kemisikinan ini.

            Pertama, dari sudut pandang pendapatan dan pengeluaran. Secara keseluruhan PDRB Perkapita tahun 2014 diperkirakan Rp. 30.587.959 per tahun per Kepala Keluarga. Artinya bila dibuat kalkulasi bulanan maka pendapatan perkapita penduduk PALI per bulan per Kepala Keluarga adalah sekitar Rp 2.500.000. Naik dua kali lipat lebih dari tahun 2010 yang hanya berkisar Rp.1.100.000 per bulan. Namun angka tersebut adalah angka perkapita bukan angka Riil door to door.

            Seperti yang telah disebutkan 63,04 % penduduk PALI bekerja di sektor agraris, terutama perkebunan karet. Maka pendapatan riil masyarakat sangat dipengaruhi oleh  naik-turun harga karet. Sedangkan kabar-buruknya harga karet saat ini cukup rendah berkisar Rp.5000 – Rp8.000,- Sehingga berdampak pada pendapatan masyarakat. Belum cukup sampai disitu. Masalah berikutnya adalah besarnya pengeluaran masyarakat. Setidaknya dikarenakan inflasi kenaikan BBM tahun lalu membuat harga kebutuhan naik ‘menggila’.

            Kedua, dari sudut pandang kesempatan kerja. Masih bertumpunya lapangan pekerjaan di sektor pertanian tidak mampu menjamin penambahan lapangan pekerjaan baru pada tahun-tahun ke depan. Maka, persoalannya pertambahan angkatan kerja terus melonjak, namun lapangan kerja tak kunjung meluas. Maka dibutuhkan pekerjaan yang bersifat padat karya sebagai solusi jangka pendek. Namun untuk solusi jangka panjang, sangat dibutuhkan keberanian membuka lapangan usaha di dunia ekonomi kreatif dan sektor jasa.

 Program Sosial, Langkah Awal Pengentasan Kemiskinan
            Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Pada tahun 2015, Dinas Sosial Kabupaten PALI menerima dana stimulan KUBE untuk 25 kelompok yang beranggotakan penduduk miskin. Sebagian besar kelompok binaan Dinas Sosial ini menjalankan usaha ternak, baik Lele ataupun kambing. Usaha ini harapannya dapat membantu masyarakat dalam menambah pendapatan sampingan. Program ini bertujuan untuk menambah peluang usaha masyarakat. Sekaligus mendidik mental hidup masyarakat agar mau berorganisasi, mengerti manajemen keuangan dan mengenal birokrasi perbankan. Sehingga, sekalipun program ini belum bisa menjamin peningkatan pendapatan. Setidaknya mencoba untuk mendidik jiwa entrepreneur secara perlahan-lahan.

           Kedua, Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini diperuntukkan bagi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) / Keluarga Sangat Miskin (KSM). Tahun 2015 ini peserta program PKH Dinas Sosial PALI sudah mencapai 1.635 RTSM/KSM. Program ini  berupa bantuan sosial dalam bidang kesehatan dan pendidikan bagi warga miskin dengan sifat bersyarat. Program Bantuan Tunai Bersyarat ini tujuannya agar tidak memanjakan masyarakat terhadap bantuan pemerintah. Karena bantuan akan diberikan apabila keluarga sangat miskin tersebut bersedia memenuhi persyaratannya. Semisal rutin memeriksakan anaknya ke puskesmas. Kemudian menjamin anaknya masuk sekolah di atas 75% dll. Apabila persyaratan itu tidak dipenuhi, maka bantuan akan dihentikan. Hal ini agar menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan kesehatan.

Harapan Jangka Panjang Pengentasan Kemiskinan
            Sengkarut persoalan kemiskinan telah menjadi benang kusut. Maka untuk mengurainya, diperlukan kerjasama banyak pihak. Alangkah beratnya, jika semua dibebankan pada Dinas Sosial. Oleh karenanya masyarakat, Dunia Usaha, Korporasi dan lintas sektor lainnya harus mengetahui tentang persoalan kemiskinan ini. Baik tentang pemetaan, kondisi, strategi dan kendala yang dihadapi dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten PALI. Karena tanggung jawab ini butuh uluran tangan semua pihak untuk menyelesaikannya.

Sebagai gambarannya, dalam salah satu strategi pengentasan kemiskinan. Dibutuhkan strategi yang benar-benar tepat sasaran. Semisal dalam strategi jangka pendek. Bagaimana untuk menambah pendapatan, mengurangi pengeluaran, menambah lapangan kerja, proyeksi dunia usaha di bidang ekonomi kreatif dan jasa, jaminan sosial bagi pencari nafkah dan sebagainya. Selanjutnya dalam strategi jangka panjang. Bagaimana strategi membangun sumber daya manusia. Juga tak kalah pentingnya membangun lingkungan sosial dan ekonomi yang mendukung.

 oleh: Teguh Eko Sutrisno, S.Kom.I       Sekitar 34% penduduk kabupaten PALI masih berusia dibawah 15 tahun. Oleh karenanya ke...
Teguh Estro Kamis, 08 Oktober 2015
Teguh Indonesia

Menyorot Krisis Pangan

Oleh: Teguh Estro*
(*Curhatan seorang Jomblo tentang kisah cintanya.)

          
 Pada April 1804, Seorang Thomas Robert Malthus akhirnya melepas masa lajangnya di usia 38 Tahun. Seorang Ekonom yang gemar berdebat dengan ayahnya itu mencetuskan teori yang kejam. Ia mengatakan; “Populasi cenderung bertambah menurut deret ukur ( 1, 2, 4, 8, 16,32,…..) sedangkan Produksi Makanan cenderung bertambah menurut deret hitung (1,2, 3, 4, 5…….)”. Lantas dimana letak kejamnya teori ini. Secara sederhana Pria yang menguasai lima bahasa ini hendak menyampaiakan bahwa populasi manusiabertambah jauh lebih cepat daripada pertambahan sumber makanan. Artinya umat manusia dalam ancaman serius soal krisis pangan. Namun teori ini ia sampaikan200 tahun lalu saat jumlah penduduk bumi masih berkisar 1 Milyar saja. Menurut Malthus, setiap usaha untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik justru akan selalu kontraproduktif. Sistem kesejahteraan pasti akan menambah populasi tanpa menambah produksi makanan, dan akibatnya menambah penderitaan orang banyak.

            Terlepas dari pro dan kontra atas ocehan Malthus tersebut. Setidaknya pernah ada orang yang serius mengingatkan bahwa salah satu masalah mendasar umat manusia adalah mandegnya pertambahan produksi pangan. Kian bertambah usia dunia kian bertambah manusia yang tertatih-tatih mencari sesuap makan. Ledakan populasi artinya ledakan jumlah mulut yang berebut pangan. Ada yang menjadi pedagang, pegawai bahkan pengangguran sekalipun adalah manusia yang sama-sama berjuang memenuhi isi perut.

Masihkah ingat kisah si Jomblo Mohamed Bouazizi dari Tunisia yang menyiram tubuhnya dengan minyak dan membakar diri. Seorang lulusan perguruan tinggi yang terpaksa menjadi tukang gerobak sayur karena keterbatasan lapangan kerja. Awalnya lelaki yang berumur 26 tahun itu dipukul oleh polisi Tunisia karena tak sanggup membayar uang rokok pada petugas yang kelewat mahal. Meninggalnya si tukang sayur yang belum sempat naik haji itu, menyulut kemarahan rakyat hingga terjungkalnya sang Diktator Ben Ali. Setidaknya dari cerita ini membuat kita belajar bahwa penguasa sekalipun jangan main-main untuk urusan perut. Namun jangan pula mudah terjebak pada persoalan-persoalan permukaan saja. Kepahaman yang matang peristiwa hulu dan hilirnya mebuat kita lebih jernih memilah masalah.

            Persoalan krisis pangan memiliki banyak faktor penyebabnya. Mulai dari kesalahan paradigma dalam konsumsi pangan, masalah berkurangnya lahan pertanian secara drastis, suramnya reforma agraria, infrastruktur yang menunjang pertanian masih sangat compang-camping, tercekiknya hidup para petani oleh harga kebutuhan sarana produksi tani yang melambung,munculnya pemerintah ‘psikopat’ yang terus-menerus melakukan impor pangan. Kesemuanya itu adalah benang kusut persoalan pangan yang ujung-ujungnya secara laten mendorong lahirnya kelaparan di kemudian hari. PBB merilis bahwa saat ini ada satu milyar penduduk dunia dalam kondisi kelaparan dan kurang gizi karena krisis pangan.

Paradigma Sesat dalam KonsumsiPangan
            Berkembangnya teknologi di bidang pangan dan pergeseran gaya hidup telah memicu terjadinya perubahan kebiasaan makan (food habits) masyarakat Indonesia. Makanan cepat saji (fast food) menjadi idola generasi saat ini. Ditinjau dari pandangan ilmu gizi perubahan perilaku tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya masalah gizi lebih, obesitas dan penyakit degeneratif.

          Beragam merk mie instan dan panganan instan lainnya telah massif beredar di masyarakat sampai perdesaan. Mie Instan yang berbahan baku gandum, cukup aneh sampai bisa digemari di Indonesia saat ini. Pasalnya Indonesia bukanlah negara penghasil gandum dan memang tidak cocok dilahan tropis kita. Pertanyaannya kenapa mie instan bisa popular sampai kedesa-desa? Padahal bahan baku nya berasal dari gandum impor yang dahulunya tidak dikenal oleh lidah orang Indonesia.

          Ini sebuah rekayasa yang berlangsung puluhan tahun. Lidah kita sudah terjajah dengan bahan baku impor. Bagaimana mungkin saat ini lidah orang Indonesia bisa menerima rasa dari gandum impor yang direbus itu. Dahulu lidah orang tua kita enjoy mengecap singkong, Sagu, Jagung, gadung, kentang dan aneka asupan lokal lainnya. Dan 20  tahun terakhir ini lidah kita sudah diserang oleh penjajahan mie instan. Tahukah dari mana impor gandum tersebut? Ya jelas, Australia, Kanada, Amerika Serikat, Rusia, Turki, SriLanka, Belgia dan Ukraina dan masih banyak lagi negara ladang gandum yang tertawa melihat kebodohan kita manusia Indonesia. Dalam catatan tahun 2012, kita melakukan impor gandum melebihi 6 Juta ton.

        Kedatangan gandum di Indonesia tidak langsung sukses begitu saja. Pihak pengusaha Mie Instan melakukan Beragam penelitian, kampanye yang konsisten dan sampai melalui pendekatan rasa makanan lokal. Selama 20 tahun mereka mengkampanyekan gandum agar ‘selidah’ dengan orang-orang pemakan singkong seperti kita. Baik kampanye di televisi terutama ataupun via media lainnya. Bahkan gandum sudah mulai menjajah jajanan lokal. Jajanan lokal yang dahulu menggunakan tepung beras,tepung sagu atau tepung lainnya. Kini jajanan lokal sudah menggunakan tepung gandum sebagai bahan baku. Begitupun mie instan juga sudah menawarkan rasas esuai selera makanan lokal. Mie Instan rasa rendang, Soto Lamongan atau makanan lokal lainnya.

            Kemudian manusia Indonesia juga mengalami kesesatan pandangan dalam mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Ada pihak-pihak yang memaksakan kehendak agar semua orang Indonesia menjadikan beras sebagai pangan utama. Padahal kita dahulu terbiasa makan singkong, sagu dan jagung. Sehingga ketergantung manusia Indonesia dengan beras sudah sangat kronis. Konsumsi beras masyarakat Indonesia setiap orangnya rata-rata sebesar139 kg per tahun atau sekitar 0,4 kg per hari. Ini angka yang cukup fantastis tertinggi di Asia bahkan mungkin dunia. Di Thailand dan Filiphina hanya 100 kgper tahun, Cina mengkonsumsi 90 Kg per tahun dan India hanya 74 kg per tahun untuk setiap satu orang warganya. Hal ini menandakan kebutuhan beras di Indonesia cukup besar. Meskipun gertak-gertak swasembada pangan terus didengung-dengungkan, tetapi tetap saja Impor beras terpaksa menjadi solusi.

            Konsumsi beras bisa dikurangi dengan melakukan sosialisasi konsumsi pangan yang benar. Bahwa menu makan tidak harus selalu dengan beras, bisa diganti dengan singkong, jagung atau umbi-umbian lainnya. Begitupun dalam mengkonsumsi nasi, masyarakat Indonesia sangat ‘beringas’. Satu piring penuh oleh nasi dan sisanya baru sayur dan lauk seadanya. Padahal seharusnya nasi secukupnya diimbangi dengan sayur, lauk dan cairan yang seimbang. Karena pandangan sesat orang Indonesia dalam konsumsi pangan adalah hanya bertujuan ‘asal kenyang’. Makan bukan bermaksud untuk menambah asupan gizi, namun dimaksud untuk menghilangkan rasa lapar semata. Inilah yang dimaksuddengan rice food traps atau perangkap pangan beras di Indonesia.

            Tradisi makanan lokal pun terancam. Sego jagung di Jawa tergeser oleh beras, Kebudayaan penduduk di Maluku untuk menanam tanaman sagu hilang berganti dengan beras. Sungguh kejam sekali monopoli beras saat ini. Beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan dimakan oleh sekitar 3 Milyar orang setiap hari. Sungguh menggiurkan bagi para mafia untuk bisnis distribusi beras di dunia ini. Sehingga ujung-ujungnya bisa mengorbankan pangan lokal perlahan-lahan.

Kebijakan-kebijakan ‘Psikopat’
           Kembali kita mengupas diskursus Malthusian yang sangat pesimis terhadap keberlangsungan hidup umat manusia. Banyak ekonom-ekonom lain yang ‘usil’ mengkritik teori Malthus ini. Semisal tentang populasi manusia dan hewan. Perempuan butuh waktu Sembilan bulan untuk melahirkan, dan jarang sekali melahirkan bayi kembar dua atau tiga. Sementaraitu banyak hewan –terutama sapi, ayam, babi, ikan, dan hewan lainnya yangdikonsumsi manusia- jauh lebih produktif. (Mark Skousen : 2005). Tentu sajad engan pendekatan-pendekatan lainnya, kita bisa saja membantah teori dari pendeta Anglikan tersebut. Hanya saja di era modern ini teori Malthus masih ‘agak nyambung’ bila digunakan untuk menganalisis krisis pangan di negara –negara berkembang bahkan negara miskin.

            Indonesia bisa jadi salah satu negara yang  masuk dalam kategori ‘ramalan’ Malthus. Sebab penduduk yang banyak namun mengidap krisis pangan yang serius. Hanya saja krisis ini bukan karena terbatasnya Sumber Pangan, tapi  karena tersumbatnya pengelolaan sumber-sumber produksi pangan tersebut. Indonesia memiliki peternak sapi namun dijegal oleh kebijakan impor yang mematikan pasar bagi  peternak okal. Kebijakan impor pemerintah sudah kelewatan, hingga membuat petani dan peternak kehilangan ‘selera’ untuk menggarap sawah dan ternaknya. Banyak orangtidak mau lagi bekerja sebagai petani di pedesaan. Mereka memilih pindah kekota, meski apapun pekerjaannya. Dikhawatirkan bila urbanisasi dari pedesaan keperkotaan bertambah terus, akan berdampak pula pada pengolahan lahan pertanian tidak produktif, tidak mampu mengimbangi pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong akan mengimpor berbagai komoditas pertanian yang sebelumnya surplus.

           Semisal perhatian pada kebijakan land reform/kebijakan lahan agraria. Saat ini lahan pertanian semakin memprihatinkan. Luas lahan pertanian kini tinggal 13 juta hektar saja. Salah satu penyebabnya semakin maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman, pertambangan, perkebunan dan kawasan industri. Rata – rata laju konversi lahan pertanian adalah  110.000 hektar per tahun. Hal ini cukup menyedihkan mengingat kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya 40.000 hektare per tahun. sehingga harus ada usaha radikal untuk mendorong lahirnya kebijakan lahan pangan yang berpihak pada petani. Kita mengutuk kebijakan akhir-akhir ini yang lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal dalam alih fungsi lahan pertanian.

           Permasalahan akutnya bukan terletak pada hilangnya lahan pertanian itu sendiri. Melainkan pada mentalitas manusianya, yang tidak bisa dilepaskan oleh pengaruhzaman. Konversi lahan pertanian manjadi lahan pemukiman, industri pabrik, atau lahan non produktif lainnya dilatarbelakangi oleh ‘mental agraris’ manusia yang dekaden dari hari ke hari. Mengapa terjadi? Jawabannya sederhana, zaman semakin modern, kapitalisme semakin mencengkram dan hidup bertani kurang bergengsi.

        Selanjutnya kebijakan infrastruktur pertanian, banyak sekali hambatan teknis petani-petani di pedesaan. Banyak faktor yang dapat disebutkan, misalnya tenaga kerja di sektor pedesaan masih lemah, sarana produksi (saprodi) sektor pertanian kurang, modal usaha lemah, kualitas hasil komoditas rendah, saluran pemasaran terbatas, manajemen usaha pertanian masih lemah, dan faktor-faktor eksternal lainnya, serta faktor ketataruangan (Rahardjo Adisasmita:2014). Untunglah di era Presiden Jokowi ini sedikit ada kepedulian untuk anggaran infrastruktur.  Meskipun masih tanda tanya bagaimana master plan nya ke depan.

       Infrastruktur dan kebutuhan pertanian kini dikuasai oleh segelintir pihak. Kekuatan monopolistik akan menjerat petaniuntuk membeli harga input pertanian dan alat mesin pertanian dengan harga yangtinggi karena petani sangat tergantung pada input dan sarana produksi tani dari penyuplai berotak bisnis.

      Kebijakan selanjutnya yang sangat gila adalah kebijakan impor. Pemberian izin impor beras oleh swasta dan privatisasi Bulog memberikan ruang besar bagi impor pangan. Inilah kontroversi dimulai. Pemerintah selalu tertarik mengadakan beras melalui impor yang secara nyata jauh lebih murah dan merugikan petani tetapi hemat fiskal. Pilihan impor beras atas nama ketahanan pangan cukup menyedihkan. Kenyataan yang kita hadapi saat ini adalah bahwa: kita juga telah mengimpor Singkong, Ubi Jalar,Kacang kedelai bahkan garam pun impor di negara penuh pantai seperti kita, astaghfirullah.

       Pada dunia industri, normalnya produsen adalah penentu harga. Tetapi tidak demikian dengan pertanian, petani sebagai produsen tidak mempunyai posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga -bahkan harga gabah sekalipun. Harga beras ditentukan oleh pasar yang tidak lain adalah para pedagang besar, importir kelas kakap dan pelaku Industri.
           
        Akhirnya ucapan mantan PerdanaMenteri India, JAWA-Harlal Nehrumenutup tulisan ini: “Everything can wait, except agriculture. Obviously, we must have food and enough food”  atau artinya adalah “Kabeh menungso arep mangan, Mangkane urusan panganan ojo mung inggah-inggih. Kudu nggenah Sesuk mangan opo…?”

Referensi Buku Bacaan:
1.   Dr. Ir. HermenMalik, M.Sc. Melepas Perangkap Impor Pangan. LP3ES, Jakarta : 2014.
2.   Mark Skousen, Teori-TeoriEkonomi Modern. Prenada, Jakarta : 2005.
3.   EffendiSiradjuddin, Nation in Trap. EsirInstitute bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Jakarta : 2012.
4.   BernhardLimbong, Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi. PustakaMargaretha, Jakarta: 2013.
5.   Prof. Dr.Rahardjo Adisasmita, M.Ec. Ekonomi Tata Ruang Wilayah. GrahaIlmu, Yogyakarta : 2014.

Oleh: Teguh Estro* (*Curhatan seorang Jomblo tentang kisah cintanya.)             Pada April 1804, Seorang Thomas Robert Malthus ...
Teguh Estro Senin, 25 Mei 2015