Menu
Teguh Indonesia

#ReformasiHantu



1. Di zaman modern, kita butuh film horor yang mengubah imajinasi tentang hantu. Tak melulu pocong atau kuntilanak

2. Suster Ngesot adalah lompatan sejarah imajinasi. Ada pergeseran persepsi tentang wujud hantu nan cantik,modern & liar

3. Bila sutradara kreatif, banyak karakter menarik yang bisa dijadikan sosok hantu di dunia modern.

4. Karakter hantu bisa juga dibuat untuk kritik sosial. Semisal Hantu Lumpur LAPINDO atau Arwah Sang Koruptor  

5. Setan adalah musuh yang nyata, coba sekali2 setting film horror itu di Papua. Judulnya MISTERI FREEPORT BERDARAH

6. Paradigma tentang film horror harus diperbaharu. Dimulai dengan pembaharuan filosofi tentang Setan.  

7. Kemiskinan & kebodohan adalah musuh bangsa. Bisakah Film horor mengakomodir karakter itu dalam wujud hantu yang tepat

@teguh_estro 

1. Di zaman modern, kita butuh film horor yang mengubah imajinasi tentang hantu. Tak melulu pocong atau kuntilanak # ReformasiHantu ...
Teguh Estro Minggu, 26 April 2015
Teguh Indonesia

Mohammad Hatta Bicara Demokrasi


 
          Berikut ini bukanlah artikel atau opini. Namun hanyalah kutipan dari tulisan-tulisan Bung Hatta dalam bukunya Kedaulatan Rakyat, Otonomi & Demokrasi. Kutipan-kutipan itu sebagai berikut:

1.  Di masa yang lampau kita menganjurkan cita-cita kedaulatan rakyat. Sekarang, setelah kita melahirkan Indonesia merdeka, kita berhadapan dengan soal mempraktikannya.

2.    Di sini kita berhadapan dengan sifat manusia yang lamban, yang tidak begitu mudah menerima yang baru dan ingin berpegang kepada kebiasaan.

3.    Pertentangan antara cita-cita dan praktik daripada cita-cita itu tidak boleh mematahkan hati kita.

4.    Jadinya, kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijadikan oleh rakyat atau atas nama rakyat di atas dasar permusyawaratan.

5.    Akan tetapi, manakala daerah itu sudah agak besar, maka permusyawaratan selalu dilakukan dengan jalan perwakilan.

6.    Dasar pemerintahan yang adil ialah, siapa yang mendapat kekuasaan dia itulah yang bertanggung jawab.

7.    Yang berdaulat adalah rakyat, dan yang memikul tanggung jawab rakyat pula.

8.    Tolong-menolong adalah sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi.

9.    Kita hanya punya satu republik, Republik Indonesia. Di sebelah itu tidak ada tempat untuk berrepublik.

10. Kepala desa hendaklah dipilih kembali oleh rakyat desa, supaya timbul kembali perasaan, bahwa pemerintahan desa dikepalai oleh orang yang disukai rakyat.

11. Rakyat melakukan kedaulatannya dengan tidak disertai dengan rasa tanggung jawab. Dan kedaulatan rakyat dengan tidak adanya tanggung jawab bukanlah kedaulatan rakyat lagi.

12. Hanya dengan keinsafan politik dapat timbul rasa tanggung jawab, yang menjadi tiang dari pemerintahan rakyat. Oleh karena itu perlu diadakan didikan politik bagi rakyat.

13. Keinsafan politik tidak didapat dengan begitu saja pada rakyat. Mesti ada didikan dan latihan.

14.  Kewajiban partai politik yang terutama ialah mendidik rakyat untuk mendapatkan keinsafan politik.

15. Cita-cita persatuan jangan dilupakan. Dalam ideology kita boleh berbeda, tetapi sebagai bangsa kita satu.

16. Nasib Indonesia di masa datang bergantung kepada keinsafan politik rakyat.

17. Demokrasi tidak akan berjalan baik, apabila tidak ada rasa tanggung jawab. Demokrasi dan tanggung jawab adalah dua rangkai yang tidak dapat dipisah-pisah.

18. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu dictator yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu.

19. Ini juga adalah hukum besi dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat daripada krisis demokrasi itu.

20. Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat-berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.

21. Bagi beberapa golongan menjadi partai pemerintah berarti “membagi rezeki”. Golongan sendiri dikemukakan, amsyarakat dilupakan.

22. Sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktator yang bergantung kepada kewibawaan orang-seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Sokarno sendiri.

23. Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak pada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu yang sukses atau suatu kegagalan.

24. Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme.

25. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada.

            Berikut ini bukanlah artikel atau opini. Namun hanyalah kutipan dari tulisan-tulisan Bung Hatta dalam bukunya Kedaulata...
Teguh Estro Minggu, 19 April 2015
Teguh Indonesia

Bocahku

 
 
Oleh: Teguh Estro
                                                                                            
            Kaki tergesa menuju rumah, sepulang kerja. Sebelum keringat ini mengering diserap dingin malam. Jemari kekarku mengetuk pintu triplek rumah. Tanpa panjang usaha, senyum isteriku sudah menyambut senang. Lama kutatap wajah oval berjilbab ungu dihadapanku ini. Riana pun hanya diam namun tak dapat menutupi pipi merahnya. Hingga akhirnya azan Isya’ memecahkan suasana.

            “ Sudah, mandi sana terus sholat….” Isteriku.

            Malam ini begitu bising. Naluriku menangkap ada seganjil yang tak beres. Purnama datang namun tak kuasa menerangi bumi. Satu per satu cahaya tertutupi debu. Serta suara bising mesin bekerja mengiringi detak jantung. Disana, di ujung jalan desa terdapat keramaian mesin penggali. Sampai kuputuskan untuk tidak tertarik lagi pada dewi malam. Mungkin masuk ke bilik kamar saja.

            “Sayang, buka pintunya…”
            “Iya mas, sebentar…”
            “kamu belum tidur sayang…” Tanyaku manja.
            “Gimana mau tidur, dari tadi Cakra nangis terus…”
            “ya sudah, Cakra biar mas yang gendong dulu. Kamu istirahat dulu ya”
            “Mas kok tumben, pasti ada maunya. Ya udah itu Cakra di dalam kamar dibawa aja. Aku mau masak air dulu”

            Cakra anak pertama kami, baru satu tahun, baru belajar bicara dan baru mengenal dunia. Pangeran kecil ini memang jago sekali menangis. Dia terus berteriak tanpa rasa bersalah. Percuma rasanya aku pura-pura tersenyum di hadapannya. Kalau memang menangis adalah kebahagiaannya, maka biarlah buah hatiku ini berekspresi  sekencangnya. Aku pun tak tahu, apakah Cakra benar-benar menangis atau hanya akting belaka.

            Riana, isteriku melihat tapi lebih tepatnya meledekku. Ia menikmati kecanggunganku menggendong Cakra. Mungkin karena jarang aku mengasuh di rumah. Perlahan wanita setengah arab itu menghampiri dua lelaki yang sama-sama egois.

            “Sini mas, biar aku yang gendong Cakra” Isteriku…
            Dengan berat rela, berpindahlah bocah rewel ini pada timangan Riana. Akankah hanya menyerah pada rutinitas malam. Melamun, Minum kopi lalu terlelap. Tidak…! Aku harus keluar rumah, meski debu malam kian pekat. Kujalani perlahan kegelapan ini. Ternyata aku berjalan terlalu jauh. Mulai terlihat balai desa, tempat kenangan masa lalu. Sebuah balai  pertemuan pernikahan aku dan Riana, begitu luas dan gagah.

            Duduk seorang diri sambil menggaruk ketiak yang gatal. Sengaja lampu tak kunyalakan, karena malas mau menghidupkan tombolnya nan jauh di ujung ruangan. Balai desa ini memang tidak bertembok, hanya pilar-pilar kokoh yang menopangnya. Dari kejauhan ternyata ada sesosok lain yang bersandar di pilar belakang. Jantungku berdegub tak beraturan. Siapapun dia pasti orang jahat, jelek dan berniat memperkosa. Agak takut tatapan ini mulai fokus pada wajah itu.

            “Ngapain kamu lihat saya serius banget dul….” Tiba-tiba wajah itu menyebut namaku. Ternyata mang Zali penjaga balai yang juga asyik menyendiri bersama puntung rokok berbibir merah membara di ujungnya. 

Kian malam, satu per satu penduduk berdatangan ke balai untuk menyendiri. Mereka tanpa diundang berjalan menuju tempat yang sama dan tujuan yang sama, menyendiri. Ruangan ini kian ramai oleh manusia, ramai sekali. Sampai akhirnya terdengar suara tangisan yang sangat kukenal. Seorang ibu muda menggendong anak bayi yang meronta-ronta. Itu pasti Riana dan Cakra yang juga memasuki balai desa dan duduk jauh dari tempatku. Cakra berteriak dan menangis sangat kencang. Satu per satu orang yang tadinya menyepi sendiri, kini mereka berceloteh bak suara lebah yang dikomandoi oleh tangisan anakku. Tanpa disangka, tangisan Cakra mengundang tangisan anak-anak lainnya.

Balai desa kian gaduh oleh ragam suara. Tangis bayi, ocehan ibu-ibu, teriakan dan suara bising mesin penggali dari kejauhan. Ditambah lagi suara batuk para sesepuh yang menghirup udara malam yang sangat berdebu. Udara malam yang tadinya dingin kini bertambah panas dan gerah. Di tengah gelapnya ruangan balai desa, aku pun berteriak.

“Adoooouuuuuh sakit” Kakiku terinjak oleh sebuah tumit dengan sangat kuat.

Sepertinya orang di sebelahku benar-benar menyengaja. Ini bukan injakan biasa. Ada sensasi kebencian yang dalam. Lalu seketika lampu menyala menyilaukan mata. Kini tampaklah terang-benderang apa yang terjadi. Kulirik sekeliling ruangan balai sungguh menakjubkan. Penuh oleh warga desa yang berdesak-desakan. Dan di hadapan kami semua, tampaklah kepala desa yang tak lupa membawa wajah bingungnya. Dan yang membuat aku heran adalah ternyata orang yang menginjakku tadi adalah Riana isteriku dengan berpakaian batik merah bergaris hitam.

Semua yang hadir tidak ada yang mau memulai untuk bicara. kami asyik berbicara dengan diri sendiri. Mengumpat keadaan, mengumpat debu yang merusak kesehatan, mengumpat suara bising mesin penggalian. Selanjutnya tentu saja menunggu pak Jarko untuk bicara. Namun kepala desa itu jauh lebih diam dari kami. Hingga akhirnya ia terusik juga untuk bicara karena tak tahan mendengar tangisan Cakra.

“Tolong bayi itu disuruh diam, mengganggu saja” Namun Cakra seperti biasa pintar berpura-pura dan terus berteriak dan menangis.

“Bu Riana, bisakah anak anda ditenangkan dulu” minta pak Jarko lagi.

“Maksud pak Kades, anak saya. Emang kenapa…?” Jawab Isteriku yang terlihat cantik malam ini.

“Anak anda ribut dan mengganggu kepentingan umum…” Ucapan pak Jarko ini disambut oleh tangisan Cakra yang kian kencang.

“Oh, Jadi apapun yang ribut itu mengganggu kepentingan umum ya..!! kalau menurut anda cuma suara anak saya saja yang mengganggu. Berarti telinga anda yang rusak pak Jarko….” Jawab isteriku ketus, tapi bagiku itu aura kecantikan yang tiada tara.

Pak Jarko kian bingung di balik baju kotak-kotak nya. Sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud Riana. Bukan suara Cakra yang mengganggu desa ini, tapi suara bising mesin penggali yang meresahkan. Bahkan debunya cukup mengganggu siapapun yang berkeliaran di luar rumah.

***

            Keesokan paginya tanganku dicium oleh Riana, tanda hendak berangkat kerja. Baru saja sampai di luar pintu, terlihat Pak Jarko di jalan depan rumahku. Ia tampak terburu-buru bersama isterinya yang menggendong seorang bayi. Setahuku mereka tak punya anak bayi. Dan sangat mencurigakan karena bayi yang dibawa itu terus menangis kencang, persis Cakra. Mau kemana mereka…

            “Woi Pak Jarko, Mau kemana…?” Tanyaku bersahabat.
            “Mau ke Kantor Camat mas Abdul…”

    Oleh: Teguh Estro                                                                                                          ...
Teguh Estro Sabtu, 18 April 2015
Teguh Indonesia

Mental Saudagar




Saat ini kita hidup di zaman modern. Banyak yang terlena termasuk para da’I nya. Da’i-da’I kita menjadi manja. Mereka lupa bagaimana caranya berkorban. Mereka enggan membagi keringat dalam kesulitan. Profesionalisme mereka diukur dengan uang. Sungguh menyedihkan pendakwah kita saat ini.
Kita butuh da’I yang berkarakter dan memiliki mental saudagar. Bagaimana seorang saudara itu. Mereka pekerja keras dan penyabar yang tinggi. Mereka yang bermental saudagar pandai menyampaikan. Mereka juga terbiasa bepergian jauh dengan ongkos mahal. Mereka yang memiliki mental saudagar juga terbiasa hidup dalam himpitan kebangkrutan.
Oleh karenanya banyak dari da’i-da’I kita di masa lampau adalah seorang saudagar. Mereka berpindah-pindah dari Cina ke Eropa. Dari India ke Nusantara. Dari Afrika ke Timur tengah. Mereka cepat beradaptasi pada umat. Mereka juga cerdas dalam berdakwah.

Saat ini kita hidup di zaman modern. Banyak yang terlena termasuk para da’I nya. Da’i-da’I kita menjadi manja. Mereka lupa bagaiman...
Teguh Estro Jumat, 10 April 2015