Menu
Teguh Indonesia

Menyorot Krisis Pangan

Oleh: Teguh Estro*
(*Curhatan seorang Jomblo tentang kisah cintanya.)

          
 Pada April 1804, Seorang Thomas Robert Malthus akhirnya melepas masa lajangnya di usia 38 Tahun. Seorang Ekonom yang gemar berdebat dengan ayahnya itu mencetuskan teori yang kejam. Ia mengatakan; “Populasi cenderung bertambah menurut deret ukur ( 1, 2, 4, 8, 16,32,…..) sedangkan Produksi Makanan cenderung bertambah menurut deret hitung (1,2, 3, 4, 5…….)”. Lantas dimana letak kejamnya teori ini. Secara sederhana Pria yang menguasai lima bahasa ini hendak menyampaiakan bahwa populasi manusiabertambah jauh lebih cepat daripada pertambahan sumber makanan. Artinya umat manusia dalam ancaman serius soal krisis pangan. Namun teori ini ia sampaikan200 tahun lalu saat jumlah penduduk bumi masih berkisar 1 Milyar saja. Menurut Malthus, setiap usaha untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik justru akan selalu kontraproduktif. Sistem kesejahteraan pasti akan menambah populasi tanpa menambah produksi makanan, dan akibatnya menambah penderitaan orang banyak.

            Terlepas dari pro dan kontra atas ocehan Malthus tersebut. Setidaknya pernah ada orang yang serius mengingatkan bahwa salah satu masalah mendasar umat manusia adalah mandegnya pertambahan produksi pangan. Kian bertambah usia dunia kian bertambah manusia yang tertatih-tatih mencari sesuap makan. Ledakan populasi artinya ledakan jumlah mulut yang berebut pangan. Ada yang menjadi pedagang, pegawai bahkan pengangguran sekalipun adalah manusia yang sama-sama berjuang memenuhi isi perut.

Masihkah ingat kisah si Jomblo Mohamed Bouazizi dari Tunisia yang menyiram tubuhnya dengan minyak dan membakar diri. Seorang lulusan perguruan tinggi yang terpaksa menjadi tukang gerobak sayur karena keterbatasan lapangan kerja. Awalnya lelaki yang berumur 26 tahun itu dipukul oleh polisi Tunisia karena tak sanggup membayar uang rokok pada petugas yang kelewat mahal. Meninggalnya si tukang sayur yang belum sempat naik haji itu, menyulut kemarahan rakyat hingga terjungkalnya sang Diktator Ben Ali. Setidaknya dari cerita ini membuat kita belajar bahwa penguasa sekalipun jangan main-main untuk urusan perut. Namun jangan pula mudah terjebak pada persoalan-persoalan permukaan saja. Kepahaman yang matang peristiwa hulu dan hilirnya mebuat kita lebih jernih memilah masalah.

            Persoalan krisis pangan memiliki banyak faktor penyebabnya. Mulai dari kesalahan paradigma dalam konsumsi pangan, masalah berkurangnya lahan pertanian secara drastis, suramnya reforma agraria, infrastruktur yang menunjang pertanian masih sangat compang-camping, tercekiknya hidup para petani oleh harga kebutuhan sarana produksi tani yang melambung,munculnya pemerintah ‘psikopat’ yang terus-menerus melakukan impor pangan. Kesemuanya itu adalah benang kusut persoalan pangan yang ujung-ujungnya secara laten mendorong lahirnya kelaparan di kemudian hari. PBB merilis bahwa saat ini ada satu milyar penduduk dunia dalam kondisi kelaparan dan kurang gizi karena krisis pangan.

Paradigma Sesat dalam KonsumsiPangan
            Berkembangnya teknologi di bidang pangan dan pergeseran gaya hidup telah memicu terjadinya perubahan kebiasaan makan (food habits) masyarakat Indonesia. Makanan cepat saji (fast food) menjadi idola generasi saat ini. Ditinjau dari pandangan ilmu gizi perubahan perilaku tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya masalah gizi lebih, obesitas dan penyakit degeneratif.

          Beragam merk mie instan dan panganan instan lainnya telah massif beredar di masyarakat sampai perdesaan. Mie Instan yang berbahan baku gandum, cukup aneh sampai bisa digemari di Indonesia saat ini. Pasalnya Indonesia bukanlah negara penghasil gandum dan memang tidak cocok dilahan tropis kita. Pertanyaannya kenapa mie instan bisa popular sampai kedesa-desa? Padahal bahan baku nya berasal dari gandum impor yang dahulunya tidak dikenal oleh lidah orang Indonesia.

          Ini sebuah rekayasa yang berlangsung puluhan tahun. Lidah kita sudah terjajah dengan bahan baku impor. Bagaimana mungkin saat ini lidah orang Indonesia bisa menerima rasa dari gandum impor yang direbus itu. Dahulu lidah orang tua kita enjoy mengecap singkong, Sagu, Jagung, gadung, kentang dan aneka asupan lokal lainnya. Dan 20  tahun terakhir ini lidah kita sudah diserang oleh penjajahan mie instan. Tahukah dari mana impor gandum tersebut? Ya jelas, Australia, Kanada, Amerika Serikat, Rusia, Turki, SriLanka, Belgia dan Ukraina dan masih banyak lagi negara ladang gandum yang tertawa melihat kebodohan kita manusia Indonesia. Dalam catatan tahun 2012, kita melakukan impor gandum melebihi 6 Juta ton.

        Kedatangan gandum di Indonesia tidak langsung sukses begitu saja. Pihak pengusaha Mie Instan melakukan Beragam penelitian, kampanye yang konsisten dan sampai melalui pendekatan rasa makanan lokal. Selama 20 tahun mereka mengkampanyekan gandum agar ‘selidah’ dengan orang-orang pemakan singkong seperti kita. Baik kampanye di televisi terutama ataupun via media lainnya. Bahkan gandum sudah mulai menjajah jajanan lokal. Jajanan lokal yang dahulu menggunakan tepung beras,tepung sagu atau tepung lainnya. Kini jajanan lokal sudah menggunakan tepung gandum sebagai bahan baku. Begitupun mie instan juga sudah menawarkan rasas esuai selera makanan lokal. Mie Instan rasa rendang, Soto Lamongan atau makanan lokal lainnya.

            Kemudian manusia Indonesia juga mengalami kesesatan pandangan dalam mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Ada pihak-pihak yang memaksakan kehendak agar semua orang Indonesia menjadikan beras sebagai pangan utama. Padahal kita dahulu terbiasa makan singkong, sagu dan jagung. Sehingga ketergantung manusia Indonesia dengan beras sudah sangat kronis. Konsumsi beras masyarakat Indonesia setiap orangnya rata-rata sebesar139 kg per tahun atau sekitar 0,4 kg per hari. Ini angka yang cukup fantastis tertinggi di Asia bahkan mungkin dunia. Di Thailand dan Filiphina hanya 100 kgper tahun, Cina mengkonsumsi 90 Kg per tahun dan India hanya 74 kg per tahun untuk setiap satu orang warganya. Hal ini menandakan kebutuhan beras di Indonesia cukup besar. Meskipun gertak-gertak swasembada pangan terus didengung-dengungkan, tetapi tetap saja Impor beras terpaksa menjadi solusi.

            Konsumsi beras bisa dikurangi dengan melakukan sosialisasi konsumsi pangan yang benar. Bahwa menu makan tidak harus selalu dengan beras, bisa diganti dengan singkong, jagung atau umbi-umbian lainnya. Begitupun dalam mengkonsumsi nasi, masyarakat Indonesia sangat ‘beringas’. Satu piring penuh oleh nasi dan sisanya baru sayur dan lauk seadanya. Padahal seharusnya nasi secukupnya diimbangi dengan sayur, lauk dan cairan yang seimbang. Karena pandangan sesat orang Indonesia dalam konsumsi pangan adalah hanya bertujuan ‘asal kenyang’. Makan bukan bermaksud untuk menambah asupan gizi, namun dimaksud untuk menghilangkan rasa lapar semata. Inilah yang dimaksuddengan rice food traps atau perangkap pangan beras di Indonesia.

            Tradisi makanan lokal pun terancam. Sego jagung di Jawa tergeser oleh beras, Kebudayaan penduduk di Maluku untuk menanam tanaman sagu hilang berganti dengan beras. Sungguh kejam sekali monopoli beras saat ini. Beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan dimakan oleh sekitar 3 Milyar orang setiap hari. Sungguh menggiurkan bagi para mafia untuk bisnis distribusi beras di dunia ini. Sehingga ujung-ujungnya bisa mengorbankan pangan lokal perlahan-lahan.

Kebijakan-kebijakan ‘Psikopat’
           Kembali kita mengupas diskursus Malthusian yang sangat pesimis terhadap keberlangsungan hidup umat manusia. Banyak ekonom-ekonom lain yang ‘usil’ mengkritik teori Malthus ini. Semisal tentang populasi manusia dan hewan. Perempuan butuh waktu Sembilan bulan untuk melahirkan, dan jarang sekali melahirkan bayi kembar dua atau tiga. Sementaraitu banyak hewan –terutama sapi, ayam, babi, ikan, dan hewan lainnya yangdikonsumsi manusia- jauh lebih produktif. (Mark Skousen : 2005). Tentu sajad engan pendekatan-pendekatan lainnya, kita bisa saja membantah teori dari pendeta Anglikan tersebut. Hanya saja di era modern ini teori Malthus masih ‘agak nyambung’ bila digunakan untuk menganalisis krisis pangan di negara –negara berkembang bahkan negara miskin.

            Indonesia bisa jadi salah satu negara yang  masuk dalam kategori ‘ramalan’ Malthus. Sebab penduduk yang banyak namun mengidap krisis pangan yang serius. Hanya saja krisis ini bukan karena terbatasnya Sumber Pangan, tapi  karena tersumbatnya pengelolaan sumber-sumber produksi pangan tersebut. Indonesia memiliki peternak sapi namun dijegal oleh kebijakan impor yang mematikan pasar bagi  peternak okal. Kebijakan impor pemerintah sudah kelewatan, hingga membuat petani dan peternak kehilangan ‘selera’ untuk menggarap sawah dan ternaknya. Banyak orangtidak mau lagi bekerja sebagai petani di pedesaan. Mereka memilih pindah kekota, meski apapun pekerjaannya. Dikhawatirkan bila urbanisasi dari pedesaan keperkotaan bertambah terus, akan berdampak pula pada pengolahan lahan pertanian tidak produktif, tidak mampu mengimbangi pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong akan mengimpor berbagai komoditas pertanian yang sebelumnya surplus.

           Semisal perhatian pada kebijakan land reform/kebijakan lahan agraria. Saat ini lahan pertanian semakin memprihatinkan. Luas lahan pertanian kini tinggal 13 juta hektar saja. Salah satu penyebabnya semakin maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman, pertambangan, perkebunan dan kawasan industri. Rata – rata laju konversi lahan pertanian adalah  110.000 hektar per tahun. Hal ini cukup menyedihkan mengingat kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya 40.000 hektare per tahun. sehingga harus ada usaha radikal untuk mendorong lahirnya kebijakan lahan pangan yang berpihak pada petani. Kita mengutuk kebijakan akhir-akhir ini yang lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal dalam alih fungsi lahan pertanian.

           Permasalahan akutnya bukan terletak pada hilangnya lahan pertanian itu sendiri. Melainkan pada mentalitas manusianya, yang tidak bisa dilepaskan oleh pengaruhzaman. Konversi lahan pertanian manjadi lahan pemukiman, industri pabrik, atau lahan non produktif lainnya dilatarbelakangi oleh ‘mental agraris’ manusia yang dekaden dari hari ke hari. Mengapa terjadi? Jawabannya sederhana, zaman semakin modern, kapitalisme semakin mencengkram dan hidup bertani kurang bergengsi.

        Selanjutnya kebijakan infrastruktur pertanian, banyak sekali hambatan teknis petani-petani di pedesaan. Banyak faktor yang dapat disebutkan, misalnya tenaga kerja di sektor pedesaan masih lemah, sarana produksi (saprodi) sektor pertanian kurang, modal usaha lemah, kualitas hasil komoditas rendah, saluran pemasaran terbatas, manajemen usaha pertanian masih lemah, dan faktor-faktor eksternal lainnya, serta faktor ketataruangan (Rahardjo Adisasmita:2014). Untunglah di era Presiden Jokowi ini sedikit ada kepedulian untuk anggaran infrastruktur.  Meskipun masih tanda tanya bagaimana master plan nya ke depan.

       Infrastruktur dan kebutuhan pertanian kini dikuasai oleh segelintir pihak. Kekuatan monopolistik akan menjerat petaniuntuk membeli harga input pertanian dan alat mesin pertanian dengan harga yangtinggi karena petani sangat tergantung pada input dan sarana produksi tani dari penyuplai berotak bisnis.

      Kebijakan selanjutnya yang sangat gila adalah kebijakan impor. Pemberian izin impor beras oleh swasta dan privatisasi Bulog memberikan ruang besar bagi impor pangan. Inilah kontroversi dimulai. Pemerintah selalu tertarik mengadakan beras melalui impor yang secara nyata jauh lebih murah dan merugikan petani tetapi hemat fiskal. Pilihan impor beras atas nama ketahanan pangan cukup menyedihkan. Kenyataan yang kita hadapi saat ini adalah bahwa: kita juga telah mengimpor Singkong, Ubi Jalar,Kacang kedelai bahkan garam pun impor di negara penuh pantai seperti kita, astaghfirullah.

       Pada dunia industri, normalnya produsen adalah penentu harga. Tetapi tidak demikian dengan pertanian, petani sebagai produsen tidak mempunyai posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga -bahkan harga gabah sekalipun. Harga beras ditentukan oleh pasar yang tidak lain adalah para pedagang besar, importir kelas kakap dan pelaku Industri.
           
        Akhirnya ucapan mantan PerdanaMenteri India, JAWA-Harlal Nehrumenutup tulisan ini: “Everything can wait, except agriculture. Obviously, we must have food and enough food”  atau artinya adalah “Kabeh menungso arep mangan, Mangkane urusan panganan ojo mung inggah-inggih. Kudu nggenah Sesuk mangan opo…?”

Referensi Buku Bacaan:
1.   Dr. Ir. HermenMalik, M.Sc. Melepas Perangkap Impor Pangan. LP3ES, Jakarta : 2014.
2.   Mark Skousen, Teori-TeoriEkonomi Modern. Prenada, Jakarta : 2005.
3.   EffendiSiradjuddin, Nation in Trap. EsirInstitute bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Jakarta : 2012.
4.   BernhardLimbong, Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi. PustakaMargaretha, Jakarta: 2013.
5.   Prof. Dr.Rahardjo Adisasmita, M.Ec. Ekonomi Tata Ruang Wilayah. GrahaIlmu, Yogyakarta : 2014.

Oleh: Teguh Estro* (*Curhatan seorang Jomblo tentang kisah cintanya.)             Pada April 1804, Seorang Thomas Robert Malthus ...
Teguh Estro Senin, 25 Mei 2015
Teguh Indonesia

Paradigma Pembangunan Masyarakat


Oleh: Teguh Eko Sutrisno. S.Kom.I


            Pembangunan adalah kosakata lama yang tak kunjung usai untuk dituntaskan. Mulai dari cara pandang hingga teknis pelaksanaan, belum banyak perubahan paradigma. Semisal pembangunan yang selalu identik dengan pengembangan fisik atau sarana-sarana mercusuar. Setiap daerah berlomba-lomba memamerkan tembok-tembok raksasa sebagai icon keberhasilan. Orang-orang lebih bangga berfoto ria di jembatan Ampera tinimbang mengaplikasikan makna mendalam dari kata AMPERA, Amanat Penderitaan Rakyat. Kita berharap agar fenomena ini tidak serta-merta dibenarkan begitu saja. Perlu analisis mendalam, karena ini menyangkut keberlangsungan generasi mendatang.

            Dalam lirik lagu Indonesia Raya terdapat kalimat yang menarik. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Guru bangsa kita Wage Rudolf Supratman sang pengarang lagu kebangsaan ternyata lebih mendahulukan kalimat Bangunlah Jiwanya sebelum kalimat Bangunlah Badannya. Artinya pembenahan manusia adalah seutama-utamanya pembangunan. Kalimat Bangunlah Jiwanya sudah berusia 80 tahun lebih namun sampai saat ini belum memiliki khasiat yang ampuh. Ya, pendek kata pembangunan yang berporos pada kualitas manusia belum menjadi arus utama.
            Salah satu kata kunci dalam pembangunan manusia adalah mewujudkan masyarakat yang partisipatif. Mereka bukan melulu menjadi objek program pengentasan kemiskinan, namun perlahan-lahan menjadi subjek yang ikut serta menyelesaikan. Sehingga pekerjaan rumah buat kita adalah, bagaimana membentuk masyarakat menjadi insan partisipatif. Bagaimana menggeser habitus masyarakat yang apatis menjadi korps penggerak bahkan pemberdaya di lingkungannya. Namun sebelumnya terlebih dahulu kita kudu paham tentang penyebab apatisme masyarakat. 

Ketidakpedulian muncul karena tidak sampainya informasi tentang tujuan pembangunan. Pengetahuan tentang pemberdayaan masyarakat masih tersimpan rapi dalam seminar-seminar di hotel berbintang. Informasi tentang tujuan mulia dari pembangunan belum sampai kepada masyarakat dengan bahasa yang tepat. Seolah kajian terkait pembangunan manusia hanyalah artikulasi yang pantas dikeluarkan oleh profesor saja. Oleh karenanya dibutuhkan banyak orang yang mampu menjadi penerjemah idealita pembangunan kedalam bahasa lidah wong cilik. Andai saja kalangan akar rumput ini paham bahwa pembangunan itu untuk kepentingan anak-cucunya. Tentu mereka akan tergerak. Bukankah kita tidak ingin antrean raskin kian bertambah peminatnya setiap tahun bahkan berujung anarkis. Sampaikan kepada masyarakat, cukuplah kita saja yang hari ini berdesakan berebut raskin. Jangan sampai anak kita juga mengalami nasib  serupa. Atau generasi cucu-cucu kita juga mengenaskan hingga tewas saat antrean bantuan. Alangkah sedihnya bila semua generasi keluarga kita tujuh turunan dikenal sebagai generasi pengemis antrean bantuan. Tugas kita adalah memutus generasi daripada mental buruk tersebut.

Kalau saja masyarakat meyakini bahwa pembangunan manusia adalah kebutuhan mendesak bagi generasi mendatang. Tentu saja mudah bagi kita dalam membangun dan mengisi ruh pembangunan fisik yang kita bangga-banggakan selama ini. Sayangnya, masyarakat kita sudah terlanjur acuh tak acuh bahkan berbuntut pada pragmatisme. Oleh karenanya semua sektor perbaikan jangan pernah lelah untuk melakukan pendidikan sosial. Sehingga benarlah bila pemerintah meluncurkan banyak program yang berorientasi pada pembagusan manusia. Semisal Program Keluarga Harapan (PKH) yang mengangkat harapan keluarga sangat miskin menjadi mudah dalam mengakses kebutuhan hidup mendasar berupa layanan kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya terdapat pula program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang bertujuan mengangkat ekonomi masyarakat sekaligus menggeser perlahan paradigma masyarakat yang pragmatis tentang pentingnya jiwa entrepreneur. Akan tetapi program sebaik apapun juga tidak akan berbunyi apa-apa bila tidak diiringi kompetensi dan tanggung jawab sosial. Informasi program pemerintah hanya akan menjadi pipa penyalur fulus ke dompet orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akan muncul banyak volunteer ‘abal-abal’ yang asyik menjadi penadah dana bantuan sosial. Hal tersebut terjadi karena pemahaman informasi yang tidak diiringi taggung jawab sosial.


Budaya Organisasi Sebagai Solusi
            Penanaman sikap tanggung jawab sosial bersumber dari pola pembentukan karakter yang jitu. Sedangkan wadah terbaik untuk penanaman karakter tanggung jawab adalah melalui pendidikan organisasi. Bila seseorang sudah memiliki budaya organisasi yang baik, maka sedikit banyak akan mempengaruhi sikap tanggung jawabnya. Sejak SMP mereka sudah diajarkan bagaimana menjalankan organisasi OSIS dilanjutkan di tingkat SMA dan semasa kuliah. Bahkan organisasi di tingkat masyarakat semisal karang taruna dan sebagainya. Sehingga mendatang akan lahir generasi yang cerdas dan matang dalam mengelola dan membangun manusia. Di dalam organisasi ditanamkan sikap tanggung jawab dan melatih kecerdasan interpersonal. Mereka adalah orang yang tidak hanya berhenti pada melafalkan teori-teori sosial namun menjadikan teori tersebut hidup pada tempat yang tepat. Memang menjadi seorang organisatoris cukup melelahkan. Pengorbanan atas banyak materi dalam waktu yang tidak sebentar. Dan membutuhkan kesabaran dalam menghadapi keragaman manusia. Memang, menghidupkan budaya organisasi yang baik di era modern sungguh melelahkan. Sehingga bolehlah bila hal tersebut pantas dibayar mahal dengan keberhasilan pembangunan masyarakat.

Oleh: Teguh Eko Sutrisno. S.Kom.I             Pembangunan adalah kosakata lama yang tak kunjung usai untuk dituntaskan. Mulai dar...
Teguh Estro Minggu, 24 Mei 2015