Menu
Teguh Indonesia

Suku Dalam, Punya filosofi yang ‘Dalam’





Oleh : Teguh Estro
Ada pengalaman unik pada perjalanan pekan lalu. Ya, penulis berkesempatan mengunjungi Suku Kubu di Desa Karang Tanding, Kecamatan Penukal Utara Kabupaten PALI. Apa yang terlintas dalam benak kawan-kawan bila mendengar kata ‘Suku Kubu’ ? Gak pake baju, Kucel, bau keringat, pastinya yang jorok-jorok gitu lah. Oke, itu gak salah kok. Memang secara penampilan fisik mereka begitu. Hidup berpindah-pindah dan konon mereka memiliki kemampuan mistis secara turun-temurun.


Menemui Datuk Alex salah seorang Kepala Suku yang bisa berbahasa Indonesia. Pria beristeri empat itu bercerita bahwa mereka kerap hidup berpindah-pindah bukanlah atas kehendak sendiri. Mereka berpindah dari satu tempat menuju tempat lainnya berdasarkan ‘wangsit’ dari leluhur melalui mimpi. Cerita ini membuat penulis terhenyak dan berpikir lama. Bagaimana mungkin di tengah gempuran modernisasi saat ini, masih ada suatu komunitas yang menjadikan ‘wangsit’ sebagai pijakan utama kehidupannya. Bagi saya, ini sudah masuk dalam dimensi batin. Menggantungkan nasib bukan melalui kerja keras, kerja cerdas sebagaimana diucapkan motivator-motivator saat ini. Mereka hidup lebih mengasah pengalaman ‘laku batin’, daripada laku badan. Pasrah pada apa yang dipercaya sebagai ‘bisikan’ nenek moyang.


Selain berdiskusi dengan kepala Suku, penulis juga mengamati pola hidup mereka di dalam Hutan tersebut. Mereka mencari makan dari sungai. Seperti ikan, biawak dan labi-labi. Namun satu hal yang saya pelajari, yakni tidak serakah dalam mencari makan. Tidak ada terdengar ada Suku Kubu yang meracun, memasang listrik atau menyebar putas di sungai untuk mendapatkan ikan yang banyak. NO….! mereka hanya mengambil secukupnya untuk dimakan pada hari itu saja. Sebelum diambil ikannya, sungai terlebih dahulu dibersihkan dan dipangkas rumput-rumput tinggi. Agar sinar matahari bisa tembus ke sungai. Karena Sungai pun butuh dirawat, butuh diberi makan berupa zat hara agar ikan-ikan kecil mau hidup di dalamnya.

Oleh : Teguh Estro Ada pengalaman unik pada perjalanan pekan lalu. Ya, penulis berkesempatan mengunjungi Suku Kubu di Desa Karan...
Teguh Estro Jumat, 06 Juli 2018
Teguh Indonesia

Kreasi Masakan Isteri

oleh : Teguh Estro
Salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah punya isteri yang kreatif.
Banyak sekali kreasi masakannya. Makanan berat seperti Pindang, Makanan ringan ada tekwan, bolu, martabak dan masih banyak lagi.

Dulu waktu masih bujang, sering becandaan dengan teman-teman. "Kalau mau cari isteri, cari yang pinter masak". Sepertinya becandaan biasa, tapi sebenarnya tidak. Karena ternyata punya isteri yang pinter masak itu ada kebanggaan sendiri.

























oleh : Teguh Estro Salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah punya isteri yang kreatif. Banyak sekali kreasi masakannya. Makana...
Teguh Estro Kamis, 05 Juli 2018
Teguh Indonesia

Social Filter atas Modernitas




Oleh : Teguh Estro

Bulan lalu penulis mengikuti sosialisasi tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Acaranya diadakan di Kantor Bupati Penukal Abab Lematang ilir. Hadir di sana Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial RI, Bapak Dr. Harapan Lumban Gaol. 

Ada beberapa poin yang menarik dari penyampaian Bapak Dr. Harapan Lumban Gaol itu. Beliau melemparkan pertanyaan yang sangat menyentak di awal presentasinya. Apakah orang-orang terpencil atau suku dalam bisa dikategorikan sebagai orang miskin? Mereka yang tinggal di tengah hutan, justru tak pernah merasa miskin. Kebutuhan sehari-hari mereka tercukupi oleh alam. Bahkan tempat tinggal mereka luas di tengah hutan tanpa harus bayar uang sewa. Benar gak…? Ujar Bapak yang memiliki darah Medan itu bertanya pada Audience.

Selanjutnya pria yang pernah cukup lama belajar Social Protection di Jerman itu mengajak kita untuk memberdayakan para warga terpencil tanpa harus merusak identitasnya sebagai ‘Komunitas Adat”. Singkat kata beliau menyampaikan, tidak semua komponen  masyarakat terpencil harus disubtitusi dengan modernitas. 

Beliau menceritakan pengalaman ketika berdinas ke lapangan membersamai masyarakat suku Asmat di Papua. “kami pernah memberikan bantuan berupa pakaian, namun setelah dipakai keesokan harinya malah dikembalikan lagi. Dan para suku dalam kembali menggunakan pakaian semula yang terbuat dari dedaunan khas alam. Ternyata setelah diselidiki, justru pakaian yang mereka gunakan selama ini lebih memiliki nilai manfaat. Karena mampu mengusir nyamuk ketika malam hari. Sedangkan pakaian yang dibawa dari kota justru membuat tidur malam tak nyenyak."

Ayah dari dara cantik bernama Grace Trikana ini mengajak kita untuk mengambil pelajaran bahwa ada unsur kearifan lokal yang tak bisa begitu saja diganti dengan pernak-pernik modernitas. Itu baru pakaian, belum lagi terkait nilai-nilai lokal, hukum adat dan bahasa adat yang sangat melekat dengan kehidupan bermasyarakat. Lalu beliau menambahkan ada tiga hal yang mau tak mau harus kita perkenalkan pada masyarakat terpencil. Tiga hal itu yakni akses pendidikan, akses kesehatan dan akses administrasi sipil.

Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil tak boleh asal-asalan. Karena bila masyarakat terpencil sudah terbuka aksesnya pada modernitas, maka tak boleh setengah-setengah. Kita khawatir program pemberdayaan yang dilakukan terjebak hanya pada pendekatan kulit saja.

Bayangkan saja mereka selama ini sudah terbiasa dengan pola hidup yang sederhana. Akankah kita tega bila mereka 'dilepaskan' pada kejamnya kehidupan manusia modern. Mereka yang tadinya hidup di alam, makan berbiaya 'murah'. Intinya pemenuhan kebutuhan dasar yang nyaris gratis. Bisakah masyarakat seperti itu tiba-tiba disulap menjadi manusia modern yang harus belanja ke pasar, bayar listrik, bayar uang sekolah, belanja pulsa, biaya internet, ongkos rekreasi, tabungan buat rumah dan kebutuhan hidup lainnya.

Kita tak mau bila masyarakat terpencil yang sudah dipindahkan ke alam modern justru harus menabrak pakem hukum yang sudah berjalan. Misalkan mereka yang terbiasa berburu hewan liar di hutan kemudian harus berjuang hidup bertetangga dengan masyarakat yang menjadikan hewan sebagai peliharaan. 

Begitu juga bila masyarakat terpencil yang terbiasa hidup berpindah-pindah. Mereka dipaksa harus menetap agar memiliki identitas Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada regional pemerintah desa setempat. Tentu saja masih banyak perubahan paradigma yang akan mereka hadapi.

Mari kita pikirkan kembali. Kita harus sudah menyiapkan pentahapan juga kehati-hatian saat mencoba mengulurkan tangan lalu menarik mereka keluar dari alamnya. Bukan sekedar pemberdayaan secara fisik namun yang terpenting adalah membangun mental dan menancapkan pikiran nan luhur pada mereka.

Oleh : Teguh Estro Bulan lalu penulis mengikuti sosialisasi tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Acaranya diadaka...
Teguh Estro Jumat, 27 April 2018
Teguh Indonesia

Menjembatani Realita Sosial


Menjembatani Realita Sosial
Oleh: Teguh Estro

Setiap kita pastinya mengharapkan terwujudnya masyarakat yang maju. Menurut saya, masyarakat yang maju harus memiliki empat karakter. Mau belajar, norma sosial yang mengakar, beradaptasi pada zaman dan menyiapkan generasi mendatang. Karakter masyarakat tersebut adalah modal sosial yang paling pokok.

Apabila masyarakat memiliki karakter yang baik, tentu lebih berpotensi untuk berkembang. Mereka terkadang cukup diberikan stimulan, arahan dan pendekatan kekeluargaan. Sehingga memudahkan program-program sosial dilaksanakan. 

Semisal sebuah masyarakat mendapatkan program bantuan modal kelompok usaha. Dan sebuah kelompok usaha membutuhkan orang-orang yang mau bermusyawarah, skill berorganisasi, manajerial pencatatan keuangan dan pengalaman berdagang. Tentu saja semuanya itu akan mudah dijalankan bila masyarakat memiliki karakter yang kuat.

Pertanyaannya. Apakah dalam Realitas Sosial, masyarakat seperti itu ada? Jawabannya sangat sedikit sekali ditemukan masyarakat yang berkarakter baik. Sedangkan program-program pembangunan  justru kerap ditujukan pada masyarakat yang terbelakang, terpencil dan miskin. Maka, bisa dipastikan terdapat gap atau kesenjangan antara orientasi sebuah program sosial dengan realita sosial. Jelas ini sebuah masalah.

Penulis sering menjumpai bantuan kelompok usaha yang hanya bertahan tak lebih dari tiga bulan saja. Setelah itu usaha tersebut tak ada kelanjutannya lagi. Hilang begitu saja. Bahkan ada pula yang sudah mengundurkan diri sebelum bantuan disalurkan. Jelas sekali ada persoalan mental dan karakter yang belum sehat.

Kesenjangan antara idealnya Sebuah program dengan Realita yang penuh keterbatasan tentu harus ada jembatan penyelesaiannya. Para pekerja sosial, pendamping program sosial atau relawan sosial lainnya kudu siap menjembatani itu. Kenapa harus dijembatani? Karena idealita dan realita adalah dua alam yang berbeda. Perlu ada penerjemah antara bahasa program menjadi kosakata teknis lapangan. 

Dalam dunia program pembangunan Sosial, kita sering mengenal istilah program yang 'terencana', 'terintegrasi', 'berkelanjutan', 'tepat sasaran' dan bahasa langit lainnya. Namun saat di lapangan kita justru bertemu dengan kosakata yang berbeda. Misalnya, 'Wani Piro', 'uang rokok', 'Aku ikut aja'' dan kosakata lucu lainnya.

Sebagai seorang relawan sosial ada beberapa kemampuan dasar yang harus diperhatikan. Pertama, kemampuan mendefinisikan program. Kita harus paham tujuan akhir dari sebuah program sosial. Selanjutnya untuk mencapai tujuan tersebut, bagaimana caranya? Bukan hanya satu cara saja. Namun seribu satu cara untuk menggapai tujuan yang dimaksud. Disinilah kita dituntut agar menjadi orang yang mau terus belajar.

Kedua, Kemampuan beradaptasi. Dalam hal ini kita harus cepat menyesuaikan diri terhadap kondisi sosial di masyarakat. Baik penyesuaian secara tingkah laku, bahasa, maupun gaya berpikir mereka. Pribadi yang mudah bergaul, ramah bahkan humoris biasanya lebih sering diterima masyarakat. Apabila masyarakat sudah merasa dekat, maka dari kedekatan itulah kita bisa mencoba berinteraksi dengan mereka.

Teguh Indonesia

Menjembatani Realita Sosial Oleh: Teguh Estro Setiap kita pastinya mengharapkan terwujudnya masyarakat yang maju. Menurut saya, mas...
Teguh Estro Kamis, 05 April 2018
Teguh Indonesia

Ilmu Sosial Harus Berkembang



Oleh : Teguh Estro

Sodara-sodara  perubahan itu pasti. Terutama perubahan zaman. Dan saat ini kita sedang hidup di zaman teknologi. Begitu banyak perubahan signifikan yang terjadi. Diantaranya Perubahan tren ekonomi, gaya politik, komunikasi sosial sampai pada perubahan selera humor. Ditambah lagi perubahan itu sangat bersinggungan dengan pola hidup Manusia yang 'serba Internet'. Tentu saja dengan adanya internet membuat perubahan zaman kian cepat. Lalu pertanyaannya, bila perubahan zaman melaju cepat apa masalahnya?

Sebelum membahas terlalu jauh sebaiknya Perlu kita sadari, Sebuah perubahan biasanya datang beserta konsekuensinya. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi sejak adanya revolusi industri membuat masyarakat berubah secara drastis terutama dalam perubahan proses produksi. Awalnya industri yang mengandalkan tenaga manusia lalu berpindah pada mesin.

Contoh lain, Revolusi Perancis yang menghancurkan kekuasaan raja Louis di Perancis. Kamudian kekuasaan diserahkan pada rakyat dengan pembagian kekuasaan menjadi tiga yakni Eksekutif, legislatif dan yudikatif. Revolusi Perancis berdampak besar pada berubahnya politik dunia. Karena revolusi Perancis memancing negara-negara lain untuk menggulingkan kerajaan dan mendirikan 'Nation State' (Negara Bangsa) seperti Perancis.

Sebuah perubahan hadir bersama 'efek samping' nya. Secara sosial, efek samping yang dimaksud adalah perubahan perilaku dan kebiasaan baru (New Attitude and New Behavior). Nah para peneliti selama ini terus mencoba menganalisis setiap gejala, problematika dan  fenomena  yang muncul untuk membuat pola panduan bagi masyarakat. Permasalahannya adalah bagaimana bila perubahan yang terjadi begitu cepat. Belum sempat para peneliti melakukan analisis yang tepat  sudah muncul perubahan baru. 

Para analis sosial berupaya menekan permasalahan sosial yang bisa berujung pada penyakit sosial. Imbas dari perubahan zaman adalah munculnya penyakit sosial yang baru juga. Selama ini kita kerap mengklasifikasikan masalah sosial dalam kategori kemiskinan, kecacatan, keterpencilan, keterlantaran, ketidakberdayaan dan korban bencana. Sedangkan di Zaman teknologi saat ini sudah terjadi sesedikitnya tiga Perubahan yakni ; Era industri, era globalisasi dan era Digital.

Pada era digital ini kita temukan penyakit-penyakit sosial baru. Mulai dari penyakit “Candu-Gadget”, Bullying Social Media, Prostitusi Online, Penculikan anak via Facebook, Cybercrime pelaku pembobolan rekening Bank, penjualan anak via online, lalu akhir-akhir ini muncul penyakit baru  yakni “berita Hoax” dan masih banyak lagi. Tentu saja untuk mengatasi penyakit-penyakit sosial ini dibutuhkan kejelian para analis sosial. Seorang analis sosial harus memahami bagaimana cara kerja teknologi digital-internet yang mampu menjadi katalisator munculnya penyakit sosial.

Sebagaimana kita saksikan, pemerintah masih terkesan konvensional dalam mengatasi gejala-gejala tersebut. Pemerintah hanya mampu melakukan blokir terhadap situs, laman atau akun sosial media yang dianggap sebagai sarang kejahatan. Namun yang tidak disadari adalah pemblokiran hanya menyebabkan “Gugur Satu Tumbuh Seribu”. 

Ada gejala di bagian hulu yang tak terjamah oleh kita. Yakni persoalan tanggung jawab dalam memanfaatkan teknologi digital. Sedangkan sebuah tanggung jawab adalah efek dari kepahaman terhadap Norma. Dan seharusnya ilmu sosial  memperkaya wawasan norma sosial dengan menjamah norma sosial di era digital. Menurut saya harus ada upaya meneliti habitus para peselancar dunia Maya, para blogger, para netizen, masyarakat IT, jual beli online, buzzer politik sampai pada paguyuban yang berinteraksi secara online. Dengan mempelajari habitus mereka, kita bisa menemukan pola interaksi sosialnya. 

Selanjutnya adalah memisahkan mana pola interaksi sosial yang positif dan mana pola interaksi yang terindikasi menyimpang. Selanjutnya para peneliti sosial dituntut untuk menemukan resolusi yang tepat selain penyelesaian secara pidana. Yakni dengan merubah pendidikan pengetahuan sosial yang sesuai dengan zamannya.

Oleh : Teguh Estro Sodara-sodara  perubahan itu pasti. Terutama perubahan zaman. Dan saat ini kita sedang hidup di zaman teknologi...
Teguh Estro Minggu, 11 Maret 2018
Teguh Indonesia

Indonesia Serba Darurat


Oleh : Teguh Estro

Bagi kawan-kawan yang tengah menggeluti Indonesia's Studies pasti kerap mendengar istilah 'darurat' di negeri ini.  Misalnya  Indonesia Darurat Narkoba, Darurat Impor, Darurat korupsi, Darurat Kesenjangan ekonomi, kalau akhir-akhir ini muncul juga Darurat Pelakor (Perebut Laki orang) dan masih banyak lagi. 

Kita gak mau berasumsi yang aneh-aneh soal multi darurat di Republik ini. Namun setidaknya fenomena ini mengirim sinyal pada kita bahwa masih banyak hal yang harus diperbaiki.

Kawan-kawanku, sungguh aneh bila di tengah negeri yang multi darurat ini kita masih bingung untuk mengambil peran. Sesekali cobalah merenung tujuh hari tujuh malam, gunakan mata batin dan kejernihan pikiran. Perhatikan fenomena, gejala atau problem sosial di sekitar kita lalu kita belajar dan berusaha untuk menemukan satu saja solusi sederhana dan digerakkan secara konsisten. Contohnya, jika elu resah sama narkoba di sekitarmu yang sudah merusak anak-anak sekolah. So, hajar aja gaes. Bilang sama tu Narkoba, “jangan cari gara-gara di kampung gue”. Trus caranya gimana? 

Langkah pertama jadilah pendengar yang baik, temukan informasi dari berbagai pihak. Kita gak harus mendadak jadi detektif juga. Ya mungkin cukup dengan 'nguping' dan banyak ikut pengajian emak-emak jaman now. Langkah kedua adalah how to use data. Jadi gini, informasi yang kita dapat adalah senjata yang tak main-main. Sekarang tinggal bagaimana menggunakan data tersebut. Kita bisa sekedar menyebarkan informasi itu agar menjadi bola salju yang menggelinding suatu saat nanti. Bisa juga kita gabungkan informasi yang bervariasi agar menjadi cerita yang mampu menggerakkan orang lain. Misalkan, ada informasi jumlah pengedar narkoba ada sepuluh orang, lalu ada juga informasi jumlah bocah-bocah ingusan yang sudah jadi korban, ditambah juga ada orang yang tidak harmonis rumah tangganya sebab narkoba. Alhasil kita bisa bercerita begini gaes 

“Eh tahu gak, di ujung kampung sana ada pengedar Narkoba lho. Mereka jualannya sambil nawarin jajanan anak kecil.”

(“Ah yang bener”)

“ iya, dan parahnya lagi sekarang anak-anak sekolah yang jadi langganan mereka”

(“Anak sekolah? Siapa aja...?”)

“itu tuh, si Ucup anak mang Benu udah bolak-balik rumah sakit. Trus si Bambang anaknya Bik Hamidah lebih parah, dia ngamuk-ngamuk gak karuan. Belum lagi kang Ratno juga sudah pecandu berat, makanya dia ribut terus sama istrinya”

(“Ih, ngeri. Kok pak RT gak bertindak sih”)

“ nah itu dia....”
Cerita bisa dilanjutkan sendiri hehehe............. (The end)

Gimana kawan-kawan tak sesulit yang dibayangkan bukan? Ya tentu saja tidak juga dianggap hal yang mudah. Cerita itu bisa kita ubah dengan informasi perjudian, lokasi minuman keras dan lain sebagainya. Meskipun kita bukanlah sosok yang mampu mengubah secara massif, namun setidaknya ada peran kita di dalamnya. 

Coba direnungkan, jangan-jangan kondisi multi darurat yang kita bahas ini adalah efek domino dari banyaknya orang-orang yang diam tak mau merubah keadaan. Seperti sebuah ungkapan. "Keburukan bisa eksis bukan karena hebatnya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik..."

Oleh : Teguh Estro Bagi kawan-kawan yang tengah menggeluti Indonesia's Studies pasti kerap mendengar istilah 'darurat' ...
Teguh Estro Selasa, 06 Maret 2018
Teguh Indonesia

Miskin Harta vs Miskin Mental


Oke sob, sebelum kita jauh membahas terkait dunia sosial. Saya mau sharing tentang hal yang mendasar dulu. Apa itu? yah itu dia, problem kemiskinan. Saya yakin kalian pasti pada tertawa. Ya iya lah, sudah bérapa banyak seminar diadakan untuk membahas kemiskinan. Hehehe mungkin kita salah satunya yang sering koleksi kartu peserta Seminar Kemiskinan. Toh, penyakit kemiskinan tak kunjung menemukan penawarnya.

Banyak yang bilang kemiskinan inilah ‘biang kerok’. Atau bahasa kerennya, kemiskinan memunculkan efek domino bagi masalah-masalah sosial lainnya. Perhatikan saja, setiap ada masalah sosial ujung-ujungnya dikaitkan dengan ‘Faktor Ekonomi’. Tingginya angka kriminalitas, katanya faktor ekonomi. Maraknya aksi KDRT dalam keluarga, juga dikarenakan faktor ekonomi. Bahkan meningkatnya jumlah para jomblo bisa jadi lantaran Faktor Ekonomi sob he he he. So, tak heran bila pemerintah kerap menjadikan angka kemiskinan sebagai indikator maju mundurnya kinerja. Namun, kita tak akan bicara soal angka-angka itu, saya janji deh. Yah karena kemiskinan itu sebuah kondisi yang multi dimensi. Lebih dari sekedar angka, dalam kemiskinan itu ada bahasan tentang penyebab kemiskinan, pengaruh kemiskinan, lingkungan yang memiskinkan dan yang lebih ngeri lagi adalah kemiskinan mental.

Duh gaes, bahasannya sudah mulai serius nih. Okelah kita lanjut ya. Coba deh kita buat pertanyaan yang lebih kritis lagi. Seandainya orang-orang yang bermasalah dengan faktor ekonomi ini diberi sumbangan uang, anggap saja masing-masing 20 juta. So, apakah masalah akan selesai? (tolong tanda tanya-nya digedein dong), Jawab...! oke kalau kita mau sok bijak, mungkin akan muncul jawaban begini : “ya, tergantung orangnya dong” atau gini nih: “ya kalau dikasih uang 20 juta, ada yang bisa menyelesaikan masalah, ada juga yang tambah bingung”.

Kalau kita mau jujur, banyak masyarakat miskin yang bertambah rusak ketika mereka diberi bantuan cash money. Yah, ini bukan sekedar asal omong doang. Setidaknya penulis pernah melihat sendiri. Ada yang diberi bantuan modal, malah ribut dengan keluarganya. Ada lagi mereka yang mendapat bantuan, tapi uangnya dibagi-bagikan pada orang lain. Ada juga yang sampai terjerat hutang dan masih banyak lagi masalah lainnya. Bukan menjadi solusi, justru menjadi penyebab masalah baru.

Saya coba beri gambaran sederhananya. Ada sesuatu yang menyebabkan kemiskinan dan kemiskinan pula yang menyebabkan sesuatu itu. Nah pertanyaannya, apa sesuatu yang dimaksud itu? Ini pertanyaanya ngajak berantem ya. Oke deh, jadi gini gaes. Ada beberapa karakter/mental buruk yang membuat orang menjadi miskin. Dan Kondisi miskin pula yang terkadang menyebabkan orang memiliki mental buruk. Penulis sendiri sering berdiskusi dengan kawan-kawan yang menjadi pendamping program PKH, Pendamping PNPM, pendamping Bantuan Kelompok Usaha Bersama. Intinya ada sebuah benang merah dari faktor ekonomi yang melilit masyarakat kita. Yakni, faktor mental masyarakat.

Mental masyarakat ini bisa divisualisasikan dengan kondisi ibu-ibu yang antri bantuan bagi masyarakat miskin sambil membawa kalung emas dan bercincin permata. Nggak malu tuh sama kalung dan cincin. Atau seorang pemuda tampan gagah perkasa yang berebut bantuan raskin bersama kakek tua. Haduh, pusing kan. Padahal kejadian itu adalah kondisi nyata di sekitar kita.

Nah, sekarang bagi siapapun dari kita yang mau ambil bagian menjadi solusi maka berpikirlah untuk memperbaiki mental masyarakat kita. Mungkin di antara kita ada yang berperan sebagai relawan sosial, aktivis sosial, pendamping program sosial, pekerja sosial atau apalah yang ujungnya sial, sial sial.... ups. Ayolah, kalau tidak ada yang mengambil peran ini, gawat sob. Bukan melulu membantu dengan membagi-bagi fulus. Tapi buatlah program yang membuat masyarakat kita memiliki skill dan kompetensi untuk berubah. Sederhana saja, semacam skill manajemen administrasi, kemampuan berorganisasi, tidak gaptek, akrab dengan bacaan yang membangun, atau membuat lingkaran diskusi entrepreneur.

“Terus caranya gimana...?” (tiba-tiba ada yang bertanya dengan berteriak)
“Saya di kampung ini bukan siapa-siapa, masih dianggap anak ingusan” ujarnya.
“Mereka tak akan mau mendengar” tambahnya sambil tercekat-cekat.
“Tidak, tidak Roma. Oh Ani” loh loh kok?

Alamak, kok jadi ribet gini ya urusannya. Okelah kalau kalian menjadi pejabat mungkin agak berbeda ceritanya. Dimana seorang pejabat jika minta dibuatkan kopi, masyarakat malah menyuguhkan kopi tambah gorengan dan sebungkus rokok mungkin. Intinya bila posisi sebagai pejabat ya pasti dipandang masyarakat lah. Sukur-sukur, kalau ada pejabat yang mau mengambil peran mengajak rakyatnya berubah. Dengan membuat program-program yang mendidik mental dan membuka akses peluang kemajuan bagi masyarakatnya. Tapi yang jadi persoalan, pejabat yang begini gak banyak bro.


Perubahan mental masyarakat tak harus menunggu ente jadi pejabat dulu. Bahkan bisa dimulai dari perkara-perkara yang sederhana. Misalnya sambil nunggu peserta arisan kumpul di kantor desa. Daripada ngobrol gak jelas tentang rumah tangga orang, mendingan diajak ngobrol tentang kampung sebelah yang punya program “Kampung berbasis IT” atau kalian yang habis baca di Internet tentang “Desa wisata sungai”. Berarti kita kudu banyak baca gaes. Emang mereka mau dengar? Entar dicuekin gimana? Setidaknya kita sudah mencoba. Kalau itu tak berhasil, pake senjata lain. Seorang pelopor perubahan masyarakat tak boleh kehabisan ide.

Oke sob, sebelum kita jauh membahas terkait dunia sosial. Saya mau sharing tentang hal yang mendasar dulu. Apa itu? yah itu dia, proble...
Teguh Estro Jumat, 16 Februari 2018