Menu
Teguh Indonesia

Social Filter atas Modernitas




Oleh : Teguh Estro

Bulan lalu penulis mengikuti sosialisasi tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Acaranya diadakan di Kantor Bupati Penukal Abab Lematang ilir. Hadir di sana Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial RI, Bapak Dr. Harapan Lumban Gaol. 

Ada beberapa poin yang menarik dari penyampaian Bapak Dr. Harapan Lumban Gaol itu. Beliau melemparkan pertanyaan yang sangat menyentak di awal presentasinya. Apakah orang-orang terpencil atau suku dalam bisa dikategorikan sebagai orang miskin? Mereka yang tinggal di tengah hutan, justru tak pernah merasa miskin. Kebutuhan sehari-hari mereka tercukupi oleh alam. Bahkan tempat tinggal mereka luas di tengah hutan tanpa harus bayar uang sewa. Benar gak…? Ujar Bapak yang memiliki darah Medan itu bertanya pada Audience.

Selanjutnya pria yang pernah cukup lama belajar Social Protection di Jerman itu mengajak kita untuk memberdayakan para warga terpencil tanpa harus merusak identitasnya sebagai ‘Komunitas Adat”. Singkat kata beliau menyampaikan, tidak semua komponen  masyarakat terpencil harus disubtitusi dengan modernitas. 

Beliau menceritakan pengalaman ketika berdinas ke lapangan membersamai masyarakat suku Asmat di Papua. “kami pernah memberikan bantuan berupa pakaian, namun setelah dipakai keesokan harinya malah dikembalikan lagi. Dan para suku dalam kembali menggunakan pakaian semula yang terbuat dari dedaunan khas alam. Ternyata setelah diselidiki, justru pakaian yang mereka gunakan selama ini lebih memiliki nilai manfaat. Karena mampu mengusir nyamuk ketika malam hari. Sedangkan pakaian yang dibawa dari kota justru membuat tidur malam tak nyenyak."

Ayah dari dara cantik bernama Grace Trikana ini mengajak kita untuk mengambil pelajaran bahwa ada unsur kearifan lokal yang tak bisa begitu saja diganti dengan pernak-pernik modernitas. Itu baru pakaian, belum lagi terkait nilai-nilai lokal, hukum adat dan bahasa adat yang sangat melekat dengan kehidupan bermasyarakat. Lalu beliau menambahkan ada tiga hal yang mau tak mau harus kita perkenalkan pada masyarakat terpencil. Tiga hal itu yakni akses pendidikan, akses kesehatan dan akses administrasi sipil.

Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil tak boleh asal-asalan. Karena bila masyarakat terpencil sudah terbuka aksesnya pada modernitas, maka tak boleh setengah-setengah. Kita khawatir program pemberdayaan yang dilakukan terjebak hanya pada pendekatan kulit saja.

Bayangkan saja mereka selama ini sudah terbiasa dengan pola hidup yang sederhana. Akankah kita tega bila mereka 'dilepaskan' pada kejamnya kehidupan manusia modern. Mereka yang tadinya hidup di alam, makan berbiaya 'murah'. Intinya pemenuhan kebutuhan dasar yang nyaris gratis. Bisakah masyarakat seperti itu tiba-tiba disulap menjadi manusia modern yang harus belanja ke pasar, bayar listrik, bayar uang sekolah, belanja pulsa, biaya internet, ongkos rekreasi, tabungan buat rumah dan kebutuhan hidup lainnya.

Kita tak mau bila masyarakat terpencil yang sudah dipindahkan ke alam modern justru harus menabrak pakem hukum yang sudah berjalan. Misalkan mereka yang terbiasa berburu hewan liar di hutan kemudian harus berjuang hidup bertetangga dengan masyarakat yang menjadikan hewan sebagai peliharaan. 

Begitu juga bila masyarakat terpencil yang terbiasa hidup berpindah-pindah. Mereka dipaksa harus menetap agar memiliki identitas Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada regional pemerintah desa setempat. Tentu saja masih banyak perubahan paradigma yang akan mereka hadapi.

Mari kita pikirkan kembali. Kita harus sudah menyiapkan pentahapan juga kehati-hatian saat mencoba mengulurkan tangan lalu menarik mereka keluar dari alamnya. Bukan sekedar pemberdayaan secara fisik namun yang terpenting adalah membangun mental dan menancapkan pikiran nan luhur pada mereka.

Oleh : Teguh Estro Bulan lalu penulis mengikuti sosialisasi tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Acaranya diadaka...
Teguh Estro Jumat, 27 April 2018
Teguh Indonesia

Menjembatani Realita Sosial


Menjembatani Realita Sosial
Oleh: Teguh Estro

Setiap kita pastinya mengharapkan terwujudnya masyarakat yang maju. Menurut saya, masyarakat yang maju harus memiliki empat karakter. Mau belajar, norma sosial yang mengakar, beradaptasi pada zaman dan menyiapkan generasi mendatang. Karakter masyarakat tersebut adalah modal sosial yang paling pokok.

Apabila masyarakat memiliki karakter yang baik, tentu lebih berpotensi untuk berkembang. Mereka terkadang cukup diberikan stimulan, arahan dan pendekatan kekeluargaan. Sehingga memudahkan program-program sosial dilaksanakan. 

Semisal sebuah masyarakat mendapatkan program bantuan modal kelompok usaha. Dan sebuah kelompok usaha membutuhkan orang-orang yang mau bermusyawarah, skill berorganisasi, manajerial pencatatan keuangan dan pengalaman berdagang. Tentu saja semuanya itu akan mudah dijalankan bila masyarakat memiliki karakter yang kuat.

Pertanyaannya. Apakah dalam Realitas Sosial, masyarakat seperti itu ada? Jawabannya sangat sedikit sekali ditemukan masyarakat yang berkarakter baik. Sedangkan program-program pembangunan  justru kerap ditujukan pada masyarakat yang terbelakang, terpencil dan miskin. Maka, bisa dipastikan terdapat gap atau kesenjangan antara orientasi sebuah program sosial dengan realita sosial. Jelas ini sebuah masalah.

Penulis sering menjumpai bantuan kelompok usaha yang hanya bertahan tak lebih dari tiga bulan saja. Setelah itu usaha tersebut tak ada kelanjutannya lagi. Hilang begitu saja. Bahkan ada pula yang sudah mengundurkan diri sebelum bantuan disalurkan. Jelas sekali ada persoalan mental dan karakter yang belum sehat.

Kesenjangan antara idealnya Sebuah program dengan Realita yang penuh keterbatasan tentu harus ada jembatan penyelesaiannya. Para pekerja sosial, pendamping program sosial atau relawan sosial lainnya kudu siap menjembatani itu. Kenapa harus dijembatani? Karena idealita dan realita adalah dua alam yang berbeda. Perlu ada penerjemah antara bahasa program menjadi kosakata teknis lapangan. 

Dalam dunia program pembangunan Sosial, kita sering mengenal istilah program yang 'terencana', 'terintegrasi', 'berkelanjutan', 'tepat sasaran' dan bahasa langit lainnya. Namun saat di lapangan kita justru bertemu dengan kosakata yang berbeda. Misalnya, 'Wani Piro', 'uang rokok', 'Aku ikut aja'' dan kosakata lucu lainnya.

Sebagai seorang relawan sosial ada beberapa kemampuan dasar yang harus diperhatikan. Pertama, kemampuan mendefinisikan program. Kita harus paham tujuan akhir dari sebuah program sosial. Selanjutnya untuk mencapai tujuan tersebut, bagaimana caranya? Bukan hanya satu cara saja. Namun seribu satu cara untuk menggapai tujuan yang dimaksud. Disinilah kita dituntut agar menjadi orang yang mau terus belajar.

Kedua, Kemampuan beradaptasi. Dalam hal ini kita harus cepat menyesuaikan diri terhadap kondisi sosial di masyarakat. Baik penyesuaian secara tingkah laku, bahasa, maupun gaya berpikir mereka. Pribadi yang mudah bergaul, ramah bahkan humoris biasanya lebih sering diterima masyarakat. Apabila masyarakat sudah merasa dekat, maka dari kedekatan itulah kita bisa mencoba berinteraksi dengan mereka.

Teguh Indonesia

Menjembatani Realita Sosial Oleh: Teguh Estro Setiap kita pastinya mengharapkan terwujudnya masyarakat yang maju. Menurut saya, mas...
Teguh Estro Kamis, 05 April 2018