Masjid Baiturrahman |
Oleh: Teguh Estro
Salah satu kota di nusantara ini yang memiliki tempat khusus di hati saya adalah Aceh. Salah satu alasannya karena di bumi kelahiran Tjoet Njak Dien ini diberlakukan otonomi khusus pelaksanaan peraturan daerah syari’at Islam. Tentu saja pemberlakuan perda syari’at itu bukanlah tanpa hambatan. Banyak pihak yang menyangsikan bahkan ‘mengolok-olok’ aturan tersebut. Akan tetapi secara pribadi saya mendukung perda syari’at tersebut. Kendatipun tidak berjalan secara maksimal. Tentu saja hal ini jauh lebih baik daripada tidak dilaksanakan sama sekali.
Provinsi yang dahulu bernama Nangroe Aceh Darussalam ini memang identik dengan Islam. Akan tetapi sebenarnya lebih kurang 500 tahun yang lalu sudah ada sosok yang mewacanakan ide syari’at Islam di bumi Nangroe ini. Beliau adalah Sultan Salahuddin Mansyur Syah ayahanda dari Sultan Ali Mughayat Syah sang pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada masa Sultan Salahuddin Mansyur Syah beliau memproklamirkan bahwasannya Aceh adalah Islam. Ia berjuang menyatukan kerajaan-kerajaan di sekitar Aceh dalam satu kekuasaan yang utuh. Pada masa itu terdapat pelbagai kesultanan yang sudah berdiri sendiri. Yakni kerajaan Perlak, kerajaan Pidie, Kerajaan Samodra Pasai (Lhokseumawe, Bireun dan Aceh Utara sekarang), Kerajaan Aru (Sumatera Utara) dan Kerajaan Malaka (Malaysia). Akan tetapi dikarenakan usia beliau yang kian senja, tugas menyatukan kerajaan-kerajaan itu beralih kepada anaknya. Dialah Sultan Ali Mughayat Syah yang berhasil menyatukan semuanya menjadi Kerajaan Aceh Darussalam. Dan tentu saja kerajaan itu memiliki satu agama resmi, satu budaya dan satu hukum pemerintahan yakni Islam. Selain itu terdapat empat kerajaan hindu yang juga akhirnya masuk Islam tanpa paksaan sedikitpun. Mereka tertarik karena melihat cara umat Islam yang berperang dengan sangat manusiawi. Umat Islam memperlakukan tawanan perang ibarat tamu terhormat.
Kemasyhuran Sultan Ali Mughayat Syah dikarenakan beliau memiliki kapasitas kepemimpinan yang sangat mengagumkan. Beliau memang ahli siasat yang ulung, salah satunya kemampuan beliau melakukan negosiasi terhadap kerajaan-kerajaan di ujung pulau Sumatera itu menjadi satu kepentingan. Bayangan saja kita kerap memuji-muji pemimpin di zaman sekarang yang berhasil mendamaikan satu bagian kecil Aceh yakni kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bahkan sosok yang ‘katanya’ berhasil mendamaikan tersebut sudah mendapatkan penghargaan disana-sini baik itu Doctor Honoris Causa ataupun Nobel perdamaian. Mari kita bandingkan dengan hal menakjubkan yang dilakukan Sultan Ali Mughayat Syah. Beliau lebih dari sekedar mendamaikan, akan tetapi menyatukan dan melunakkan ‘ego’ kerajaan dari ujung Banda Aceh, Sebagian Sumatera Utara sampai kepada kerajaan Malaka di negeri jiran.
Selain Sultan Ali Mughayat Syah, terdapat sosok pemimpin lainnya yang tak kalah menakjubkan. Beliaulah Sultan Iskandar Muda yang dinobatkan menjadi raja dalam usia yang cukup muda, yakni 14 tahun. Akan tetapi di usia yang sangat belia itu, ia sanggup memenuhi 28 syarat menjadi seorang raja.
Dalam Qanun Syarah al’Ashi yang dibuat oleh pemerintahan kerajaan Aceh dijelaskan bahwa syarat menjadi raja di kerajaan Aceh Darussalam harus menguasai perbandingan Fiqh 40 Mazhab. Saya ulangi 40 Mazhab fiqh, bukan 4 Mazhab ya. Itu syarat utama dan diikuti syarat-syarat lainnya. Salah satu syarat lainnya yang saya ingat adalah seorang raja harus bisa menjinakkan harimau dan buaya. Sehingga tidak heran bila pada masa beliau, Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya. Bahkan beliau sudah menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan Turki Utsmani dan hubungan dagang dengan Kerajaan Britania Raya.
Akan tetapi berabad-abad kemudian kita menyambangi tempat yang sama sudah dalam kondisi yang berbeda. Dahulu terdapat sosok-sosok yang sangat ksatria seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan Daud Ber’euh. Sepeninggal mereka, Aceh seperti kehilangan induk dalam membenahi dirinya. Perpecahan antar rakyat Aceh kian tersohor seantero nusantara. Bahkan kontroversi adanya Wali Nangroe menjadi perdebatan banyak pihak. Sosok yang diharapkan menjadi tetua adat Aceh masih belum mampu menjadi penyatu umat. Bahkan dalam satu bulan Ramadhan lalu, tak satu kalipun Wali Nangroe muncul di Masjid Raya Baiturrahman atau masjid besar lainnya. Setidaknya memberikan petuah kepada rakyat Aceh.
Akhir kata, tiada kata selain doa agar bumi Aceh bisa kembali bangkit dari kondisi akhir-akhir ini. Semoga Allah memberkahi semua rakyat Aceh dimanapun kalian berada.
Salah satu kota di nusantara ini yang memiliki tempat khusus di hati saya adalah Aceh. Salah satu alasannya karena di bumi kelahiran Tjoet Njak Dien ini diberlakukan otonomi khusus pelaksanaan peraturan daerah syari’at Islam. Tentu saja pemberlakuan perda syari’at itu bukanlah tanpa hambatan. Banyak pihak yang menyangsikan bahkan ‘mengolok-olok’ aturan tersebut. Akan tetapi secara pribadi saya mendukung perda syari’at tersebut. Kendatipun tidak berjalan secara maksimal. Tentu saja hal ini jauh lebih baik daripada tidak dilaksanakan sama sekali.
Provinsi yang dahulu bernama Nangroe Aceh Darussalam ini memang identik dengan Islam. Akan tetapi sebenarnya lebih kurang 500 tahun yang lalu sudah ada sosok yang mewacanakan ide syari’at Islam di bumi Nangroe ini. Beliau adalah Sultan Salahuddin Mansyur Syah ayahanda dari Sultan Ali Mughayat Syah sang pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada masa Sultan Salahuddin Mansyur Syah beliau memproklamirkan bahwasannya Aceh adalah Islam. Ia berjuang menyatukan kerajaan-kerajaan di sekitar Aceh dalam satu kekuasaan yang utuh. Pada masa itu terdapat pelbagai kesultanan yang sudah berdiri sendiri. Yakni kerajaan Perlak, kerajaan Pidie, Kerajaan Samodra Pasai (Lhokseumawe, Bireun dan Aceh Utara sekarang), Kerajaan Aru (Sumatera Utara) dan Kerajaan Malaka (Malaysia). Akan tetapi dikarenakan usia beliau yang kian senja, tugas menyatukan kerajaan-kerajaan itu beralih kepada anaknya. Dialah Sultan Ali Mughayat Syah yang berhasil menyatukan semuanya menjadi Kerajaan Aceh Darussalam. Dan tentu saja kerajaan itu memiliki satu agama resmi, satu budaya dan satu hukum pemerintahan yakni Islam. Selain itu terdapat empat kerajaan hindu yang juga akhirnya masuk Islam tanpa paksaan sedikitpun. Mereka tertarik karena melihat cara umat Islam yang berperang dengan sangat manusiawi. Umat Islam memperlakukan tawanan perang ibarat tamu terhormat.
Kemasyhuran Sultan Ali Mughayat Syah dikarenakan beliau memiliki kapasitas kepemimpinan yang sangat mengagumkan. Beliau memang ahli siasat yang ulung, salah satunya kemampuan beliau melakukan negosiasi terhadap kerajaan-kerajaan di ujung pulau Sumatera itu menjadi satu kepentingan. Bayangan saja kita kerap memuji-muji pemimpin di zaman sekarang yang berhasil mendamaikan satu bagian kecil Aceh yakni kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bahkan sosok yang ‘katanya’ berhasil mendamaikan tersebut sudah mendapatkan penghargaan disana-sini baik itu Doctor Honoris Causa ataupun Nobel perdamaian. Mari kita bandingkan dengan hal menakjubkan yang dilakukan Sultan Ali Mughayat Syah. Beliau lebih dari sekedar mendamaikan, akan tetapi menyatukan dan melunakkan ‘ego’ kerajaan dari ujung Banda Aceh, Sebagian Sumatera Utara sampai kepada kerajaan Malaka di negeri jiran.
Selain Sultan Ali Mughayat Syah, terdapat sosok pemimpin lainnya yang tak kalah menakjubkan. Beliaulah Sultan Iskandar Muda yang dinobatkan menjadi raja dalam usia yang cukup muda, yakni 14 tahun. Akan tetapi di usia yang sangat belia itu, ia sanggup memenuhi 28 syarat menjadi seorang raja.
Dalam Qanun Syarah al’Ashi yang dibuat oleh pemerintahan kerajaan Aceh dijelaskan bahwa syarat menjadi raja di kerajaan Aceh Darussalam harus menguasai perbandingan Fiqh 40 Mazhab. Saya ulangi 40 Mazhab fiqh, bukan 4 Mazhab ya. Itu syarat utama dan diikuti syarat-syarat lainnya. Salah satu syarat lainnya yang saya ingat adalah seorang raja harus bisa menjinakkan harimau dan buaya. Sehingga tidak heran bila pada masa beliau, Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya. Bahkan beliau sudah menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan Turki Utsmani dan hubungan dagang dengan Kerajaan Britania Raya.
Akan tetapi berabad-abad kemudian kita menyambangi tempat yang sama sudah dalam kondisi yang berbeda. Dahulu terdapat sosok-sosok yang sangat ksatria seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan Daud Ber’euh. Sepeninggal mereka, Aceh seperti kehilangan induk dalam membenahi dirinya. Perpecahan antar rakyat Aceh kian tersohor seantero nusantara. Bahkan kontroversi adanya Wali Nangroe menjadi perdebatan banyak pihak. Sosok yang diharapkan menjadi tetua adat Aceh masih belum mampu menjadi penyatu umat. Bahkan dalam satu bulan Ramadhan lalu, tak satu kalipun Wali Nangroe muncul di Masjid Raya Baiturrahman atau masjid besar lainnya. Setidaknya memberikan petuah kepada rakyat Aceh.
Akhir kata, tiada kata selain doa agar bumi Aceh bisa kembali bangkit dari kondisi akhir-akhir ini. Semoga Allah memberkahi semua rakyat Aceh dimanapun kalian berada.
Ceulitra Dari Serambi Mekah
Masjid Baiturrahman Oleh: Teguh Estro Salah satu kota di nusantara ini yang memiliki tempat khusus di hati saya adalah Aceh. Salah s...
Teguh Estro
Minggu, 29 September 2013