(Sambutan Dalam Agenda Simposium KAMMI Daerah)
Oleh: Teguh Estro
Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Rekan-rekan
Aktivis dan Konseptor Gerakan KAMMI yang berbahagia.
Kita semua di sini
tanpa terkecuali laiknya sebuah motor serangan nan siap menggemparkan kesunyian
intelektual selama ini. Kemudian masihkah kita mencari-cari alasan untuk diam,
padahal lantangnya suara kita begitu diperlukan bangsa ini. Maka hari ini
adalah hari dimana kita terbebas mengoyak langit dengan gugatan-gugatan kita
sebagai kaum muda. Kendati masyarakat sekitar banyak yang gengsi mendengarnya,
mencibir sepenuh hati gagasan-gagasan kita bahkan memusuhi ama-amal kita.
Dalam simposium
ini saya hendak mengajak segenap konseptor-konseptor KAMMI beserta keberanianya
sekaligus. Mari kita melihat sedekat-dekatnya apa yang menjadi target atawa Goal
perbincangan ini. Bukankah dalam visi KAMMI dicantumkan kalimat yang sangat
dahsyat sekaligus menjadi tujuan dari gerakan ini. “Dalam Rangka Mewujudkan
Bangsa dan Negara yang Islami”. Bangsa dan Negara yang kita lahir di atasnya,
kita bersedih-suka bersamanya, semestinya hal ini selalu menjadi perhatian utama
setiap kader-kader KAMMI.
Sahabat-sahabat
seperjuangan…..
Setiap zaman
memiliki caranya tersendiri dalam mencintai bangsa dan negaranya. Meski kita
tidak hidup lagi dalam suasana perang fisik, tetapi justru pada saat sesudah
kemerdekaan ini bermakna lebh pelik lagi. Sebagaimana Soekarno sudah
mewanti-wanti “Perjuanganku lebih mudah karena melawan panjajah. Tapi
perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”. Dan
bapak proklamtor ini tidak main-main berpesan pada generasi penerus. Hingga
saat inipun masih dan akan terus terasa imperialisme dan kapitalisme gaya baru
menggurita di nusantara. Seperti dalam bahasanya Prof Amien Rais dalam bukunya Selamatkan
Indonesia, “Bangsa ini dikuasi oleh Korporat-korporat asing. Bangsa ini
adalah negara Korporatokrasi”. Beliau menambahkan korporatokrasi sebagai
sebuah sistem atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan
politik global yang memiliki 7 unsur: yaitu, korporasi-korporasi besar,
kekuatanpolitik pemerintahan tertentu terutama Amerika dan kaki tangannya,
Perbankan Internasional, kekuatan militer, media massa, kaum intelektual yang
dikooptasi, dan terakhir yang tidak kalah penting adalah elite nasional negara-negara
berkembang yang bermental inlander, komprador atau pelayan. Begitula Prof
Amien Rais membungkus unsur-unsur suatu negara korporatokarasi yang kesemuanya
sudah terdeteksi di dalam negara ini.
Rekan-rekan aktivis dan konseptor gerakan yang saya banggakan….
Mungkin secara awam kita masih bereuforia atas
digembar-gemborkannya kemeriahan demokrasi di Indonesia. Bahkan beberapa kala,
Negara ini kerap disematkan sebagai negara demokrasi terbesar setelah Amerika
dan India. Padahal itu hanyalah demokrasi secara tampak kulit atau dalam bahasa
akademik dikatakan demokrasi prosedural. Terlihat suatu pemilihan umum yang
Nampak demokratis di sana-sini. Seolah-olah tidak pernah terjadi deal-deal
politik antara calon penguasa dengan korporat-korporat asing. Seakan-akan tidak
pernah ada bagi-bagi jatah antar partai politik sebelum dan sesudah pemilihan
umum. Masihkah kita menutup mata akan hilangnya subtansi demokrasi. Padahal kata
kunci dari kata demokrasi adalah kata “rakyat”. suatu pemerintahan “Dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Bukan sahaja di pentas politik nasional, wabah ini terus
meng-endemik di daerah-daerah. Sudah jamak terlihat oleh para aktivis-aktivis
akan kejadian di balik layar perpolitikan daerah di seluruh Indonesia. Kepala
daerah memperdagangkan aset-aset daerah. Wilayah tambang menjadi komoditas
kampanye kepada korporat-korporat kapitalis. Daerah hutan-hutan lindung kian
gila dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan diperuntukkan bagi cukong-cukong
tak berperasaan. Saudara-saudara! kenapa kita masih diam melihat kesemuanya. Di
Kalimantan, para Orang Utan turun protes di perkebunan sawit. Dan nyawa mereka
menjadi bulan-bulanan algojo-algojo para cukong. Di Sumatera harimau-harimau
turun gunung menuntut hak-hak mereka. Harusnya kita yang hadir di sini yang
masih bisa bicara lantang serta mampu bergerak cepat, seyogyanya menjadi
pemecah kebuntuan masalah-masalah ini.
Kawan-kawanku para penerus pemimpin-pemimpin bangsa.
Pada awalnya kekhawatiran dari adanya sentralisasi kekuasaan pada
masa Soeharto yakni akan mengokohnya kediktatoran pemerintah pusat. Sehingga
dengan berbagai macam pertimbangan di sana-sini menjadilah pasca reformasi
adanya otonomi daerah. Suatu daerah memiliki otonomi mengeola aset-aset daerahnya.
Tentu saja ini akan berujung manis jika dieksekusi oleh manusi-manusia berwatak
seperti nabi Yusuf a.s. Pemimpin yang memiliki kapabilitas, megutamakan rakyat
serta takut pada Tuhan. Akan tetapi kini kondisi yang terjadi adalah muncul
pemimpin-pemimpin daerah yang Gagap dalam memimpin. Sehingga aset daerah yang
semsetinya diperuntukkan bagi masyarakat malah disimpangkan ke meja-meja yang
lain.
Dengan kondisi ini, maka secara mutlak benar-benar dibutuhkan suatu
kontrol terhadap pemimpin-peminpin daerah. Baik itu eksekutif berupa Bupati/walikota,
legisatif yakni DPRD, Yudikatif berbentuk kejaksaan, Pimpinan keamanan dan
pimpina daerah lainnya. Maka munculnya KAMMI di daerah bukan tanpa alasan. Kita
memiliki dalil sekuat-kuatnya untuk berkontribusi pada bangsa ini. Maka dari
itu dalam simposium daerah kali ini, harapannya mampu menghasilkan rumusan
gagasan. Gagasan yang lama tersimpan dalam brankas-brankas jiwa mahasiswa.
Rekan-rekan diharapkan mampu berbagi pemikiran terhebatnya untuk menambah laju
dari gerak organisasi ini.
Selamat menyampaikan gagasan, Selamat mendengarkan dan Selamat
Pagi.
Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Tidak ada komentar