https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6nONLuLjndu8kHJZLgDsnfFPxeDuvb1I33B6I67kPuV4z-TjiZwTOvWzCpullgVDh4llrB5W7RoIYeYmelqzht3k1SYMRA0kcBltJ6WkiBlUMNpYNvPatPavePBUttLretYehC-Tvb1g/s1600/008.jpg
Oleh:
Teguh Estro
(Cerpen
Inspiratif)
"Rik, Erik… Katanya bapakmu mau masuk
Te-ve…. Hebaaaaatt!!!”
Apa yang
diteriakkan Jujun barusan bukanlah mimpi. Bapakku terpilih menjadi guru teladan
se-Indonesia seleksi dari program Kemendiknas. Lelaki
itulah yang mengasuhku sedari kecil seorang diri. Beliau mengajar fisika di SMP
terpencil dan mengalami sesak sepi setelah ditinggal isterinya sewaktu
melahirkan anak pertama. Itulah diriku putera sulung yang sejak lahir merenggut
nyawa orang yang paling disayanginya.
***
Seharian ini aku sibuk dalam riang. Selepas kelulusan dari SMA
dengan nilai yang nggak jelek-jelek amat. Baru kali ini aku terlempar dari tiga
besar rangking terbawah, sungguh bahagia. Itu artinya aku tidak layak lagi
tersemat sebagai anak nakal dan bodoh. Kini cukuplah menyebutku anak nakal
saja, itu saja sudah cukup. Cukup meyusahkan bapak terutama.
Dua hari sebelumnya, Bapak membujuk tapi kudiamkan. Ajakan pergi ke
Jakarta bertemu pak menteri ceplosnya. Seperti biasa, apapun keinginan pria berkepala
empat itu selalu kutanggapi dengan gelengan kepala. Namun sepulang sekolah
kuputuskan untuk main ke kota kediaman paman cuma untuk mencari televisi.
Maklum di rumahku belum ada kotak bergambar itu, bahkan belum teraliri setrum
PLN. Bersama Jujun sahabat terbaik, kulewati sesemak padang rumput menuju kota.
Menyusuri Sungai Lematang begitu indah, inilah sungai paling deras di bumi
Sriwijaya. Kami tinggal di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Sekitar 4 jam
dari kota Palembang. Dan gubuk kami yang hanya dihuni dua pria lajang itu
tertancap di lereng Gunung Dempo, tepatnya desa Sandi Jaya.
Satu jam perjalanan dari kampung mengganduli bis antar kota. Peluh
menjadi parfum tubuh ceking ini, terutama Jujun yang lebih langsing dariku.
Setibanya di rumah paman, kuceriterakan dengan bangga tentang bapak yang bakal
nampang di TV malam ini. Padahal biasanya ia begitu sulit diusik kala asyik di
dalam bengkelnya. Saya memanggilnya mang Rahmat.
“Mang, ini kawanku Jujun. Kita berdua masuk ke dalam ya!”
Di dalam rumah ini, aku sudah dianggap anak sendiri. Mang Rahmat
teramat sayang padaku, sebab ia sangat mengharap anak laki-laki. Namun ketiga
peri kecil di rumah ini semuanya anak perempuan. Mungkin benar kata
orang-orang. Jika mau cari tahu kepribadian anak laki-laki, maka lihatlah
pamannya. Karena anak laki-laki cenderung mengakrabi pamannya ketimbang sosok
tetua di rumahnya, entahlah.
Bintang-gemintang telah menyala hiasi warna malam. Semua berkumpul
di depan televisi menunggu-nunggu munculnya sosok guru teladan yang akan
bertemu pak menteri. Tak ada satu pun yang berkedip menghayati semua tayangan. Sampai
iklan sabunpun disorot juga oleh sekumpulan bola mata yang berposisi tak
berjauhan. Dan akhirnya langkah bapak tua yang kukenal muncul dari dalam
Televisi. Seisi ruanggan hening mendengarkan apa yang terjadi tanpa rela
terlewat satu kata-katapun. Kata dan kalimat yang mengisi dialog antara Pak
Zuhri dan pak Menteri di sana.
“ Pak Zuhri, Sekarang apa lagi obsesi anda….?”
“ Saya mau ketemu bang Iwan Fals” Sontak bapakku diiringi tawa
lepas pak Menteri. Begitupun kami yang menonton di rumah hanya senyum-senyum.
Sesegera aku dan mang Rahmat saling bertatap muka kemudian tertawa lebih lepas.
Memoriku mengulang dahulu alkisah dari mang Rahmat perihal bapakku. Beliau
kelewat mengidolakan Iwan Fals. Mang Rahmat sampai-sampai menyamakan tipikal
bapakku dengan karakter dalam lagu Umar Bakri. Mungkin banyak orang
termasuk pak menteri menertawakan itu bak lelucon, namun bagi bapakku lain.
Iwan Fals seperti dewa baginya, ya manusia setengah dewa tepatnya.
Terlalu cepat melalui transisi kegelapan menuju cahaya pagi. Sesegera
kuawali dunia dengan hirupan embun. Langkahku di depan serambi terhenti seiring
pandangan fokus pada bayangan. Sesosok nan sibuk bergiat di dalam bengkel.
Dasar mang Rahmat, tak salah bila warga sekitar menjulukinya professor mesin.
Tidak ada mesin yang tak bisa diperbaiki kalau ia sudah menanganinya. Aku pun
tertular dengan keahliannya itu. Karena mang Rahmat sering mengajakku ‘bedah’
mesin. Mang Rahmat memang hanya jebolan kelas lima SD, namun kini justru ramai
sarjana tehnik yang berguru padanya. Berbeda dengan bapakku yang hanya handal
dalam teori-teori fisika, namun belum pernah kulihat ia mempraktekan ilmunya.
“Erik, sini bantuin mamang…!” Teriak mang Rahmat.
“Bongkar-bongkar lagi ya mang?”
“eh, kamu bisa perbaiki rantai renggang motor di belakang ya” suruh
mang Rahmat sambil abaikan pertanyaanku. Nampaknya suami bik Midah ini
mengetahui basa-basiku. Jujur saja, memang bongkar-bongkar motor merupakan
spesialisku dalam hal otak-atik mesin. Sebentar kulirik rantai motor yang
disebut mang Rahmat. Ternyata memang rentengan besi itu sudah aus.
Nampaknya sangat riskan jika harus dikencangkan, sudah selayaknya diganti
dengan yang baru. Hampir setengah jam jemariku menghitam terolesi oli motor.
Kali ini benar-benar harus kubongkar. Pasalnya antara gear depan dan
belakang kurang sejajar, inilah yang menghabiskan banyak waktu. Sesekali mang
Rahmat melirik ke arahku, mungkin ia agak heran melihatku yang kian mahir.
begitu asyiknya lengan-lenganku memutar-mutar baut di roda belakang
pertanda hampir selesai. Sinar matahari yang mulai menembus alam pagi
menyadarkan retinaku akan siluet hadirnya Jujun di sebelah mang Rahmat. Nampaknya
terlalu pagi bagi Jujun untuk membuka mata. Terlihat wajah keterpaksaannya
menggerak-gerakkan kelopak mata.
“ Jun, kamu minggu ini nggak ikut jemaat kebaktian….?” Tanya mang
Rahmat.
“ ah, males mang. Lagian di kampung lagi becek udah dua hari ujan.
Pasti jemaat lain juga males-malesan keluar rumah.” Bisa-bisanya si Jujun
mencari-cari alasan. Tapi memang benar, di kampung kami tengah dilanda curah
hujan tinggi. Sungai Lematang kian menguap memberondong pohon-pohon kecil di
bibir sungai.
“ Mang, sudah beres nih motornya. Kayaknya pagi ini aku sama Jujun
mau pamit pulang”
“ Ya udah, motor itu kamu bawa pulang aja Rik.” Mang Rahmat
menunjuk bebek besi yang barusan kudandani pagi ini. Sebenarnya tidaklah
terkejut lagi, karena memang beliau sering memberiku hadiah yang lebih. Maka
terjadilah, aku dan Jujun berbonceng ria mengendarai motor yang perawakannya
tak jauh beda dengan kami berdua, sangat sederhana. Melintasi jalan raya di
antara mobil-mobil truk sungguh menantang, lewati tikungan-tikungan maut. Satu
setengah jam perjalanan, lelah dan asyik di perjalanan terhentikan oleh hangatnya
secangkir kopi di rumah Jujun. Sengaja kuhampiri rumah sahabatku ini, karena di
tempatku pasti kosong ditinggal bapak ke Jakarta. Bermalam di rumah Jujun
begitu kental suasana keramaian. Anak kedua itu begitu ceria mencandai
adik-adiknya. Hal yang mustahil kudapatkan di rumahku sendiri.
Setelah tiga hari tak menyambangi rumah tempat berpulang, kini
kumasuki pintunya yang sudah dihuni bapak di dalam. Rupanya beliau sudah pulang
dengan wajah yang tidak berubah, masih ‘dingin’. Ia hanya bicara seperlunya, bahkan
menjadikanku segan untuk sekedar mengucap selamat. Namun ia melirik saat
mengetahui aku pulang tak sendiri. Ada motor yang terpajang di depan rumah,
pemberian mang Rahmat kemarin. Batin ini sangat berharap bapak bersuara,
setidaknya mengungkapkan rasa heran di wajahnya itu. Namun ia hanya berujar
pelan.
“ Kamu sudah makan belum, tadi bapak masak gulai di dapur”
“ Iya, ntar” Jawabku sedikit saja.
Beginilah kondisi rumah kami, dihuni manusia tetapi justru suara
tikus yang jauh lebih ramai. Kusandarkan bahu di kursi depan rumah sembari
menikmati gulai pindang kreasi bapakku. Rasa kuahnya standar sih, tapi
lumayanlah agak asam yang menjepit-jepit lidah. Sanyup-sanyup telingaku
menangkap suara musik dari dalam rumah. Itu suara tape yang
mendendangkan lagu Iwan Fals, pasti ulah bapak. Nadanya begitu kencang pertanda
telah berganti baterai baru.
Hirup demi hirupan pada kuah gulai pindang tak sesedap awalnya.
Lantaran di depan rumahku muncul tiga orang yang mondar-mandir seperti mencari
alamat. Mereka berpakaian seperti orang-orang kota. Satu orang berpakaian rapi dan
sisanya menggendong kamera film. Sebenarnya aku tak yakin benda-benda berat
yang mereka jinjing bakal mampir ke rumahku. Namun langkah mereka kian dekat,
kian lunturkan keraguanku. Inilah yang disebut wartawan, selama ini aku hanya
tahu profesi tersebut di alam imajinasi saja.
“ Maaf dik, benar ini rumah pak Zuhri?”
“ Pak Zuhri bapakku kan, masuk aja bang…” Jawabku masih
terheran-heran.
Apakah bapakku akan menjadi artis? Hampir dua jam ketiga orang
asing itu mencengkeramai orang tuaku. Rasa heran ini sesaat berubah menjadi
damai. Karena ada satu kejadian langka yang kutemui. Tertawa lepas milik lesung
pipi bapak yang sudah lama tak kulihat akhirnya kembali. Sejenak kutinggalkan
gulai pindang, menyaksikan mereka bicara memberikan nuansa lain. Sampailah waktu
Ashar, memaksa tetamu kami berpamitan perlahan. Mungkin mereka menerka
kebiasaan bapak yang taat ibadah.
“ Pak, tadi wartawan ngapain?” Tanyaku dengan sumringah.
“ Rik, tadi dari pihak Televisi mau ngadain konser di kampung kita.
Hadiah buat bapak katanya. Kamu nanti ikut bapak ya, kita menemani wartawan
tadi ketemu pak KADES dan PLN. Soalnya
mau membincangkan izin pemerintah setempat dan sewa genset jumbo dari
PLN. Ayo sholat ashar dulu…!”
Sesembah pada Pemilik Semesta di sore hari. Seperti biasa bapak
mengimamiku lagi. Perjalanan kami rupanya menunggangi mobil mewah yang sedari
tadi parkir di dekat pos ronda seberang rumahku. Inilah yang dinamakan mobil lapangan
untuk liputan. Tidak begitu lama menemukan kediaman pak KADES. Begitupun
mudahnya membujuk tanda tangan tetua desa itu. Sedikit amplop dari abang
wartawan sudah mendamaikan senyumnya. Seusai menyambangi pak KADES, langit
malam bergemuruh tanda kampung ini bakal diguyur hujan. Akan tetapi mobil yang
kami tumpangi masih terlalu tangguh untuk melewati rerintik hujan. Perjalanan
menuju kantor PLN serasa nyaman dan empuk dari dalam mobil. Dari kampungku
menuju kota Pagar Alam sekitar lima belas menit.
Seumur hidup baru kali ini kutemui gedung PLN. Maklum kampung kami
sama sekali belum terjamah listrik. Lirikan mataku menyiratkan bahwa diriku
memang udik menyorot gedung besar. Sekitar ada tiga gerbang yang membuat
kendaraan ini harus berhenti dan bernegosiasi untuk masuk ke dalam. Ketegangan
mulai menjalari bulu kuduk. Dua orang satpam mulai merapat ke mobil kami yang
hendak parkir di latar depan gedung. Namun tampaknya abang wartawan sudah
terlatih untuk bernegosiasi. Muluslah niat hendak menaiki gedung megah ini.
Sampai memasuki ruangan yang menyisihkan aku seorang diri di ruang tunggu.
Sesekali kulihat dari kaca tembus pandang, mereka berdebat sengit memasang
senyum yang dipaksa.
Abang wartawan yang biasanya lihai menaklukan kehendak lawan, kini
malah tak berkutik senyap. Entah apa yang diucapkan mereka semua, yang pasti
pejabat PLN berkepala botak itu memaksa bapak cemberut. Damai sudah sirna.
Memang bapak di rumah kerap berwajah ketus, tapi tidak sesuram ini. Ada apa
sih?
Malam itu rupanya awal dari semua petaka. Akhirnya sejak diusir
dari gedung listrik, tingkah bapak kian tak bersahabat. Sepulangnya ke rumah
kudapati lelaki berusia 45 tahun itu berlagak kekanak-kanakan memasuki kamar
lalu mengunci pintu. Aku terdiam di ruang tengah, sampai tengah malam bahkan
hingga pagi.
Berhari-hari kutelisik dari berbagai informasi terkait masalah
bapak. Salah satunya dari pak KADES yang kini kuhampiri rumahnya. Pak Burhan
yang berkata perlahan namun membuat panas pikiranku. Baru kuketahui konser yang
dimaksud bapak rupanya hendak mendatangkan Iwan Fals. Pantaslah dalam sehari
membuat wajah guru teladan itu bisa mendadak ceria dan seketika juga bisa
berubah mendung. Barulah sejenak kunikmati bahagia merona pada bapak, tapi
cepat sekali menghilang.
Suatu malam Abang wartawan mendatangi rumahku lagi, namun diacuhkan
oleh bapak tanpa sambutan. Sang ‘umar bakri’ memasuki kamarnya dengan gegas
lalu mengunci kamarnya lagi. Merasa kasihan lalu kupanggil para pekerja
televisi itu.
“ Bang, ada keperluan apa lagi dengan bapakku?” awalnya
pertanyaanku ini hendak mereka abaikan. Namun ketiga lelaki itu menoleh kembali
mendekatiku.
“ Begini dik, kami sangat minta maaf dengan kejadian ini. Pihak
televisi sebelumnya tidak memprediksi kalau pak Zuhri begitu emosional. Kemarin
dari pihak PLN tidak mengizinkan kami menyewa genset di kantornya.
Segera kami kabarkan pada pihak manajemen Bang Iwan Fals mengenai kondisi ini.
Mereka akhirnya berpikir ulang untuk menggelar konser di sini. Tapi jangan
khawatir, kami akan tetap berusaha mencari pinjaman genset dari
kota-kota di dekat sini”
“ Intinya kalian Cuma butuh listrik kan?”
“ Betul dik….” Jawab mereka sembari meninggalkan kartu nama pada tubuh
cekingku di halaman rumah sendirian.
Kondisi ini membuat rumah kami kian mencekam. Bayangkan saja sebuah
hunian tua tanpa ada komunikasi antara
penghuninya. Untuk kedua kalinya ku hanya diam di ruang tengah, sampai malam
bahkan hingga pagi lagi. Sebelum bapak keluar dari pembaringannya, kuputuskan
untuk sepagi mungkin keluar dari rumah. Tujuanku hanya satu menemui mang
Rahmat.
Embun pagi masih berkeliaran mendinginkan kulitku yang hanya
dibalut kaos tipis. Barulah terasa manfaat dari motor pemberian mang Rahmat. Sesampainya
di kota kubelokkan laju memasuki pelataran rumah yang sudah ku kenal. Dari
depan sudah tertulis papan reklame “Bengkel Mang Rahmat”. Untungnya beliau ada di rumah, tentunya sedang
intim bersama rerongsok mesin di ‘laboratorium’nya.
“ Eh, Erik tumben pagi-pagi sudah ke sini. Si Jujun mana?”
“ Tadi gak sempat ngajak Jujun, tapi ada hal penting yang mau
kuceritakan mang!”
“ apa?” Mang Rahmat agak serius menatapku.
“ Soal bapak...!”
Pagi itu kusampaikan semua yang sudah terjadi empat hari terakhir.
Badan mang Rahmat mulai menegang diiringi kernyitan dahinya. Kulihat ia gelisah
namun bersabar mengikuti kata demi kata dari bibir ini. Sesekali kami berdua
saling berpandangan hanya untuk diam. Lirikan matanya member isyarat agar aku
melanjutkan cerita yang terpotong. Namun sepertinya mang Rahmat tidak begitu
kaget saat kukabarkan kondisi bapak yang tidak mau keluar rumah. Adik kandung dari
ibuku ini kembali diam menundukkan kepala. Ia berpikir sangat lama, sepertinya
malah lebih serius dariku.
“ Gimana mang, ada ide?”
“ Kali ini agak sulit Rik. Tidak ada cara yang lebih aman untuk
mendatangkan listrik kecuali ya dengan genset itu.”
“ Kalo pakai kabel panjang, kita ambil listrik dari kampung sebelah
bisa kan mang?”
“ Wah resikonya besar kalau itu. Untuk mengadakan konser kita butuh
listrik dengan daya yang besar, mungkin Ratusan Watt. Jadi butuh kabel
berdiameter tebal kalau dengan cara itu. Tentu saja ini menjadikan boros
listrik karena banyak tegangan yang memakan daya listrik. Kita juga akan
membutuhkan banyak transistor untuk menstabilkan tegangan Rik…”
“ Trus gimana mang? Apa kita harus pake batere radio?”
“ Emm, yang jelas sekarang kita coba berpikir mencari sumber
listrik”
“ Pakai dinamo gimana mang?”
“ Dinamo ya, kalau itu kita harus membuat rekayasa dinamo dengan
ukuran jumbo. Tentu akan banyak memakai kumparan yang sangat tebal. Itupun
pembuatannya tidaklah sebentar. kita harus memesan perekayasaannya ke Jawa Rik.
Di Sumatera belum tentu ada, kalaupun ada pasti mahal dan lama.”
“ Sudahlah mang, aku pulang saja. Tidak ada lagi yang bisa
diharapkan!”
Kalau mang Rahmat yang sudah kuanggap Profesor saja sudah putus
asa, maka habis sudah. Ada kesal bercampur kecewa mengikuti langkah gontaiku
dekati motor butut untuk pulang. Suara khas motor tua ini seolah mengejek
kepulanganku.
Kali ini aku tidak kembali ke rumah. Karena sama saja seperti masuk
ke dalam kuburan. Saatnya si Jujun kembali menjadi pelarianku lagi. Benar
firasatku, ia sedang ‘menggembala’ adik-adiknya bermain di depan rumah.
Belumlah kedua kakiku menginjakkan tanah, Jujun dan pasukannya sudah menyambut dengan
teriakan riang. Sikap cuek yang melekatiku membuat Jujun tidak kaget saat
langkahku memasuki rumah tanpa permisi. Jujun sudah lama mengenalku, sehingga
tidak sulit baginya membaca kegelisahanku. Namun kutelisik lagi isi rumah Jujun
agak ramai dari biasanya.
“ Jun, rumahmu ramai banget”
“ iya, hari ini abang saya baru pulang dari kelulusan kuliahnya”
jawab Jujun polos.
Jujun mengajakku menemui Abangnya di dalam kamar. Namanya Bang
Sabam sarjana tehnik. Orangnya tidak kalah polos dari Jujun, begitulah mereka
sekeluarga memang terlahir berwatak polos. Namun tentu saja bang Sabam lebih
intelek daripada yang lainnya. Entah kenapa mendengar ia bicara sangatlah
renyah. Kalimatnya teratur, humoris dan tidak menggurui. Sampailah saat ia
berganti mendengarkan ceritaku. Ia mendengarkan penuh simpatik tentang apa yang
kualami, persis seperti yang kuceritakan pada mang Rahmat. Bahkan termasuk
usulan-usulan yang kusampaikan pada mang Rahmat. Panjang lebar penuturan
akhirnya selesai.
“ Rik, kamu itu sebenarnya cerdas, teman-teman abang di kampus saja
gak ada yang berpikir seperti kamu…”
“ Maksud abang?”
“ ah, sudah lupakan. Begini, kasusmu ini sangat manantang. Selain genset
ada dua generator yang bersumber dari tenaga alam. Inipun sering dipakai di
pedalaman-pedalaman seluruh Indonesia. Pertama generator dari tenaga angin
seperti yang ada di Belanda, namanya kincir angin. Selanjutnya adalah generator
tenaga air, sebut sajalah kincir air. Nah melihat kondisi alam di desa Sandi Jaya
yang berada di lembah Gunung Dempo ini, kincir angin sangat tidak memungkinkan.
Karena angin lembah memiliki tekanan yang tidak menentu.”
“ Kalau begitu kincir air lebih cocok ya bang. Soalnya di tempat
kita teraliri Sungai Lematang yang Sangat deras. Cara kerja generator itu
gimana ya bang?” Kali ini berbalik wajahku yang terlihat polos.
“ Kamu mulai cerdas Rik, kincir air membutuhkan debit air yang
deras. Karena untuk memutar sebuah gear besar membutuhkan gaya yang
besar juga. Mungkin puluhan bahkan ratusan Newton Rik. Untuk detailnya
abang agak sulit menjelaskan secara lisan.”
“ Trus gimana bang?” Tanyaku terpotong oleh rombongan keluarga
Jujun yang memanggil dari ruang tengah. Rupanya mereka hendak berdoa pagi ini.
Terpaksa aku berpamitan lebih awal. Namun sebelum aku pulang, bang Sabam
meminjamkanku buku yang cukup tebal. Namanya buku Skripsi. Beliau mengatakan
mengenai kincir angin sudah dijelaskan di dalam buku itu. Setebal apapun kertas
yang kubawa ini akan kupelajari demi bapak. Bersama suara parau motor yang
kubawa, kuputuskan untuk pulang.
Setiap kembali ke rumah, seakan hari berubah menjadi penuh
perjuangan. Gayaku sedikit ragu untuk
memasuki bangunan berbentuk limas itu. Dari kejauhan terlihat pintu depan
terkunci rapat. Sejenak coba mengitari tiap sudut pintu, memastikan ada lubang
yang terbuka. Hasilnya nihil, mungkin bapak pergi ke sekolah hari ini.
Kuhampiri kursi panjang di halaman samping. Sembari membuka-buka lembaran buku
skripsi yang baru saja dipinjamkan bang Sabam. Bola mataku liar mencari
penjelasan tenaga kincir air yang dimaksudkan. Lembar demi lembar kian
memusingkan kepalaku. Banyak gambar serta angka yang belum pernah kutemukan di
sekolah.
Sebuah rekayasa kincir air dengan pemutar tipe rantai. Kuabaikan angka-angka
yang tertulis, pandanganku fokus pada gambar demi gambar. Sangat sederhana
menggunakan rantai motor yang disambung-sambung sebagai pemutar. Bahkan gear
yang dipakai juga empat buah gear motor saja. Sedangkan gaya
pendorongnya tentu saja dari tenaga air sungai yang dialirkan ke dalam bak-bak
air. Bak air tersebut dijadikan pemberat agar kincir berputar menghasilkan
energi mekanik. Energi mekanik yang memutarkan gear itu kemudian
disalurkan pada dinamo. Di sini aku mulai bingung, apakah dinamo pada motor
bebek bisa diapakai? Lalu kulirik sejenak motor bebek yang kini tersenyum di
halaman depan. Mungkin teman baruku itu akan menjadi korban percobaan ini.
Berjam-jam aku berpikir di halaman rumah. Sampai siang begitu terik
menerangi pikiranku yang kian berimajinasi. Kelihatannya bapak tak akan pulang
sesiang ini. Kebosanan mulai menghinggapi mataku. Tak kuasa kulawan kepenatan
ini hingga karpet di depan pintu menjadi alas yang terlalu empuk untuk
melelapkan kelopak mata.
***
“ Rik, Erik…
bangun Rik, buka matamu, kamu sudah siuman Rik?” Itu suara Jujun.
“ Jujun? Kok kamu
di rumahku, kok jadi ramai begini?” kupandangi sekitar ada Bapak, mang Rahmat,
bik Midah serta Jujun kini memenuhi ruang tengah. Mereka semua memandangi bangkitnya
badanku dari kursi panjang tempat yang biasa kutiduri.
“ Santai Rik, Kamu
Minum Air Putih Dulu Sana…”
Kureguk beningnya
air dari teko tua di dekat pembaringan. Akhirnya Jujun bercerita bahwa sudah
hampir dua hari aku tertidur seperti orang pingsan. Tentu saja awalnya aku tak
langsung mempercayai. Namun karena semua menceritakan hal serupa, terpaksa aku
mempercayainya. Kutarik lengan Jujun agar daun telinganya mendekat. Kutanyakan
perihal bang Sabam dengan penuh keseriusan. Namun kabar yang hampir membuatku
kembali pingsan disampaikan oleh sahabatku ini. Pemilik buku Skripsi itu telah
kembali ke kampusnya untuk mengurus ijazah wisuda. Kemungkinan dua pekan lagi
baru kembali lagi. Lantas, kepada siapa aku harus bertanya untuk memulai proyek
kincir air ini. Satu per satu manusia di rumah kuperhatikan. Nampaknya semua
bisa dijadikan rekan kerjasama, selain bapak tentunya. Ya selain bapak, dia
tidak akan membolehkanku pastinya.
Keesokan paginya,
Aku dan Jujun sudah berdiskusi dengan mang Rahmat di dalam bengkel. Kuhamparkan
buku Skripsi yang dibawa dari bang Sabam, kami baca berulang-ulang. Sampailah
pada kesimpulan bahwa proyek ini butuh tenaga yang banyak dalam
menyelesaikannya. Satu kincir angin bisa jadi selesai sampai satu minggu
lamanya. Sedangkan bila dihitung-hitung satu kincir bisa menghasilkan 7000
Watt. Asalkan debit air bisa menghasilkan 1.200 putaran per menitnya ( Rotation
per minute / RPM). Untuk sebuah konser setidaknya kami harus menyelesaikan
3 kincir angin. Akankah hal tersebut bisa selesai dalam waktu dua minggu saja?
Sebenarnya aku ragu, tapi melihat keoptimisan mang Rahmat mampu meyakinkanku
lagi.
Hanya butuh tiga
hari saja aku mampu mengumpulkan bocah-bocah nakal di SMA-ku. Termasuk adik-adik
kelas calon siswa nakal yang sudah lama kudidik. Ada lima belas orang yang kini
memenuhi bengkel mang Rahmat. Kuawali dari cerita panjang kepada semua ‘anak
buahku’ itu. Selanjutnya giliran mang Rahmat menjelaskan pembagian peran
masing-masing. Sedangkan lokasi sungai yang dijadikan titik percobaan sudah
didapatkan tiga titik oleh Jujun.
Perjuanganku kian
memanas, semua saling menyemangati. Hari demi hari kami pijak dengan
keoptimisan adanya perubahan di kampung ini. Bukan Cuma listrik untuk konser
Iwan Fals, tapi untuk peningkatan kualitas hidup semua warga. Mulai dari
menghampiri pemuka-pemuka desa untuk sekedar memnta izin. Kemudian bergiliran
tugas jaga malam di lokasi pemasangan kincir. Sungguh tidak terpikirkan
sebelumnya kalau pembuatan kincir air menghabiskan waktu panjang. Hampir satu
purnama terlewati hanya untuk membuat dua kincir air saja. Padahal kami
merencanakan tiga buah generator untuk mencukupi daya listrik sebuah konser.
Suatu malam pada kincir
yang terakhir terjadi kemiringan pada poros gear. Sehingga teman-teman
yang sudah kelelahan memutuskan untuk berhenti sejenak. Malam itu aku mendapat
giliran jaga. Di pos jaga kutatapi siluet bayangan hitam kian mendekat. Dari
lenggok tubuhnya mataku sudah hafal dengan sosok ini. Emm, tidak salah lagi
Jujun malam-malam begini selalu mengenakan jaket andalannya. Jaket hitam
berlapis kulit klimis. Kian larut berkabut menghantarkan dewi malam menaiki
langit. Mulanya asyik berbincang akrab bersama, kini Jujun telah terlelap.
Kutinggalkan
sahabatku itu sendiri di pos, sedang aku melanjut langkah dekati kincir air.
Rasa penasaranku masih menggelayut hendak menyelidiki bagian dalam badan kincir
air tersebut. Kaki lentik kuangkat menanjaki kayu-kayu penyangga melihat
kerusakan lebih dekat. Walaupun sebenarnya kekhawatiran akan kayu yang rapuh
sebentar mulai terlintas. Namun arah kepalaku tetap bergerak ke atas badan
kincir. Ternyata gear atas dan bawah tidak sejajar, ini menyebabkan
rantai sulit berputar sempurna. Bahkan bila didorong dengan gaya yang besar
bisa menyebabkan putaran macet. Mur dan baut begitu rekat di atas sini sehingga
sulit untuk melepasnya. Dengan tenaga yang seadanya kutarik agak paksa supaya gear
tersebut bergoyang.
“krek krek….”
Suara kayu patah dari arah bawah.
Kedua kakiku
kehilangan tempat berpijak. Badanku berguncang tidak stabil. Beberapa detik
sebelum gravitasi bumi menyedot ragaku, kusempatkan meraba apapun yang bisa
diraih oleh tangan. Awalnya telapak tanganku membelit rantai supaya bisa
menjadi tempat berpegangan. Ternyata badan cekingku menjadi lumayan berisi jika
diapakai untuk membelah kayu yang rapuh penuh rayap. Kini telapak kaki ini tak
punya lagi tempat berpijak, tubuhku menggelantung. Terus kutarik rantai yang
tertahan di antara gear dan kayu pengganjal. Namun cepat sekali kayu itu
ambruk membuatku tersungkur ke bawah tanpa pijakan. Seketika mulut ini
berteriak sekencangnya.
“ Aaaaaaah,
Aaaaduhh, tolong!”
Bukan Cuma tubuhku
yang jatuh, ternyata dua buah gear pun ikut terbawa gravitasi bumi. Jeruji
tajamnya mengalirkan darah di ujung tungkai kakiku. Sangat tajam terasa
meremukkan tulang, aku takut teriakanku ini mengusik cumbuan rembulan dan
bintang. Mencoba memberanikan diri melihat luka robek yang sangat parah.
benar-benar parah, seperti daging ayam yang tercincang di pasar. Keringat
dingin menjalar hingga ke ubun-ubun, lemas rasanya. Badanku roboh namun tak
sampai ke tanah. Ada manusia lain di belakangku yang datang tidak tepat waktu. Siapapun
ini, tolong selamatkan kondisiku. Entah berapa orang yang menyeret bahu ini menuju
semak yang lebih datar. Sepertinya aku pingsan namun kesadaranku masih
mendengarkan jejak kaki yang kian ramai. Aku terus berjuang untuk tetap siuman
jangan sampai terlelap panjang. Walau sebenarnya aku tak bisa membedakan lagi
ini alam sadar atau bukan. Sepertinya semua rombongan masing-masing memanggul
tubuhku, mereka melayang melewati pepohonan. Kuintip di bawah sana, tubuhku
terbang melintasi rumahku menuju sungai Lematang. Rambut tipisku berterbangan terhembus
angin kala menyusuri perkotaan Pagar Alam. Kian melambung menuju langit gelap,
sangat pekat, menyesakkan nafas. Mungkin di atas langit sudah tak ada oksigen
lagi. Paru-paru ini sudah tak tahan mencari sehirup udara seperti di bumi.
“ Ahhh, Mana
Oksigen……!” Akhirnya berhasil memberontak demi udara lepas.
“ Woooooooi, Erik
sudah sadar.” Dari arah belakang ada yang berteriak lebih lantang. Firasatku benar,
itu suara Jujun. Sepintas kuamati kondisi ruangan yang berbeda. Kemilau putih
bersih mengelilingi corak segala perabotan. Suara rombongan itu kembali datang
berduyun mendekatiku. Ada bang Sabam, mang Rahmat juga bapakku. Firasatku mengatakan
kalau ini rumah sakit.
“Jun, bagaimana
listriknya, konsernya?”
“Sudahlah rik,
kamu istirahat aja dulu” jawab Jujun dengan senyum sangat lebar. Semua yang
hadir pun berlomba-lomba menghadiahiku senyum indah. Termasuk bapak dan pipi
lesungnya terlihat lagi. Apa yang barusan mereka kerjakan sih?
“ Aku serius Jun,
bagaimana kincirnya, listriknya trus konsernya” Tanyaku lagi.
Bapakku dari
kejauhan mendekati pundakku. Belum pernah matanya berkaca-kaca seperti ini.
“ Rik, terima
kasih ya. Ternyata kamu sangat sayang sama bapak. Soal kincir kamu, semua sudah
kami bereskan, ada mang Rahmat dengan kejeniusannya mampu mengatasi masalah
ini. Ditambah lagi kemarin bang sabam yang lulusan tehnik mesin menunjukkan
kemampuan sesungguhnya. Demi listrik di kampung kita nak, demi konser yang kamu
perjuangkan” air mata bapak menetes deras membasahi kancing bajuku.
“ Dan kalau kamu
tahu, kemarin pak Zuhri sudah mengeluarkan rumus-rumus fisikanya untuk
mengalirkan listrik menjadi tenaga yang efisien ke setiap Travo di desa. Sayang
kamu tidak melihat aksi guru teladan se Indonesia ini beraksi memimpin proyek kita” Celetuk bang Sabam dari belakang. Membuatku bangga memiliki bapak
seorang guru teladan.
“ Trus, konsernya
kapan, bang Iwan bisa datang kan?” Saat pertanyaan itu kulontarkan mereka hanya
diam. Kecuali si Jujun dia mengambil sebuah kumpulan foto di meja untuk
dihadapkan pada sahabatnya ini.
“ Rik, pas kamu
masih belum sadar. Dua hari yang lalu konsernya sudah terselenggara. Ini foto-fotonya
kalau kamu nggak percaya”
Kuamati satu per
satu. Dan foto pertama yang kulihat adalah kondisi diriku yang terbaring sakit
tapi di sebelahnya ada bang Iwan Fals sedang memegang gitar seolah menyanyikan
lagu untukku. Foto berikutnya ada bapak yang tersenyum indah sekali bersama
Bang Iwan di belakang panggung. Lalu ada foto Jujun yang tertawa lepas
dirangkul abang wartawan. Kualihkan tatapanku ke arah Jujun.
“ Nggak apa-apa
kok Jun. Ngomong-ngomong bang Iwan bawain lagu apa aja Jun”
“ ada Bento, Wakil
Rakyat, Galang Rambu Anarki, Pesawat Tempur wah banyak” setiap judul lagu yang
disebutkan Jujun membuat buliran air mataku tak tahan hendak keluar. Akhirnya lagu
yang hanya bisa didengar bapak lewan tape baterai menjadi kenyataan.
“ Ada lagu Umar
Bakri juga lo Rik….!” Celethuk mang Rahmat diiringi tertawa lepas semua
ruangan.
|