http://site.icanvasart.com/buy_paintings/Dorothy_Police_Search_Banksy_Painting.jpg |
Oleh: Teguh Estro
(Cerpen Inspiratif)
“ Ma, maafin papa
ya. Tadi bukannya gak mau angkat telpon. Tapi bener-bener gak sempet…” ujarku memecah
kesunyian pada Wina, Isteri tercinta.
Hampir dua jam
cemberut di wajah Wina buatku tak fokus menyetir mobil. Sesekali kusentuh mesra dagu Wina
mengharap senyum manisnya barang sebentar. namun wanita kelahiran Bandung itu
tak jua merubah rona mukanya seceria awan siang.
“Mama kenapa sih,
cerita dong biar papa nggak kayak orang bego’ gini….” Sapaanku mulai ketus.
Wina memalingkan wajah manisnya abaikan ucapan suaminya ini. Dari
kejauhan, matahari siang juga tak mau peduli menyemburat panasnya menembus kaca
mobil silaukan bola mata. Bahkan AC mobil tak cukup mendinginkan kegerahan suasana.
Pun demikian tingkah si
kecil Lia di bangku belakang. Putri pertama kami itu hanya terdiam menyimak
kelakuan aneh kedua orang tuanya ini. Lia asyik bermain seorang diri sembari menggoyangkan kipas cilik di sela-sela
lehernya.
“ Pa, sepenting
apa sih kerjaan papa. Biasanya juga bisa jemput, kan mama jadinya ditinggal
sama tiga pelanggan sekaligus….” Seketika Wina menyolot dengan pertanyaannya yang
sinis.
“Oke baik, Papa
minta maaf ya….” Ujarku sembari menatap bola matanya yang bening. Serasa
terhembus angin segar. Namun lagi-lagi Wina memalingkan muka, membuat batinku
penasaran akan apa maunya. Beginilah kaum hawa, mereka begitu sulit lupakan khilaf
bilamana sudah masuk ke relung hatinya. Berucap maaf saja tak cukup.
Perjalanan nan membosankan
kulalui. Suasana macet ibu kota kian menjalari alam kekesalan siang ini. Mengendarai
mobil mulai tak terkendali sebab pikiran membuncah tersendat emosi batin. Rasa malu
pada puteri kecilku yang masih bau kencur, kini menjadi penonton adegan tak
mendidik. Di tengah kecamuk perasaan ini justru berimbas ketidaksabaranku dalam
membawa mobil. Kulaju kencang menerabas lampu lalu lintas yang sedang bertanda
merah.
Gugup, panik, dan pilihanku
malah menambah laju tancapan gas. Ternyata benar prediksiku, tindakan gila ini
sudah terpantau dua orang polisi yang kini membuntuti. Jujur saja sejak mobil
ini dibeli, baru kali ini berurusan dengan polisi. Paras Wina kian bersungut
muram bercampur takut setelah menyadari kuda besi kami diikuti petugas.
Sepertinya ia hendak marah, namun mobil segera kupercepat agar lolos dari
intaian. Namun usaha ini gagal, lantaran teramat sulitnya melaju kencang di
jalanan ibu kota. Pasrah sajalah, di tengah kemacetan, dua motor polisi
merapatkan diri pada mobil kami dan meminta berjalan ke arah pinggir. Siang ini
bak jatuh tertimpa tangga.
Akhirnya kualami juga berurusan dengan polisi nan bertele-tele. STNK
mobilku disita dan menunggu untuk sidang lima hari lagi. Sejak kecil diriku
mengalami phobia bilamana menatap polisi. Namun itu belum seberapa.
Sesampainya di rumah isteriku berkicau lagi atas masalah yang remeh-temeh.
Bagiku lebih baik tertangkap polisi setiap hari daripada harus perang mulut
dengan wanita yang masih kusayang ini. Sampai-sampai sore itu Wina pergi lagi dari
rumah. Ia berkelana bersama rekan bisnis sampingannya, sahabat kuliahnya dulu.
Seperti biasa menyambut datangnya dewi malam hanya ada aku dan Lia di dalam
kediaman kami.
Anugerah terbesar
yang diberikkan Tuhan adalah hadirnya malaikat kecilku yang masih berusia 7
tahun. Hanya saja kini Lia kerap termenung seorang diri di sudut kamarnya. Bahkan
pernah ia kepergok tengah berdialog sendiri melakonkan pertengkaran orang
tuanya. Aku tahu apa yang ia rasa, yakni ketakutan dan merasa bersalah. Dengan
malu-malu, Lia mendekatiku yang sedang sendiri di ruang tengah.
“Pa, kok malem
gini mama belum pulang ya….?” Ucap Lia terbata-bata.
Pertanyaan selugu
itu menggetarkan kerasnya hati nan membatu. Memang selama ini gadis kecil kelas
2 SD itu lebih akrab denganku. Maklum akhir-akhir ini mamanya sibuk dengan
bisnis sampingannya. Aku tak pernah melarang pekerjaan itu, hanya saja dengan kurangnya
komunikasi di antara kami, terkadang jadikan hal-hal sepele bak masalah puting-beliung.
Ditambah lagi mulai kurangnya waktu kumpul keluarga antara kami berdua.
“Papa!, kok ditanyain
diem aja. Aku salah ya….?” Niatku hendak menjawab, namun suara pintu rumah menggedor
segera membungkam bibir ini. Dengan tergesa kubuka pintu dari dalam.
Prasangkaku ternyata benar, lagi-lagi Wina pulang larut malam. Dengan wajahnya
yang hambar, ia bergegas masuk ke kamar. Sejak kukenal kuliah dulu, si pipi
lesung ini memang orang yang jutek. Sampai pernikahan kami menginjak 8
tahun, sifat itu belum juga mampu kuredam.
Wina kini tengah
sendiri di kamarnya, kamar kami berdua. Ia menatap cermin rias dengan pandangan
kosong. Perlahan langkahku mendekati wanita yang dulu kunikahi tepat di hari
ulangtahunnya.
“ Mama mabuk lagi
ya?” tanyaku singkat.
“ Sudahlah pa,
mama capek” jawabnya singkat.
Mendengar itu kian
menambah geram emosi yang menumpuk di kepala. Apa boleh buat, malam ini kucoba
pisah ranjang lagi dengannya. Mengalah di saat yang tidak tepat memang butuh
keberanian. Setidaknya dinginnya angin malam akan kuhabiskan dengan menemani
Lia di kamarnya. Masih banyak cerita pengantar tidur yang tertunda untuk
kuhabiskan bersamanya. Entahlah, saat memasuki kamar malaikat kecilku ini, terasa
kedamaian yang menentramkan. Tetapi tak kudapati puteriku di ruangannya.
Biasanya Lia sering tertidur di ruang tengah karena kelelahan tugas-tugas
sekolahnya. Dorongan mataku mulai melirik ke luar kamar menuju ruang paling
besar di rumah kami. Kali ini firasatku salah, tak jua pandanganku menemukan
sosok yang dicari. Rumahku memang luas, namun dalam waktu singkat kudatangi
satu-persatu untuk memastikan keberadaan Lia Fransiska. Jantungku berdegub tak
beraturan memaksa keringat dingin keluar dari kulit yang mulai khwatir ini.
Kemana Lia?
“Lia…..! Kamu
dimana nak?” Teriakku ke semua penjuru ruangan.
“ Pa, Lia
kenapa….?” Suara Wina dari lantai bawah terdengar tercekat-cekat panik.
Malam yang
menegangkan. Aku dan Wina tanpa ba-bi-bu berlarian keluar mengelilingi
perumahan komplek satu per satu. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 00:45
kemuncak bulu kuduk menggigil. Saat langkah gontaiku memasuki pagar rumah
bercorak timur tengah milik kami, kudapati Wina sudah terduduk lesu memasang wajah pucatnya. Ia
melihat kehadiran suaminya ini, lalu bangkit dan berjalan mendekat dengan
pandangan berkaca-kaca. Anak perempuan salah satu dosen kuliahku itu lantas memelukku
dengan erat mengagetkan insting lelaki yang sudah jarang tersentuh
wanita. Walau agak ragu, kuusap bahunya untuk menenangkan suasana. Suasana kecemasan
berirama jangkrik tanpa jeda.
“ Pa, Mama takut.
Lia kemana?” Suaranya agak parau terdengar.
“ Besok kita urus
semuanya, malam ini kita istirahat dulu ya ma….” Aku dan Wina akhirnya
istirahat dalam satu kamar, namun dengan suasana yang tidak tepat.
***
Esok
pagi,
Sudah kuputuskan
hari ini tidak akan masuk kerja. Saat terbangun dari pembaringan kutatap wanita
berpakaian rapi dengan rambut masih basah mengepalkan kedua tangan pertanda
cemas. Wina tak kunyangka menghadapi dunia lebih pagi dari biasanya. Ia menggerak-gerakkan
jemari kaki ini meminta bergegas menjauhi ranjang yang pernah menyimpan memoar
cinta. Sungguh heran seperti bukan Wina biasanya, apalagi kulihat kala
melintasi dapur yang sudah terhidang sarapan. Sudahlah, kuselesaikan aktivitas
pagi untuk menyelesaikan prahara puteri kecil kami.
“Pa, sebaiknya
kita pasang berita kehilangan anak di koran…” Wina memulai percakapan pagi ini.
Sejak semalam saya hanya berpikir satu-satunya solusi yang teraman
hanyalah melapor pada polisi. Namun phobia dalam otakku mencegah ide
tersebut. Nampaknya Wina memahami ketakutanku ini sampai ia tak berani
menawarkan usulan yang berkaitan dengan polisi.
Seharian kami
berputar kota Jakarta dari satu kantor berita ke gedung lainnya. Kemacetan di
larut malam memaksa kami berdiam berdua saja di bangku depan mobil anyar
ini. Salah tingkah, aku belum terbiasa dengan watak Wina yang tiba-tiba baik, senyum
yang menyejukkan bahkan ia selalu mengalah dalam berdiskusi. Sesekali bola mata
ini mencuri-curi pandangan yang sebenarnya sudah disadari oleh Istriku itu. Tapi
yang kutahu, sembab merah kedua matanya terus teraliri buliran air mata. Kian mendekati
rumah, semakin sering ia menghabiskan tissue.
Rumah kami bak
Istana namun tiada bernilai apapun tanpa tangsi tawa malaikat kecil. Wina berjalan
melambat di belakangku seolah hendak memintaku membuka pintu rumah lebih dahulu. Ia tak sanggup memasuki rumah yang tiada lagi
berbekas kebahagiaan. Prasangkaku benar, ia berhenti di serambi melenturkan
badannya di kursi asli buatan Jepara. Aku menemani sang Isteri di lantai depan
rumah mengingatkan pada awal-awal pernikahan dulu. Dua insan bergurau malu
disini bersama kursi-kursi bisu. Kini ia termangu, semacam ada penyesalan yang
hendak diutarakan di setiap isakan tangis.
“ Papa boleh kok
ceraikan mama kalau mau….!”
“ Mama ngomong apa
sih? Jangan berpikir kelewatan ma!” Lontarku sangat terkejut. Tidak terpintas sedikitpun
dalam otakku kalau Wina sampai menyuruh cerai.
“ Pa, semuanya karena
salah mama. Andai dulu lebih nurut sama omongan papa. Mungkin kejadiannya gak
bakal begini. Sekarang pasti Lia sedang kecewa dengan mamanya yang tak tau diri ini. Lia pergi karena tak sanggup hidup dengan keluarga seperti ini. Mama janji pa, kalaupun nanti Lia kembali. Mama tak akan pernah berkata kasar di hadapannya pa. Maafin mama ya pa....!” Wina menutupi wajahnya dengan kedua telapak mungilnya sembari sesegukkan nafasnya. Ada ketakutan
menyelimuti bidadari di hadapanku ini, sampai-sampai ia sealu menghindari
kontak mata. Lama sekali kami berdua terdiam, menyudahi isak demi isak tetangis
sang jelita. Berjam-jam kutemani satu per satu air mata mengering di pipinya.
Aku tak akan mengusik keheningan ini kendati itu hanya sesaat.
“ Dug Dug Dug…..
ting tong….” Suara itu terdengar dari gerbang rumah kami. Aku dan Wina kembali
tersadarkan atas masalah yang belum terpecahkan. Bergegas kuraih pengunci
gerbang untuk menyawang siapa gerangan di luar sana. Pandanganku seketika
mengalami kontraksi saat tahu bahwa sosok tersebut adalah polisi. Ya, persis
sekali polisi yang dulu berurusan dengan mobilku di lampu lalu lintas. Coba kuurungkan
niat melepas pengait kunci gerbang. Karena harus kusudahi dulu mengatasi
wajahku yang mulai pucat. Seragam itu yang dulu pernah menginjak-injak rumah
orang tuaku. Seragam itu yang mebuat ibuku berteriak seperti orang kesurupan
mengharap dihentikannya penggusuran rumah.
Belum sempat
badanku berbalik, nampak Wina sudah membuka gerbang dengan gegas. Sembari
mengusap hidung kemerahannya, ia sambut senyum petugas tersebut.
“ Maaf, benar ini
rumah bapak Dharma Tri Wicaksana….”
“ Iya benar, saya
isterinya” Jawab Wina singkat.
“ Saya ke rumah
ini hendak mengantar pulang puteri anda dan….” Belum selesai polisi itu
melanjutkan basa-basinya. Dari pintu mobil itu muncul mahluk mungil yang
seharian membuat semua khawatir. Aku dan Wina seketika mengabaikan kehadiran
polisi itu dan menjemput Lia yang tengah sumringah. Kugendong dengan pelukan
paling manja diiringi Wina yang melingkari bahuku.
“ Maaf, mungkin
sudah saatnya saya kembali ke pos polisi” Ujar petugas tanpa ada yang
mendengarkan. Bukan aku tak mau menegurnya, namun aku tak sanggup menatap
matanya. Apalagi saat ini memeluk Lia adalah karunia yang melegakan ditambah
senyum cantik Wina kulihat lagi. Senyum yang membuatku tertarik padanya sepuluh
tahun lalu. Kalaupun hari ini nyawaku dicabut, aku rela. Karena melihat senyum
ceria anak dan isteri adalah akhir hidup yang terindah.
“ Pak polisi
sebentar….” Panggil Wina diikuti tolehan perlahan dari pria berseragam itu.
“ Pak polisi tahu
rumah kami di sini dari siapa, bukannya Lia belum hafal jalan Jakarta?” Tanya Wina
tanpa kumengerti maksudnya. Sepertinya ada suatu hal yang ia curigai dari
polisi ini.
“ Oh kalau itu,
saya temukan alamat anda di STNK mobil suami anda yang masih tersita di kantor.
Em, sekalian mengingatkan dua hari lagi sidang atas pelanggaran tiga hari lalu….”
Ujar polisi tersebut agak panjang lebar.
“ Pa, tadi om
polisi itu yang menolong aku. Mereka baik sekali, kalau aku besar nanti mau
jadi kayak mereka. Aku mau jadi polisi pa….” Celetukan Lia barusan membuatku
kaget. Dan diiringi tawa kecil dari Wina di sampingku. Mungkin malaikat kecilku
ini belum tahu, kalau papanya ini phobia terhadap polisi. Aku tak akan
rela puteriku menjadi polisi, tak rela!
Semakin lega
pikiranku malam ini teriring kian menjauh penampakkan mobil polisi dari depan
rumah. Lia tetap sumringah dalam dekapanku dan kuhantar dirinya menuju
kamarnya. setelah kupastikan Lia nyaman di kamarnya, aku dan Wina lekas meninggalkan Lia bersama selimut kesayangannya. Lalu tanpa komando, aku dan Wina lekas menuju kamar kami berdua. Inilah
malam yang kutunggu-tunggu kembali satu ranjang dengan Isteriku. Dengan suasana
yang berbeda, lebih romantis, penuh kasih sayang, senyum indah itu memaksaku
menarik pergelangan tangannya. Tepat didepan pintu kamar sengaja kudahului
dengan membukakan pintu kamar bak pangeran memperlakukan puteri raja. Ia hanya
tertawa kecil untuk kesekian kalinya, serasa bulan madu kembali.
“ Papa, Mama, boleh
nggak aku malam ini tidur bareng papa sama mama juga. Soalnya Lia takut nanti
Papa sama mama bertengkar lagi….” Suara kecil itu kali ini menjengkelkanku.
Belumlah dia menjadi polisi sudah membuatku phobia lagi.
Tidak ada komentar