Menu
Teguh Indonesia

Jenderal An Lushan "Dalang" Pemberontakan Dinasti Tang, Refleksi Demonstrasi Berdarah Akhir Agustus 2025.

Oleh: Teguh Estro
(Bapak-bapak Muda)

    Ada yang berdarah-darah di jalanan. Asap membubung dari gedung-gedung yang dibakar. Suara teriakan dan ratapan bersahutan. Ibukota porak-poranda. Perekonomian lumpuh. 36 Juta nyawa manusia hilang dan banjir darah.  Itulah yang terjadi di Chang’an, ibu kota Dinasti Tang, pada abad ke-8, ketika sosok bernama An Lushan memimpin pemberontakan. Dan itu pulalah yang (dalam skala dan konteks yang tentu berbeda) kita saksikan gejalanya dalam kerusuhan demonstrasi di Jakarta dan kota-kota lainnya, Akhir Agustus 2025.

Kekerasan massa selalu punya pola yang mirip: ia memakan korban jiwa, melumpuhkan kehidupan, dan meninggalkan luka yang dalam. Tapi kekerasan bukanlah monumen yang tiba-tba jatuh dari langit. Ia adalah anak kandung dari salah urus kekuasaan.

Pemberontakan An Lushan, yang menghancurkan salah satu dinasti terbesar dalam sejarah Tiongkok, bermula dari akumulasi kesalahan yang dibiarkan membusuk. Hari ini, kita bisa melihatnya sebagai cermin yang memantulkan potret buram kita sendiri.

A. Gejala-Gejala yang Menggerogoti

Tokoh An Lushan bukanlah pemberontak yang muncul tiba-tiba. Ia adalah produk dari sistem yang sakit. Dinasti Tang, di puncak keemasannya, justru mengandung benih-benih kehancuran.

Pertama, kekuatan militer yang otonom. Sebagai seorang Jiedushi atau gubernur militer, An Lushan menguasai tiga wilayah sekaligus dengan pasukan profesionalnya sendiri. Ia membangun kerajaan dalam kerajaan, dengan tentara yang loyal padanya, bukan pada kaisar. Ini terjadi karena kebijakan luar negeri Tang yang ofensif butuh pasukan perbatasan kuat, tapi diabaikanlah kontrol dari pusat.

Kelalaian pusat dalam mengayomi daerah terutama perbatasan bisa menjadi bom waktu. Apalagi dibumbui oleh Kekaisaran yang selalu memperalat wilayah perbatasan untuk menghadang pasukan barbar dari luar. Sedangkan di dalam istana justru pejabat berfoya-foya dengan banyak selir.

Tidakkah kita melihat pola yang sama hari ini? Ketika kekuatan-kekuatan di daerah merasa diabaikan, sementara pusat sibuk dengan gemerlapnya sendiri, bukankah ini resep untuk bencana? Apabila pemerintahan rapuh maka pilihan untuk membuat regulasi yang memperbesar wewenang militer adalah sama seperti menggali kuburan sendiri.

Kedua, krisis fiskal dan pajak yang mencekik. Sistem bagi hasil pertanian equal-field yang adil telah runtuh. Tanah terkonsentrasi di tangan elite Dinasti Tang. Pemerintah, yang butuh uang untuk biaya perang dan kemewahan istana, memeras rakyat dengan pajak yang berat. Petani menjerit. 

Mereka yang tak sanggup melarikan diri atau menjual diri menjadi budak. Inilah yang dalam teori sosial Karl Marx disebut sebagai “perjuangan kelas”: ketika ketimpangan ekonomi mencapai titik nadir khususnya bagi rakyat yang berbatasan dengan Kerajaan Tibet, ledakan sosial adalah konsekuensi yang hampir tak terelakkan. Akhirnya masyarakat miskin perbatasan terpancing untuk menghabisi kemewahan ibu kota Chang'an. 

Apakah kita tidak belajar dari sejarah? Ketika pajak menjadi alat penindasan bukan keadilan, ketika yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terjepit, bukankah kita sedang menabur benih kemarahan? Kita melihat jelas pada penolakan keras ribuan warga PATI, Jawa Tengah terhadap kenaikan pajak 250%.

Ketiga, kesenjangan sosial dan sentimen etnis. An Lushan adalah golongan etnis minoritas orang non-Han, Jenderal ini berasal dari etnis Sogdian-Turk. Ia dan pasukannya sering dipandang rendah oleh elite Han di istana. Perdana Menteri Yang Guozhong, yang arogan dan korup, terus memprovokasi dan merendahkannya. Di perbatasan, rakyat merasa dieksploitasi oleh pusat yang jauh dan tak peduli. Mereka mudah dihasut untuk membenci ibu kota.


Lagi-lagi kisah ini menjadi pelajaran buat kita saat ini di Indonesia. Bukankah politik identitas dan arogansi kekuasaan masih menjadi penyakit kita sampai hari ini? Ketika perbedaan dijadikan alat pecah belah, dan suara rakyat kecil dianggap tak penting, bukankah kita sedang membangun tembok permusuhan?

Keempat, inkompetensi pejabat. Kaisar Xuanzong, yang tua dan lalim, lebih sibuk dengan selirnya Yang Guifei daripada urusan negara. Istana dipenuhi intrik dan korupsi. Kebijakan dibuat bukan untuk rakyat, tetapi untuk melayani nafsu segelintir orang.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil? Ketika pemimpin lalim dan korup, ketika kebijakan hanya untuk kepentingan segelintir orang, bukankah kehancuran hanya menunggu waktu?

B. BENCANA KEMANUSIAAN PUN TERJADI

    Pemberontakan An Lushan bukanlah aksi spontan. Ia direncanakan dengan cermat. Sebagai Jiedushi (Gubernur Militer), ia memanfaatkan kedekatannya dengan pejabat istana untuk mengetahui kelemahan pemerintah. Ia membangun dukungan rakyat dengan menjadi “jagoan” bagi mereka yang tertindas. Lalu, ia menyerang di musim dingin, ketika pasukan pemerintah lengah. Dan yang paling penting: ia menyerbu ibukota justru ketika keretakan di istana sedang paling parah.

Mirip dengan Demonstrasi Akhir Agustus Lalu, jelas: kekerasan massa hampir selalu ada dalang dan skenarionya. Akhirnya, Kematian driver OJOL Affan Kurniawan menjadi daftar kelam kerusuhan berdarah di Indonesia. Bukan hanya Affan Kurniawan di Jakarta namun masih ada 6 korban lainnya di kota Jogja, Solo dan Makassar yang juga turut meregang nyawa. Puncaknya ketika terjadi penjarahan rumah 4 orang pejabat yang diduga ditunggangi oleh oknum yang tak bertanggungjawab. Aksi vandalisme dan pembakaran aset pribadi tersebut didesain seolah kemarahan rakyat. Kemarahan Masyarakat yang menyuarakan protesnya dibayar mahal dengan nyawa mereka. Apakah ia murni luapan amarah rakyat, atau sudah ditunggangi kepentingan politik? Sejarah An Lushan pada abad ke-8 M mengingatkan: ketika negara lemah dan rakyat marah, pintu bagi ambisi orang-orang seperti An Lushan terbuka lebar.

Dannn, Pertanyaan penting untuk kita renungkan: Sudahkah kita membedakan mana suara rakyat yang murni dan mana yang sudah dibajak kepentingan? Atau jangan-jangan kita semua sedang dimanfaatkan dalam skenario besar perebutan kekuasaan?

C. Dinasti Tang Menjadi Negara Lumpuh

Pemberontakan An Lushan bukan hanya soal pergantian kekuasaan. Ia adalah bencana kemanusiaan yang luar biasa. Ekonomi lumpuh total. Sistem pajak kacau balau. Yang paling mengerikan: 36 juta jiwa tewas (seperenam dari populasi dunia saat itu) Pengungsian terjadi di mana-mana. Dinasti Tang nyaris runtuh dan tidak pernah benar-benar pulih.

Inilah harga yang harus dibayar ketika “kontrak sosial” antara penguasa dan rakyat—sebuah teori yang digagas Rousseau—putus sama sekali. Pemerintah gagal menjalankan tugasnya: melindungi, mensejahterakan, dan berlaku adil. Sebaliknya, mereka menjadi predator. Rakyat, yang sudah tidak percaya, memilih jalan kekerasan sebagai satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh penguasa.

Mau sampai kapan kita terus mengulangi kesalahan yang sama? Ketika penguasa lupa bahwa kekuasaan adalah amanah, ketika rakyat dipaksa memilih antara diam atau meledak, bukankah kita semua yang akan menjadi korban?

D. JAS MERAH

Dari Chang’an ke Jakarta, dari abad ke-8 hingga abad ke-21, pelajaran sejarah ini adalah tamparan. kekerasan adalah buah dari penguasa yang tuli. Jenderal An Lushan mungkin hanya nama di buku tua, tapi rohnya bisa hidup di mana saja, di setiap negara dimana elite mengorbankan rakyat untuk kekuasaan dan harta.

Kita tidak perlu menjadi Marxis untuk mengerti bahwa kesenjangan adalah bahan peledak. Kita juga tidak perlu menjadi Rousseau untuk paham bahwa pemimpin adalah wakil rakyat, bukan majikan mereka. Demonstrasi dan kerusuhan adalah gejala. Penyakitnya adalah ketidakadilan.

Pertanyaan terakhir yang paling menggelisahkan: Apakah kita harus menunggu sampai segala sesuatunya hancur berantakan seperti di Chang'an dulu, baru kita menyadari bahwa yang kita pertaruhkan adalah masa depan bersama?

Jika kita tidak belajar dari sejarah, kita akan dikutuk untuk mengulanginya. Dan seperti kata pepatah Tiongkok kuno: “Dengan mata terbuka, kita menyaksikan roda pedati yang sama menggilas orang-orang yang sama.” Mari jangan jadi orang-orang yang sama itu.
Teguh Indonesia
Teguh Indonesia

Tidak ada komentar