Oleh: Teguh Estro
A. Pendahuluan
Potret buruk dari kelakuan manusia Indonesia belakangan ini kerap dijadikan senjata untuk menyerang lumpuhnya sektor pendidikan. Sebut saja korupsi, lagi – lagi korupsi dan terus korupsi. Apakah sebuah kebetulan, jika banyak kaum elite yang hobi mengambil uang haram. Bahkan saat ini ‘pencuriannya’ bukan lagi berbentuk uang cash saja.
Korupsi asset bangsa, pejabat berbagi proyek sampai jual beli dalam legalisasi undang-undang.
Mungkin sejenak kita bakal terheran-heran. Sosok yang tampilan luarnya necis, pakai kopiah dan kemana-mana selalu assalamu’alaikum. Tapi ternyata justru dialah yang menjadi ‘preman proyek’ di gedung DPR. Sekali lagi, apakah kebobrokan ini sebuah kebetulan saja…?
Seorang bupati terpaksa digiring ke sel dengan perkara tindak asusila. Apakah ini terjadi kebetulan…? Dan masih banyak lagi cuplikan yang sebenarnya membingungkan.
Kesemuanya justru akan terlihat wajar, jika hendak melirik ulang darimana mereka berasal, ya bangku sekolah. Masih ingat bu Siami dan anaknya si Alif. Mereka terpaksa terkucilkan karena tersandung kasus pencemaran nama sekolah. Pasalnya mereka terlalu ‘vokal’ menceritakan contekan masal di sekolahnya. Dan kacaunya, Fenomena bu Siami dan Alif hanyalah riak-riak kecil dari gunung es kasus serupa di Indonesia. Maka kesimpulan sementara, kemunculan mahluk bernama koruptor itu bukanlah hal yang kebetulan.
Karena karakter penipu ulung sudah ‘dikader’ sejak mereka berusia 10 tahun di bangku sekolah. Ya, karakter negatif yang terbina.
B. Asal Muasal Pendidikan Karakter
Tolok ukur kebenaran sebuah nilai dalam perspektif filsafat adalah aksiologi. Perbedaan pandangan tentang aksiologi akan membedakan baik-buruknya sesuatu. Artinya jika pendidikan sebagai wujud transfer of value (proses transfer nilai), maka indikator keberhasilannya terletak pada aspek aksiologis juga. Secara lebih sederhana semisal pada mata pelajaran PPKN. Tentu saja bukan sekedar penilaian dengan angka-angka, akan tetapi bagaimana nilai yang diajarkan tersebut mampu dipraktekkan oleh para siswa. Dan kata ‘karakter’ agaknya bisa lebih representatif untuk mewakili itu.
Sehingga tidak ada pembelaan terhadap siswa yang gemar tawuran, meski ujian mata pelajaran PPKN berangka sempurna.
Sudah jama’ diketahui akan dekadensi moral bangsa ini. Kian lama terus mengakar menjadi sebuah tradisi berbahaya. Seks bebas semakin dimaklumi, NARKOBA menjadi jajanan mahasiswa dan korupsi yang kini mewabah. Jelas sekali butuh perombakan building character terhadap anak-anak bangsa ini. Hanya saja,
apakah Pendidikan berbasis karakter yang dicanangkan pemerintah adalah jawabannya?
Pendidikan berbasis karakter telah digaungkan oleh Kemendikbud (dulu Kemendiknas) sejak awal tahun 2010 lalu. Ada 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Diknas. Antara lain sbb:
1. Religius
2. Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis
9. Rasa ingin tahu
10. Semangat kebangsaan
11. Cinta tanah air
12. Menghargai prestasi
13. Bersahabat
14. Cinta damai
15. Gemar membaca
16. Peduli lingkungan
17. Peduli Sosial
18. Tanggung Jawab
Sebenarnya Pendidikan Karakter bukanlah sesuatu yang baru jika ditilik dari tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003. Yang berbunyi sebagai berikut :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam tujuan pendidikan nasional, sudah tersebut karakter bangsa yang dijadikan target. Yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan lebih komprehensif lagi setelah disusun oleh Kemendiknas menjadi 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
C. Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa
Salah satu alasan mendesak dibutuhkannya pendidikan karakter bangsa yakni disebabkan karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun bangsa yang unggul. Sedikitnya terdapat 55 kebiasaan kecil yang menghancurkan bangsa.
a. Kebiasaan memperlakukan diri sendiri
1 Meremehkan Waktu
2 Bangun Kesiangan
3 Terlambat Masuk Kantor
4 Tidak Disiplin
5 Suka Menunda Pekerjaan
6 Melanggar Janji
7 Menyontek
8 Ngrasani
9 Kebiasaan Meminta
10 Stress
11 Mengangga Berat Setiap Masalah
12 Pesimis Terhadap Diri Sendiri
13 Terbiasa Mengeluh
14 Merasa Paling Hebat
15 Meremehkan Orang Lain
16 Tidak Sarapan
17 Tidak Biasa Antri
18 Banyak Tidur
19 Takut Berubah
20 Banyak Nonton TV
b. Kebiasaan buruk memperlakukan lingkungan
1 Merokok di sembarang tempat
2 Membuang sampah di sembarang tempat
3 Corat coret di jalanan
4 Kendaraan kita mengotori udara
5 Jalan bertabur iklan
6 Konsumsi plastik berlebihan
7 Tidak biasa mengindahkan aturan pakai
8 Menebangi pohon di hutan berlebihan
9 Menganggap remeh daur ulang
C. Kebiasaan yang merugikan ekonomi
1 konsumtif
2 pamer
3 silau dengan kepemilikan orang lain
4 boros listrik
5 nyandu nge-game
6 tidak menyusun rencana-rencana kehidupan
7 tidak biasa berpikir kreatif
8 Shopaholic
9 mengabaikan peluang
d. Kebiasaan buruk dalam bersosial
1 Tidak mau membaca
2 Jarang mendengar pendapat orang lain
3 Nepotisme
4 Suap menyuap
5 Politik balik modal
6 Canggung dengan perbedaan
7 Beragama secara sempit
8 Lupa sejarah
9 Demo upah/gaji
10 Tawuran
11 Tidak belajar dari pengalaman
12 Birokratif
13 Meniru
14 Provokatif dan mudah diprovokasi
15 Tidak berani berkata “tidak”
16 Berambisi menguasai
17 mengesampingkan tradisi adat
Pendidikan berbasis karakter muncul untuk menjawab keresahan moral yang sangat mengakar di bangsa ini. Sehingga harapannya dengan adanya kurikulum berbasis karakter, RPP dan impementasi KBM berbasis karakter bisa mewujudkan lulusan yang berkarakter kuat. Karakter jujur menjadi jawaban wabah korupsi, karakter cinta damai menjadi solusi untuk kerusuhan dan tawuran selama ini dan karakter tanggung jawab sebagai modal pembangunan bangsa.
D. Implementasi Pendidikan Karakter dan Evaluasinya
Dalam Prakteknya :
1. Guru dituntut menemukan sendiri metode yang tepat untuk menggali karakter tersebut. Dan dituangkan dalam bentuk Kurikulum, RPP selanjutnya KBM. Evaluasinya untuk saat ini setiap guru kesulitan untuk menggali karakter tersebut. Apalagi kualitas guru yang beum mencukupi.
2. Guru diharuskan mengawasi tingkah laku para siswa. Evauasinya, ketidakseriusan para guru dalam mengawasi jika siswanya dalam jumlah banyak.
3. Guru dituntut memberikan tauladan terlebih dahuu mengenai karakter tersebut. Evauasinya masih banyak justru institusi sekolah yang me’legal’kan guru-guru nakal.
4. Satuan sekolah dituntut untuk bertindak aktif kepada semua elemen. Antara lain para orang tua siswa yang menjadi variabel pengawasan anak di rumah. Masyarakat sekitar agar memberikan lingkungan yang kondusif dalam menumbuhkan karakter yang akan dibentuk. Evaluasinya Hubungan Guru dan Orang tua wali masih bersifat formalitas, apalagi elemen masyarakat sekitar sekolah yang kadang malah bersitegang terhadap kenakalan para siswa.
Oleh: Teguh Estro A. Pendahuluan Potret buruk dari kelakuan manusia Indonesia belakangan ini kerap dijadikan senjata untuk menyerang...