Oleh: Teguh Estro
Wajarlah, sekiranya terdapat polemik dalam menyikapi demokrasi. Pasalnya umat Islam memiliki tradisi ‘hati-hati’ dalam beramal. Sebagaimana sebuah kaidah dalam fiqh awlwiyat (kaidah fiqh prioritas) menyebutkan. “…Al-akhdzu bits-tsiqoti wal-‘amlu bil-ihtiyaathi fii baabil-‘ibaadati awla…” (Mengambil pendapat yang terpercaya dan beramal dengan kehati-hatian dalam bab Ibadah, itulah yang diutamakan). Bahkan Ulama-ulama di zaman baheula sekalipun tetap mendahulukan kehati-hatian dalam berucap, bersikap dan beramal.
Demokrasi, bahwasannya ikhtilafiyah didalamnya hanyalah perdebatan yang terwariskan dari pemikir-pemikir lawas. Tidak ada sesuatu yang baru dalam polemik ini. Dan seringkali justru ‘menjebakkan’ diri untuk membenturkan antara demokrasi dan Islam. Akan tetapi sebagai upaya berhati-hati dalam bersikap, maka tradisi penyerta yang harus dilakukan yakni dengan berupaya membetulkan pemahaman tentang demokrasi.
‘Secara formalitas’ sistem demokrasi memang terlahir dari barat. Sehingga wajar jika sibghah Islam agak ‘terlambat’ menyusup ke dalam sejarah demokrasi. Dan terkesan Islamlah sebagai pihak yang mengadopsi sistem ini. Dan tentu saja beberapa pihak yang ‘masih’ berhati-hati sangat berkeberatan jikalau Islam disejajarkan dengan produk barat itu. Sampai pada titik yang extream merekapun menolak demokrasi mentah-mentah.
Selanjutnya, definisi demokrasi yang terlalu netral membuat siapa saja boleh menafsirkannya. Sehingga literatur yang bertalian dengan sistem kenegaraan ini tidaklah sulit untuk dicari. Namun sayangnya, ilmuwan barat telah terlebih dulu menjadi muassis yang memunculkan teori-teori demokrasi. Begitupun ide-ide liberal mereka kerap kali melekat dalam teori-teori tersebut. Dan parahnya negara-negara barat justru menyalahgunakan demokrasi tesebut untuk memojokkan, menjajah dan merusak umat Islam. Sehingga sebagian umat Islam kian ‘alergi’ saja terhadap demokrasi.
Jika demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi prosedural, tak mengapa ia diklaim sebagai made in Western. Akan tetapi jika yang dimaksud adalah demokrasi substansial, maka Islam tentu memiliki sejarah tersendiri. Beberapa substan dari demokrasi yakni konsep musyawarah, kontrak sosial negara-rakyat, konsep keadilan sosial dll. Dan jika ditilik dari sejarahnya, maka Rosullullah Saw dan khalifah-khalifahnya sejatinya telah mengamalkan demokrasi substansial. Semisal konsep musyawarah yang terwujud dalam piagam madinah. Dan komponen masyarakat Madinah yang majemuk berhasil disatukan Rasulullah melalui sebuah piagam yang fenomenal, yaitu Piagam Madinah. Dalam Piagam itu diatur mekanisme hubungan yang setara dan adl antara pemeluk Islam, Nasrani, Yahudi dan berbagai suku yang ada di Madinah kala itu” (Amin Sudarsono : 2010)
Pasca runtuhnya Ottoman Kingdom, umat Islam sungguh merasa terpukul mengaduh-aduh. Pasalnya di satu sisi sistem kekhalifahan tidaklah mudah didirikan dalam sekejap kilat, dan disisi lain umat Islam belum siap untuk menjajal sistem kenegaraan di ‘luar’ pakem. Sehingga tercerai-berainya umat Islam pada saat itu tentu saja tidak asal berpecah-belah. Akan tetapi masing-masing berupaya keras menyatukan kembali umat Islam dengan aneka macam ijtihad. Dan memunculkan firqah-firqah yang saling ‘berdialektika’ hingga akhir-akhir ini. Namun sisi positif dari runtuhnya Turki Utsmani adalah umat Muhammad Saw ini mulai melirik urgensi seorang Muslim menjadi negarawan. Sehingga firqah-firqah yang –dipaksa sejarah- terlahir untuk berlomba-lomba menata umat. Mulai dari Al-Ikhwan Al-Muslimin, Al-Hizb-atTahrir, Pan-Islamica, Salafiyah, Ahmadiyah, Nahdlatul ‘Ulama, Muhammadiyyah, Jama’ah Tabligh dll.
Akhirnya sampailah kita pada pembahasan mengenai ikhtilafiyyah demokrasi pada internal umat Islam sendiri. Salah satu perselisihan fundamental dalam diskursus ini adalah terkait posisi Islam dalam dasar negara.
Ada yang benar-benar ‘tidak rela’ jika ada sistem lain yang dijadikan patokan dalam berhukum. Mereka bersikeras untuk berhukum hanya dengan hukum Allah Swt bukan sistem lain. Sehingga golongan tersebut memilih untuk membelakangi demokrasi lantaran dianggap bukan sebuah sistem yang bersumber dari Allah –dengan kata lain tidak menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai pijakan berhukum. Sebut saja di Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, bukan al-Quran dan Hadits. Ada beberapa pihak yang jelas menolak Pancasila sebagai ideologi tunggal di tanah air. Dan terkadang penolakan yang dilakukan justru dengan melakukan peberontakan destruktif (missal: DI/TII)
Masih ingat bagaimana kekeuhnya Moehammad Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Respek positif terhadap beliau adalah karena lebih memilih memperjuangkan Islam dari arah dalam. Dengan kata lain masuk ke dalam Konstituante dan berdebat hebat di dalamnya. Walaupun akhirnya beliau mulai ‘melunak’ dengan menuangkan tulisan di majalah mingguan Hikmah terbitan 9 Mei 1954. Artikel tersebut berjudul: “Bertentangankah Pancasila Dengan al-Qur’an?”
“ Dia bertanya mana mungkin al-Quran yang memancarkan tauhid bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Mana mungkin al-Qur’an yang ajarannya penuh dengan kewajiban enegakkan ‘adalah ijtima’iyah dapat apriori bertentangan dengan sila Keadila Sosial? Mana mungkin al-Quran yang justru memberantas sistem feodalisme dan pemerintahan istibdad (diktator) sewenang-wenang, serta meletakkan dasar musyawarah dalam susunan pemerintah, dapat bertentangan dengan apa yang dinamakan Kedaulatan Rakyat ? mana mungkin al-Quran yang menegakkan islah bainannas (damai antara manusia) dapat apriori bertentengan dengan yang disebut Peri Kemanusiaan? Mana mungkin al-Quran yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan, dapat apriori bertentangan dengan Kebangsaan.”
Selain M.Natsir masih banyak sejumlah yang meperjuangkan Islam sebagai Ideologi dan Dasar Negara. Merekaterdiri dari 15 orang berjuang di dalam BPUPKI. Di antara 15 orang golongan Nasionalis Islam tersebut adalah KH.Ahmad Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, KH.Mas Mansur, KH.Kahar Muzakkir (Ketiganya dari unsur Muhammadiyyah), KH. Masykur dan KH.A.Wachid Hasyim (Keduanya dari NU), Sukiman Wiryosandjoyo (PII), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Partai Penyadar) dan KH.Abdul Halim (PUI).
Teguh Indonesia
Tidak ada komentar