Oleh: Teguh Estro
Mengucap kata NKRI, tentu gambaran luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya budaya adat-istiadat. Wajar saja, pasalnya sejarah yang tersebar mengenai gambaran Indonesia memanglah menceritakan demikian. Akan tetapi selama ini, rakyat Indonesia tidaklah diceritakan mengenai campur tangan Islam dalam membangun NKRI. Andaikan lembaran kisah mengenai Manifesto muslim diceritakan secara jujur, maka kita akan tahu begitu islami-nya proses perjuangan hingga pembentukan NKRI.
Jujur sajalah, siapa yang memperjuangkan negeri ini dari penjajahan yang berkepanjangan. Maka umat Islamlah jawabannya. Kurang gagah berani apalagi Cut Nyak Dhien dalam melawan ‘kompeni’ di ujung Pulau Sumatera. Begitupun, bagaimana sikap Sunan Gunung Djati yang ‘tidak mau mengalah’ dalam mempertahankan kesultanan Banten, Jayakarta dan Cirebon dari ancaman VOC. Belum selesai sampai disitu, mungkin kita masih ingat bagaimana Jenderal Soedirman yang awalnya hanyalah seorang ‘guru ngaji’ di persjarikatan Muchammadijah. Beliau menjelma menjadi seorang jenderal besar mengerikan yang membawa konsep perang gerilya. Sehingga dengan bangga penulis beranggapan bahwa saham terbesar dalam tubuh bangsa ini adalah hasil jerih payah umat Islam di nusantara.
Begitupun dalam perumusan pancasila dan lambang negara lainnya. Mereka para perumus konsep negara Indonesia adalah para ulama. Setelah menerima kritukan dari M.Natsir, Agus Salim dan A.Hassan terkait konsep Nasionalisme, sang proklamator ini menyampaikan maksud nasionalisme yang benar. Ia mengatakan bahwa nasionalisme yang digagas bukanlah bentuk Chauvinism atau bentuk tiruan dari nasionalisme versi barat, melainkan sebuah bentuk nasionalisme yang menjadikan orang-orang Indoensia menjadi hamba Tuhan yang hidup dalam roh tau jiwa agama.
Dalam perkembangannya, model pemerintahan Indonesia belum pernah keluar dari pakem demokrasi. Entah itu demokrasi terpimpin, demokrasi liberal, demokrasi pancasila dan lain-lain. Sehingga sungguh tepat jika kita ajukan pertanyaan, bagaimana posisi syariat Islam dalam model demokrasi di Indonesia selama ini. Jika dalam kelahirannya, NKRI telah sah sesuai khittah keIslaman. Akan tetapi perjalanan pasca lahirnya Negara berpenduduk muslim terbesar ini memang ‘agaknya’ sedikit mereduksi nilai-nilai Islam. Sehingga akhir-akhir ini tidak jarang sebagian kecil gerakan ‘ekstrim’ yang menuduh NKRI sebagai Negara kuffar bahkan menganggap sebagai daru al-harb.
Diagnosa Beberapa ‘Kekeliruan’ NKRI Yang Sudah Ideal
Jikalau hendak mengkoreksi sebuah sistem terlihat baik atau kurang baik, maka yang menjadi pertanyaan adalah siapa korektornya. Pun Indonesia yang berdaulat ini jika ditilik dari sudut pandang demokrasi barat-liberal-sekular, boleh jadi malah menjadi contoh bagi bangsa lain. Akan tetapi mestinya, Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap Islam sebagai agama mainstream di nusantara. Maka bagaimana sistem demokrasi ala Indonesia ini apabila dikoreksi dengan menggunakan pisau analisis Islam.
Salah satu ciri khas Islam dalam bernegara, yakni menjadikan hukum/syara’ menjadi panglima dalam menegakkan keadilan. Sebab salah satu fungsi negara adalah menjadi ‘pengadilan’ yang seadil-adilnya terhadap rakyatnya. Dan penegakkan keadilan, merupakan tradisi agama ini di setiap model pemerintahan Islam yang telah tegak di muka bumi. Semangat menegakkan keadilan selalu dinomor-satukan, Entah itu tatkala Umar bin abdul aziz r.a berjaya di masa Bani Umayyah ataupun saat kesultanan Turki Utsmani yang mengalami pesakitan karena ‘dibekukan’ oleh sejarah.
Indonesia, saat ini telah melampaui era kejumudannya. Penandanya terlihat saat reformasi yang bergulir 13 tahun lalu. Sehingga kian hari, negara yang dikepalai oleh presiden SBY ini selalu menuju perbaikan. Dan salah satunya bagaimana keadilan di negeri ini sering tersorot media publik, kendati jarang diselesaikan secara hukum. Kalau dulu penindasan TKW, KDRT, Penipuan dana di BANK bukanlah tidak ada akan tetapi tidak ter-ekspos ‘borok’nya. Dan pada masa keterbukaan informasi saat ini segala ‘borok’ di negeri ini dipertontonkan, meski sedikit ‘lebay’ dalam mempublishkannya. Salah satu catatan hitam Indonesia adalah kurangnya komitmen para penegak hukum dalam mengurus keadilan. Dan parahnya penyakit ini munculnya secara laten dan mengakar hingga mentradisi. Sehingga penyelesaian yang paling efektif untuk memotong malpraktik keadilan di Inonesia yakni melalui pemimpinnya, yakni PRESIDENnya, yakni SBY.
Selanjutnya, tugas negara sebagai pengayom haqqul adami para rakyat memang terlihat tidak ‘islami’ di Indonesia ini. Bukan berarti para pemimpin harus berpeci dan sarungan, akan tetapi pendistribusian lumbung-lumbung kesejahteraan kepada rakyat justru macet…! Mungkinkah karena luasnya negara ini, hingga sulit mendistribusikan kesejahteraan hingga akhirnya tidak di distribusikan. Penulis kira, tidaklah demikian. Penyebab macetnya pemerataan kesejahteraan adalah pola kepemimpinan feodal-pragmatis masih menjangkit. Dan parahnya pasca otonomi daerah, penyakit warisan ORBA tersebut kian terimplementasi di daerah-daerah. Tradisi menyunat dana, uang rokok, ‘biaya ongkos’ yang tentu saja kesemuanya berstereotip negatif telah mendarah daging.
Islam sebagai pelopor jargon rahmatan lil ‘alamin, telah banyak memberikan kisah inspiratif dalam mendahulukan rakyat tinimbang khalifah. Umar ibn Khattab r.a telah memikul gandum, Abu Bakar ash-shidiq telah menyumbangkan seluruh hartanya, Umar ibn Abdul Aziz telah menjadikan zakat menjadi sulit diedarkan (maksudnya, sebab rakyatnya telah merata kemakmurannya). Dan kuncinya adalah pada kepemimpinannya yang harus TEGAS dalam mengutamakan umat mustadh’afiin. KALAU PIDATO SAJA CURHAT KARENA TIDAK PENAH NAIK GAJI, bagaimana bisa tegas terhadap polemik kesejahteraan ini.
Sehingga penulis berkesimpulan, setidaknya KEADILAN dan KESEJAHTERAAN yang kurang diperhatikan di Indonesia membuatn NKRI ini kurang ‘islami’.
Teguh Indonesia
Tidak ada komentar