Oleh: Teguh Estro*
Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni atau sering dikenal Jeng Reni. Beberapa bulan lalu menggegerkan tanah air dengan Royal weddingnya yang begitu ningrat. Putri bungsu Sultan Keraton Yogyakarta HB X itu resmi menikah dengan Achmad Ubaidillah, pemuda asal Lampung. Jeng Reni sendiri selain cantik, rendah hati juga sosok yang pandai bergaul. Konon sifat itulah yang membuat Ubaid (sapaan Achmad Ubaidillah) kesengsem. Kendatipun ia seorang bangsawan, namun tetap terlihat style apa adanya. Bahkan finalis Miss Indonesia itu juga kerap menemani Ubaid main futsal.
Sebelumnya penulis ngaturaken ngapunten kepada Jeng Reni yang seandainya membaca tulisan ini. Sebenarnya ada hal menarik yang bisa kita bahas terkait pernikahan beda etnis tersebut. Pertama sebuah keunikan tatkala keluarga Keraton Yogyakarta memutuskan menjalin tali keluarga dengan orang yang non Jawa. Padahal tidak sedikit dari masyarakat Jawa yang masih kekeuh melarang menikahkan putera-puteri nya dengan etnis non Jawa. Akan tetapi justru keluarga Keraton memberi contoh yang berbeda. Hal ini menyiratkan tauladan sebuah sikap jiwa besar terhadap perbedaan.
Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini kembali mengelus dada akan ragam kerusuhan yang terpicu oleh ketidakdewasaan menghadapi perbedaan. Sebut saja yang masih anyar kerusuhan warga Sidomulyo, Lampung. Perseteruan antar etnis yang dikarenakan hal sepele, uang parkir. Akibatnya, 60 rumah warga hangus terbakar. Dan kekisruhan ini bukanlah kali pertama di Indonesia yang telah ditakdirkan ber-bhineka ini. Kesemuanya sama-sama bermula dari kejadian kecil yang dibesar-besarkan. Akar masalah dari itu semua lantaran miskinnya karakter jiwa besar dalam keberagaman.
Saat ini Yogyakarta sudah menjadi ‘besan’ dari warga Lampung. Umpama Jeng Reni ditanya apakah orang Lampung itu baik ? mungkin beliau malah menjawab "..saya sangat sayang orang Lampung..." Maka, persoalannya bukan dari mana etnisnya, akan tetapi adakah rasa sayang di antara kita ? bahkan hal yang lebih sederhana, adakah tersirat sikap menghargai eksistensi etnis lain. Jika sudah hilang, maka persatuan Indonesia akan terus menjadi mimpi.
Sebenarnya rakyat di negeri ini tidaklah bisa selalu dikambinghitamkan. Setidaknya tauladan buruk yang dipertontonkan pejabat-pejabat memengaruhi sikap masyarakat. Seolah terdapat pembenaran bahwa kekisruhan hanyalah kebiasaan yang bisa dianggap lumrah. Lihat saja, saat sidang di senayan live disaksikan warga se-Indonesia. Mereka seakan sengaja ‘berakting’ membuat kekisruhan dan saling pukul di persidangan. Bahkan di luar ruangan rapat sekalipun, politisi kita sibuk saling hujat dan menjatuhkan. Padahal masyarakat menyaksikan mereka.
Tampaknya slogan Bhineka Tunggal Ika sudah tidak lagi menjadi ‘mantra’ yang ampuh. Padahal bentuk negara kesatuan sejatinya telah menjadi konsensus nasional. Bayangkan saja, di era teknologi komunikasi dan informasi yang nyaris tanpa batas ini. Seharusnya kian mampu menumbuhkembangkan rasa sadar-keberagaman di Indonesia. Setiap orang di satu daerah bisa bercengkrama dengan banyak teman lintas nusantara dengan fasilitas Social Network di Internet. Intinya, menjadi insan yang siap melihat perbedaan ratusan etnis di bumi pertiwi ini.
Selanjutnya dalam menangani penyelesaian konflik yang tersebar dari sabang hingga merauke. Pertama, benar-benar pemerintah menyelesaikannya sampai ke akar persoalan. Berani untuk membuka pintu dialog, kendatipun terasa sulit dan berbeit-belit. Jika ada etnis tertentu merasa ‘terzholimi’ oleh dominasi etnis lain, maka segera dijawab dengan rembug kekeluargaan. Kita harus yakin bahwa sekeras apapun hati manusia, pasti akan luluh juga. Di sanalah letak peran pemerintah yang harus mengayomi rakyat dengan sabar.
Kedua, aparat keamanan butuh kerja lebih giat lagi. Di berbagai daerah kudu bisa menjadi penengah yang betul-betul berorientasi pada keselamatan lan ketertiban. Jangan sampai justru aparat menjadi backing kelompok tertentu. Atau bahkan mengambil kesempatan pencitraan dibalik kerusuhan. Penulis yakin masih banyak polisi-polisi yang memiliki jiwa besar dalam melihat keragaman di negeri kita. Dan akhirnya penulis justru berharap banyak dari segenap masyarakat untuk menanamkan sikap siap bertoleransi terhadap kebhineka-an Indonesia.
*Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga
Teguh Indonesia
Jeng Reni dan Ke-bhineka-an
Oleh: Teguh Estro* Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni atau sering dikenal Jeng Reni. Beberapa bulan lalu menggegerkan t...
Teguh Estro
Selasa, 31 Januari 2012