Foto.detik.com
Oleh: Teguh Estro*
Sepertinya chaos di berbagai penjuru tanah air kian marak dan meruncing. Mulai dari seteru PEMILUKADA, disintegrasi, sengketa lahan hingga konflik antar etnis. Tampaknya Indonesia tengah ‘diuji’ terkait kedewasaan hidup sebagai negara bangsa. Kian sedikit manusia yang siap tepo seliro terhadap ratusan keragaman di nusantara. Seiring itu, begitu mudahnya api amarah tersulut di masyarakat akar rumput. Kalau dulu jelas perpecahan bangsa yang terjadi akibat ulah kompeni dengan politik pecah-belah nya. Namun sekarang pertumpahan darah justru dilakoni oleh sesama bangsa sendiri.
Indonesia kerap disebut sebagai negara besar atau setidaknya dulu pernah besar. Para founding fathers bangsa ini pun sudah kadung menyepakati bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdirinya republik ini bukanlah sebuah hadiah yang secara instan atau tiba-tiba. Kemerdekaan kita sejatinya karunia yang didapat melalui perjuangan, atau lebih tepatnya pengorbanan. Dan perlu diketahui pula, sebenarnya para pendahulu kita juga tersimpan konflik sesama mereka. Semisal Presiden Soekarno pernah bersitegang dengan Jenderal Soedirman, Muhammad Natsir bahkan Muhammad Hatta sekalipun. Tidak perlu ditutup-tutupi bagaimana panasnya seteru H.O.S Cokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara dalam berjuang membangun bangsa ini. Akan tetapi mereka semua memiliki jiwa besar untuk lebih mengutamakan kesatuan negara tinimbang kepentingan individu. Hasrat berkorban demi kemerdekaan ternyata telah merasuk terlalu dalam ke jiwa mereka. Itulah sifat seorang negarawan yang kini kian menghilang.
Negarawan sayangnya terlanjur diidentikkan dengan sikap patriot yang dimiiki para pucuk pimpinan negara saja. Itu tidaklah sepenuhnya salah, pasalnya sikap tersebut memang sangat urgent dimiliki oleh pemerintah. Akan tetapi alangkah luar biasanya jika setiap lapisan masyarakat berlomba-lomba memberikan pengorbanan untuk negara. Karena sikap negarawan sejatinya puncak kepribadian yang harus menjelma dalam watak setiap warga negara. Seorang tukang parkir yang negarawan, bertanggung jawab di setiap jengkal ‘tanah air’ yang ia jaga. Atlet nasional yang negarawan, siap berjuang mati-matian serta berlatih siang dan malam demi kejayaan sang merah-putih. Pak RT yang negarawan, rela menjadi ujung tombak sekaligus ujung tombok dalam mengayomi warga kampungnya. Guru SD yang negarawan, kudu rela mendidik calon-calon pemimpin bangsa senakal apapun mereka. Sehingga kita memaknai betul akan semangat patriotik bagi seluruh kalangan masyarakat.
Kebuntuan pemerintah pusat dalam menangani beberapa provinsi juga menjadi biang keladi gejolak di daerah. Semisal kurang meratanya kesejahteraan sosial antar daerah, baik di Indonesia barat ataupun timur. Ataupun adanya ancaman disintegrasi yang diatasi dengan destruktif-militeristik. Termasuk persoalan korupsi yang menjangkiti semua kalangan sampai ke eselon pemerintahan terbawah sekalipun. Kekhawtirannya jika problem di daerah kurang terawasi, maka bisa memunculkan sikap primordial yang kebablasan. Kita sangat membutuhkan sosok negarawan yang mampu menemukan akar masalahnya.
Saat ini persespsi kita harus segera berubah mengenai siapa sosok negarawan. Tidaklah selamanya negarawan itu identik dengan presiden. Bukankah dahulu banyak para pahlawan yang justru muncul dari daerah-daerah. Mereka kadang ‘diembargo’ secara politik, sosial dan ekonomi oleh kaum londo. Akan tetapi dengan sikap kenegarawan-an, membuat mereka tidak akan menyerah sampai benar-benar kehilangan nyawa. Begitupun di era reformasi ini. Bukan tidak mustahil akan muncul para pahlawan baru yang justru berasal dari daerah-daerah terpencil. Semisal seorang teknorat negarawan, bisa saja muncul dari SMK di pelosok desa tertinggal. Atau akan hadir sosok ekonom yang lahir dari pondok pesantren di kampung-kampung. Sudah saatnya praktek kenegaraan setiap masyarakat memberikan kontribusinya, meski harus berkorban harta dan waktu. Termasuk diantaranya menghargai jerih payah produksi anak negeri.
*Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga
Teguh Indonesia
Tidak ada komentar