Oleh: Teguh Estro*
Baiklah, mengaku
sajalah. Ini kali pertama penulis membuat tulisan melankolik. Terpaksa, ‘genre’
perlawanan yang biasanya menjadi pakem beropini, menyisih sudah. Hanya saja,
ada semacam keganjilan menilik kaum muda akhir-akhir ini. Kehadiran mereka
sungguh menyedihkan laiknya kembang api di pasaran. Mengudara dengan ledakan
ringan, setelah itu terlupakan dan merana. Sungguh esensinya hanyalah sejenis
benda peledak, serupa (walau beda kelas) dengan bom atom. Kendati tidak adil juga
andaikan mengambil peledak yang sudah merobek kota lumbung pangan (Hiroshima
& Nagasaki) sebagai pembanding.
Dalam hal ini mari
kita mengarahkan fokus pada pembahasan kaum muda yang bernaung di kampus.
Langsung saja, mahasiswa sebenarnya tidak ada perubahan pada ‘wajah lamanya’
seperti dahulu. Dengan varian kelasnya,
mereka tetap melakukan aktualisasi dengan caranya masing-masing. Lihatlah
aktivis pergerakan, tetap eksis dengan aksi demonstratsinya. Begitupun
rekan-rekan akademisi, lebih berpacu mencari terobosan-terobosan. Sama halnya
mahasiswa yang menyalurkan potensi dan bakat baik di bidang olah-raga, olah-vokal
ataupun olah-rupiah. Akan tetapi dalam pandangan subyektif penulis, serasa ada
yang kian ditinggalkan oleh kaum muda dan Mahasiswa. Yakni kemampuan ‘menalar
sejenak’. Semoga tulisan ini membantu kita untuk menalar sejenak.
Mahasiswa terlalu
mudah meledak-ledak, kendatipun mudah pula dilupakan sejarah. Secara nalar,
petasan dengan berbahan ledak ringan, murah-meriah dan asal-asalan memang
begitulah. Kontras dengan bom atom (a-tomic bomb) yang berdaya ledak jutaan ton
TNT. Jenis ini diramu dari zat uranium dalam kurun yang tidak (boleh) sebentar,
biaya super mahal serta melalui banyak uji coba. Dan hasilnya spektakuler,
sebuah ledakan yang berimbas jauh sampai ke masa depan. Lantas mahasiswa? Mereka
sangat mungkin berdentum hebat melalui gagasannya. Sebut saja Mohammad Hatta,
‘bapak koperasi’ kita. Ia salah satu pendiri bangsa yang berciri khas
ide-idenya begitu melampaui zaman. Koperasi, KMB dan demokrasi parlementer
adalah hasil gagasannya yang terlihat saja. Silahkan mengagumi itu, tapi
seyogyanya kita lebih angkat topi terhadap proses tempa-diri seorang Hatta.
Tentu saja penempaan dalam kurun yang tidak (boleh) sebentar, biaya super mahal
serta melalui banyak uji coba. Wakil presiden pertama Indonesia ini memiliki
sikap tenang dan sangat hati-hati. Ia mungkin pemikir paling logis dan paling
luas bacaannya di antara para tokoh nasionalis sebelum perang kmerdekaan.
Mohammad Hatta,
Muda, Mahasiswa Paling Lama.
Sejak berusia 16
tahun, sosok kelahiran kota Bukit Tinggi ini telah dipercaya sebagai bendahara Jong
Sumatranen Bond cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimba pengetahuan
perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca
berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia.
Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam
surat kabar Utusan Hindia, dan Agus
Salim dalam Neratja. Kesadaran politik Hatta makin berkembang
karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan
politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul
Moeis. Pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk
belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris:
Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus).
Selama 11 tahun
menetap di negeri kincir, ia mempergunakan kesempatan untuk memperluas
pengetahuannya, membaca masalah-masalah politik dan sosial mutakhir, serta
menguasai teori marxis yang saat itu menarik seluruh cendekiawan Eropa. Ia juga
terlibat dalam perdebatan politik dengan tokoh sosialis (dan komunis) Eropa.
Sehingga turut membentuk nalar-ideologisnya. “…Hatta merupakan pembaca yang
ulung. Sampai ada anekdot, bahwa istri utamanya adalah buku, keduanya, juga
demikian, sedangkan yang ketiga, adalah Siti Rahmi. Kecintaannya pada buku
tertanam begitu kuat. Sepanjang hidupnya Hatta
akhirnya mampu mengoleksi puluhan ribu buku dan menjadi salah satu
sumber informasi paling berharga untuk memotret perjalanan bangsa ini…” (Agung
Baskoro : 2011)[1]
[1] Agung Baskoro (Pemenang The Next Leader Indonesia versi Metro TV- Lead Institute Paramadina tahun 2009)
Bacaan:
Artikel John Ingleson dengan Judul Mohammad hatta Cendekiawan, Aktivis, dan Politikus
Artikel Agung Baskoro dengan judul "Bacalah!"
Tidak ada komentar