Oleh: Teguh
Estro*
Great Depression 1930 & lahirnya IMF
Kejadian ekonomi
dunia yang memiliki dampak paling mengerikan adalah Great Depression tahun
1930-an. Kejadian ini membuat trauma satu generasi Amerika dan menyebabkan
bangkitnya Nazisme di Jerman dan militerisme di Jepang.
Ledakan moneter ini
dipicu oleh suku bunga yang terus konsisten pada poin rendah. Hal ini
mengundang para pialang meminjam saham secara berbondong-bondong dari angka 5
Juta dollar pada tahun 1928 menjadi 850 juta dollar pada September 1929.
Khawatir ‘gelembung’’itu akan pecah, Bank Sentral AS berusaha mengekang
spekulasi saham dengan menaikkan suku bunga, sehingga kian mahal bagi
orang-orang meminjam uang. Namun, naiknya suku bunga mendorong
perusahaan-perusahaan untuk mengurangi pengeluaran, produksi dan pekerjaan.
Kemudian pada 24 Oktober 1929 jumah saham yang berpindah mencapai rekor. Banyak
investor panik untuk menjual saham sebelum harga makin melorot. Menjelang siang
hari, pasar bunga di Chicago dan buffalo sudah tutup, dan 11 spekulan
melakukan bunuh diri. Pada bulan Juni 1931, 18 Bank di Chicago
bangkrut. Pada tahun 1933 sekitar 11.000 dari 25.000 bank Amerika gagal.
‘Depresi Besar’
dalam waktu singkat menyambar benua Eropa. Tingkat ketergantungan yang tinggi
berakibat depresi cepat menyeberangi Atlantik. Amerika serikat keluar dari
perang sebagai pembiaya utama dan sumber pinjaman bagi Eropa. Ketika ekonomi AS
jatuh, investasi Amerika dan pinjaman ke Eropa berhenti. Pada Juni 1930 bank
raksasa Austria Creditanstalt ambruk. Jerman yang mengalami
pesakitan setelah Perang Dunia betul-betul bergantung pada pinjaman Amerika
Serikat. Begitupun Inggris yang kudu mengembalikan
hutang-hutang selama perang. Setelah kucuran dana dari amerika mengering,
Jerman dan Inggris paling menderita akibat great depression. Pada
20 September 1931, Inggrs meninggalkan standar emas, sehingga memicu kepanikan
di Eropa ketika bank-bank berusaha menjual pound Inggris karena menduga
nilainya akan jatuh. Di Jepang, pasar ekspor negara itu kian menyusut,
dan pengangguran bertambah di industri-industri seperti pembuatan sutera.
Franklin D.
Roosevelt, Presiden terpilih AS tahun 1932, berusaha mengakhiri depresi di
dalam negeri dengan reformasi ekonomi dan sosial secara kolektif disebut new
deal. Depresi bertahan sampai Perang Dunia II ketika kombinasi wajib
militer dan defisit anggaran mengakhiri tingginya pengangguran dan meningkatkan
produktifitas industri. Pengalaman Depresi Besar mendorong para pemimpin dunia
untuk mendirikan lembaga-lembaga ekonomi pada akhir perang dunia II. Usaha ini
juga digagas dalam rangka meningkatkan kerjasama dan mengurangi kebijakan
mempermiskin negara tetangga.
White (kiri) dan Keynes (kanan) |
Track Record IMF dalam Pemulihan Moneter
Ada dua badai ekonomi yang betul-betul menampakkan peran IMF.
Antara lain, krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan krisis ekonomi Eropa
akhir-akhir ini. Krisis Asia yang diawali dari kejatuhan Bank Finance
One, bank terbesar di Thailand. Membuat nilai kurs baht anjlok
dan para spekulan berbondong-bondong menjual baht dan
memborong dollar AS. Sehingga kekacauan moneter di Bangkok menjalar secara
cepat. Malaysia, Korea selatan termasuk Indonesia yang terkena dampak krisis
Asia.
Thailand memutuskan menjadi ‘klien’ bagi IMF pada tanggal 18
Agustus 1998. Terdapat delapan Letter of Intent(LoI) yang
ditandatangani Perdana Menteri Chuan Leekpai. Perdana Menteri
Chuan Leekpai dari Thailand yang semula mengikuti
resep IMF dan banyak dipuji oleh kreditor
akhirnya justru 'digulingkan' oleh rakyat melalui
pemilu yang memilih PM Thaksin secara
mutlak. Dengan mandat kemenangan yang besar, Thaksin
dengan cepat mengubah kebijakan yang tadinya
pro-IMF menjadi pro rakyat dan ternyata hasilnya sangat
menggembirakan baik dari segi pertumbuhan ekonomi, investasi maupun
penciptaan lapangan kerja.
Kebijakan ekstrim yang dicanangkan IMF yakni membuka perekonomian
negeri seribu pagoda itu dengan cepat bagi modal asing pada 24 Februari 1998.
Berikutya hanya untuk mendapat trust dari dunia Internasional,
IMF mengusulkan privatisasi perusahaan-perusahaan publik secara cepat. Alhasil,
Pemerintah Thailand mendapat banyak tekanan politik. Kaum bisnis memprotes
bahwa kebijakan IMF mengabaikan perekonomin riil. Petani-petani, NGO dan para
aktifis berargumen bahwa program tersebut hanya rich people oriented.
Cerita serupa dialami oleh Korea Selatan. Mata uang Won Korea jatuh
terhadap Dollar AS. November 1997, dari 900 Won per satuan Dollar menjadi 2000
Won per satuan Dollar. Selanjutnya pada tanggal 3 Desember 1997, ‘Negeri
Ginseng’ ini akhirnya meminta bantuan IMF. Korea Selatan dalam hal ini,
menjadi contoh sukses negara yang berhasil keluar dari krisis dengan gemilang
melalui bantuan IMF. Hal ini karena ditunjang oleh etos pemerintah
yang berhasil dalam pelaksanaan good governance. Peningkatan
transparansi dan efesiensi antara pemerintah, bank dan sektor usaha. Begitupun
pemerintah begitu anti terhadap Nepotisme dengan adanya konsistensi
mengamputasi dominasi Chaebol (konglomerat) yang telah dimulai
sejak tahun 1990-an di masa Presiden Kim Young Sam.
Persinggahan IMF ke Jakarta
Sebelum adanya IMF, Indonesia bukanlah negara yang ‘baru’ bagi
kekuatan ekonomi asing. Pada abad ke-17 para pedagang Belanda membentuk Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC). Sistem prakapitalis itu mencapai
puncaknya dalam periode 1830-1870 di Jawa. Mulai pertengahan abad ke-19 sifat
perdagangan ekonomi kolonial memunculkan perubahan yang berkembang ke arah
perusahaan kapitalis.
Secara garis besar para pemodal pada masa kolonialisme ada kelompok
pribumi, kelompok orang Cina dan modal Asing. Antara tahun 1929 dan 1939 telah
diinvestasikan 25 juta Gulden dalam industri. 15,5% dari Belanda, 23,5% dari
Cina dan Pribumi, dan 61% dari Inggris. Pengusaha Inggris dan Amerika
Serikat memusatkan diri pada perkebunan besar, tambang minyak dan dalam usaha
dalam skala besar seperti pabrik perakitan milik General Motor,
pabrik karet, ban Goodyear, pabrik semen Padang dan Sabun Unilever.
Pada era bung Karno, tepatnya tahun 1949, pemerintah megambil alih Java
Bank (milik Belanda) dan merubahnya menjadi Bank Indonesia. Dalam
rangkaian ini dibentuk pula dua bank pemerntah: Bank Industri Negara (BIN) yang
membiayai proyek-proyek industri dan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank
devisa dan pembiayaan impor. Akan tetapi pemerintah orde lama tetap menjadikan
modal asing dan perusahaan asing sebagai motor pembangunan. Pada tahun 1952, Sjafrudin
Prawiranegara (ekonom Masjumi) mengungkapkan bahwa invetasi modal
asing harus menjadi komponen yang menentukan sampai kapasitas produksi
berdasarkan modal nasional tercapai.
Pada akhir riwayatnya, orde lama melakukan ‘blunder’ dalam penataan
ekonomi. Yakni, mental kapitalis sudah menjalar para birokrat yang
didominasi oleh militer. Kaum ‘kapitalis birokrat’ ini menduduki perusahaan
atau aset lainnya milik negara. Semua perusahaan niliter secara
besar-besaran melakukan penyelundupan dan perdagangan gelap, terutama selama
konfrontasi dengan Malaysia.
Pada masa pak Harto, pemerintah cenderung lebih banyak ‘bergaul’
secara ekonomi kepada pihak asing. Langkah paling fundamental yang diambil
rezim orde baru sesudah tahun 1965 ialah sederhana saja: membuat kondisi agar
modal Internasional masuk kembali. Sampai pertengahn 1970-an kaum teknokrat
(cendekiawan ekonomi) mengacu pada bentuk pasar bebas. Ekonomi pintu
terbuka yang dianjurkan oleh ekonom liberal ortodoks barat, umumnya dan khususnya
oleh IMF, World Bank dan IGGI (Inter-governmental
Group on Indonesia ; yang beranggotakan negara-negara industri maju). Peran
IMF lebih terasa saat resesi dunia melanda Indonesia akibat lonjakan harga
minyak dunia tahun 1980-an. Didalamnya para teknokrat menjadi budak
ideologi AS, World Bank (IBRD pada saat itu) ataupun IMF.
IMF dianggap terlalu berlebihan dalam ‘mengobok-obok’ internal
ekonomi Indonesia. Sebuah perseteruan antara IMF dan Pertamina begitu kental di
tahun 1972. Dr. Ibnu Sutowo, Presiden Direktur Pertamina pada masa itu mencoba
mengalihkan sumber modal asing kepada Jepang. Kelompok Pertamina mencoba
‘menjajal’ mitra Internasional baru diluar IMF & IGGI, dalam hal ini
Jepang. Di sisi lain Ali Murtopo, kepala Operasi Khusus (OPSUS, semacam Badan
Intelijen) sedang giat melakukan kerjasama ‘Poros Segitiga Asia Pasifik’
menghubungkan Jepang, Indonesia dan Australia. Tentu saja hal ini membuat IMF
merasa terabaikan. Apalagi Presiden Soeharto mulai mendukung arus
nasionalisme ekonomi arahan Ibnu Sutowo. Akhirnya pada tahun 1972 IMF
mendesak dengan kuat bahwa korporasi negara Indonesia dibatasi kapasitasnya
dalam melakukan utang luar negeri antara satu sampai 15 tahun.
Akhirnya Ibnu Sutowo mulai mengendur seiring desakan demonstrasi
mahasiswa yang menentang kebijakan kebergantungan Indonesia kepada Jepang. Hal
ini tidak lain karena pribadi Ibnu Sutowo yang dianggap sebagai Jenderal yang
begitu mondominasi Pertamina. Ia dianggap telah banyak melakukan kong-kalikong dengan
jenderal-jenderal lainnya sampai dianggap “raja minyak Indonesia” pada saat
itu. Ia hidup begitu borjuis bergelimang harta dan kemewahan. Pada periode
berikutnya ekonomi Indonesia digenggam oleh korporat-korporat domestik.
Jatuhnya Orde Baru, IMF Menjadi ‘Ratu’
Sampailah pada akhirnya meletus krisis ekonomi Asia pada tahun
1997. Dan lagi-lagi IMF ‘mengobok-obok’ terlalu dalam kebijakan ekonomi dalam
negeri. Pada tanggal 5 November 1997, perjanjian dengan IMF resmi disepakati
dengan paket pinjaman US$ 40 Milyar. Namun konsekuensi dari paket IMF ini,
pemerintah Indonesia harus mengikuti program-program yang diajukan oleh lembaga
yang sekarang dipimpin oleh Christine Lagarde dari Perancis ini. Antara lain,
privatisasi, pengurangan subsidi yang diberikan pemerintah dan liberalisasi
keuangan.
Pada 31 Oktober 1997 akhirnya disepakati Letter of Intent (LoI)
pertama berisi perjanjian selama 3 tahun untuk bantuan dana sebesar 7,3 Milyar
Dollar AS. Pada awal tahun 1998, Indeks Harga konsumen meningkat disertai
dengan depresiasi Rupiah dan membuat harga bahan pokok naik. Permasalahan
mendasar adalah seringkali IMF menerapkan kebijakan yang sama pada semua negara
tanpa melihat karakteristik perekonomian dan kondisi sosial politik tiap
negara.
IMF melalui serangkaian Memorandum of Understanding (MoU)
dan Letter of Intents (LoI) telah memaksa terjadinya liberalisasi
finansial maupun perusahaan. Privatisasi BUMN Strategis seperti Telkom berikut
penghapusan subsidi BBM. Jatuhnya tampuk kuasa Jenderal Soharto bukan berarti
IMF turut pergi. Justru Habibie memperpanjang kontrak dengan lembaga dunia yang
bermarkas di Washington D.C ini. Kedekatan hubungan antara Habibie dengan
Hurbert Neiss, direktur IMF untuk Asia Pasifik menjadi awal mulusnya usaha IMF.
Pada LoI bulan juni-November 1998 IMF mendesak adanya
pengetatan anggaran, pembatalan proyek-proyek infrastruktur.
Pada masa kepemimpinan Gus dur, pemerintah telah
mempersiapkan privatisasi BUMN-BUMN besar antara lain PT Telkom yang
telah dirancang sebelumnya, PT. Indosat, PT. Pupuk Kaltim, PT. Indofrma dan
Perusahaan Konsesi bandara Soekarno-Hatta. Kendati demikian IMF kerap
menunda pencairan dana dengan alasan kegagalan kabinet Gus dur dalam
memenuhi target-target ekonomi yang diajukan IMF. Setelah berbulan-bulan
mengalami periode ketidakpastian dalam era Abdurrahman Wachid ini akhirnya
berujung pemecatan Presiden dalam Sidang Istimewa MPR RI.
Ketika Megawati menjadi Presiden RI, terdapat pertentangan internal
pemerintah terkait apakah diperlukan perpanjangan kontrak paket bantuan IMF.
Pertentangan ini terjadi antara ekonom dalam kabinet Megawati dan Ekonom di luar
kabinet. Baik Menko, Menkeu dan Gubernur BI bahwa perpanjangan kontrak
diperlukan paling tidak satu tahun. Sedangkan tokoh Rizal Ramli menilai
otoritas IMF telah menyebabkan ketidakstabilan finansial dan pembebanan APBN.
------------------
Daftar Pustaka:
W. Masbach, Richard & Kirsten L. Rafferty. 2012. Pengantar
Politik Global. Bandung ; Nusamedia.
Syamsul Hadi dkk. 2004. Strtegi Pembangunan Indonesia Pasca
IMF. Jakarta ; Granit
Robinson, Richard. 2012. Soeharto & Bangkitnya
Kapitalisme Indonesia. Jakarta; Komunitas Bambu.
Tidak ada komentar