Perjuangan Karier Sang ‘Santan’
Teguh Estro
Kamis, 01 Agustus 2013
|
http://yoogho.com/yoogho/media/170302.jpg |
Oleh: Teguh Estro
Bagi pembaca yang
menjadi penggemar Stand Up Comedy Indonesia pasti mengenali sosok Fico.
Pria tambun dengan kelucuan diatas rata-rata. Salah satu ciri khas nya dalam
menyampaikan materi comedy dengan cara observasi hal-hal yang bersifat Absurd.
Semisal ia pernah membuat geli pendengar saat menceritakan tentang robot.
Selanjutnya ia juga memaparkan tentang botol kecap yang membuat penonton
kembali terpingkal-pingkal. Sampai-sampai Raditya Dika menuduh Fico menggunakan
ilmu hitam dalam melawak. Mungkin sih…
Adakalanya sesuatu
hal yang Absurd justru bisa dengan mudah dicerna oleh kita. Ada ragam
pelajaran bernilai dari kejadian-kejadian Absurd di alam raya ini. Salah
satunya adalah mengenai Santan. Cairan putih seperti susu yang
berasal dari saripati kelapa. Coba kita renungkan ada filosofi luar biasa dari ‘perjalanan
karier’ sesosok santan. Sebelum menjadi suskses menjadi sesosok santan,
dahulunya ia hanyalah sebuah partikel yang berasal dari kampung ‘antah barantah’.
Maklum, biasanya pohon kelapa adanya di kampung-kampung pinggir pantai.
Seorang petani
kelapa sejak pagi telah berniat membawa sebuah golok besar untuk memanjat pohon
kelapa. Sesampainya di atas ia melihat gerombolan kelapa yang siap dijadikan
mangsa. Mula-mula ia arahkan mata bilah golok tersebut memangkas dahan-dahan
kelapa yang mengganggu. Barulah ia bisa menjamah dan mendekati buah kelapa dan
memelintir dengan paksa agar buah tersebut putus dari tangkainya. Kelapa tersebut
begitu tersiksa ia diputar-putar memusingkan kepala. Sampai akhirnya putus juga
tangkai itu, akhirnya ia pasrah jatuh dari ketinggian yang membuat
tulang-belulangnya remuk. Ternyata bukan hanya dia, tetapi rekan-rekan
sepermainannya juga satu-per satu dijatuhkan dengan paksa.
Penderitaan belum
selesai sampai disitu. Ia dan beberapa temannya diseret oleh petani lainnya
menuju tanah lapang untuk dijemur dari pagi hingga senja tiba. Penyiksaan ini
membuat ia benar-benar keletihan tanpa tenaga. Barulah setelah lama, ia dibawa
ke dalam dapur dan diletakkan begitu saja tanpa perasaan. Pada pagi harinya
kelapa ini terbangunkan karena kembali ia diseret ke luar rumah. Dan mereka
dibariskan berjejer. Ternyata ini adalah saat yang begitu tragis. Ia melihat
teman-temannya dibelah dengan golok dan dikupas kulit-kulitnya juga serabutyang
selama ini melindungi ditarik keluar hingga lepas dari lapisan batok kelapa. Hingga
sampailah pada gilirannya sang kelapa hanya pasrah menitikkan air mata. Ia dikuliti
dengan ganas lalu dilempar bertumpukkan dengan rekan-rekan lainnya. Namun penyiksaan
belum usai.
Satu demi satu
golok yang menakutkan tersebut mengupas kulit batok kelapa yang keras itu
hingga membuat daging-daging putih mereka keluar. Pembantaian ini sangat
menyakitkan serasa hidup sudah tiada artinya. Kini mereka sudah tak berkulit
lagi, hanya seonggok daging kelapa yang lemah dan tak bertenaga. Seolah belum
puas dengan rentetan penyiksaan tersebut, para petani begitu tega membelah
tubuh mereka menjadi kepingan-kepingan kecil. sampai akhirnya kepingan-kepingan
daging tersebut dikumpulkan bagai benda tak berharga di dalam karung. Namun pesakitan
belum berhenti begitu saja.
Sore harinya
kepingan-kepingan kelapa itu kembali disiksa secara mengenaskan. Mereka ditumpukkan
dalam sebuah ember besar dan dihadapkan pada papan besi penuh dengan paku tajam di salah satu penampangnya. Ternyata mereka
satu per satu diparut hingga habislah daging kelapa itu menjadi serbuk-serbuk
kecil. berjam-jam itu dilakukan dengan tak berperasaan. Petani-petani pembunuh
itu sedikitpun tak mempedulikan keadaan sang kelapa. Menjadilah serbuk-serbuk
putih tersebut dikumpulkan lalu dibagikan dalam beberapa ember-ember kecil. Mereka
disiram dengan air panas membuat luka-luka menjadi perih terasa. Sangat pedih. Lama
mereka direndam sampai air terasa dingin.
Ternyata penyiksaan berlanjut
kembali. Serbuk kelapa yang telah bercampur air diperas dengan kedua tangan
kekar. Sakit rasanya tercekik begitu kuat hingga pucat-pasi. Tidak begitu lama
dari butiran serbuk tadi muncullah cairan putih yang dinamakan santan. Sang santan
menggenang memenuhi seisi ember itu sudah dalam puncak keletihannya. Namun tak
dinyangka setelah berwujud santan ini ia malah mendapat selembar senyum bahagia
dari para petani. Sebuah pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Senyum petani itu
begitu mencurigakan, membuat santan merasa tidak enak dibuatnya. Petani tersebut
kemudian memasukkan sedikit demi sedikit santan ke dalam bungkus plastik yang
terlihat eksotis dan eksklusif. Ternyata sang santan masih menaruh curiga,
sampai akhirnya ternyata ia dibawa kepasar untuk diperjual-belikan. Apakah ini
perdagangan illegal? Di dalam batin sang santan terus bertanya-tanya.
Akhirnya dibalik
senyum manis sang petani, barulah ia tahu kalau ia hendak dijual kepada manusia
lainnya. Namun anehnya sang pembeli juga terlihat tersenyum melakukan
tawar-menawar. Santan tetap seksama mengamati percakapan tersebut. Rupanya benar,
ia akan segera dibawa oleh pemilik baru ke rumahnya. Di perjalanan ia hanya diam
dan berpikir mau diapakan lagi setelah ini. Ia juga mengingat-ingat kembali
penyiksaan demi penyiksaan yang ia alami beberapa hari terakhir dan sungguh
perjalan yang melelahkan. *Cukup Ceritanya.
Nah, pembaca
tahukah betapa pentingya santan dalam racikan bumbu masakan. Kita sudah
mengetahui betapa berat perjuangan santan. Bahkan perannya sangatlah vital dalam
membuat masakan menjadi enak. Apa jadinya bila membuat rendang yang konon
telah menjadi masakan terlezat sedunia bila tanpa disertai santan di dalamnya. Begitu
pun masakan opor yang memanjakan lidah begitu enaknya, tdak lepas dari peran
vital santan. Namun, apa yang terjadi setelah ia berjuang begitu keras seperti
itu. Orang-orang sedikitpun tidak memperdulikan eksistensinya. Tidak ada
satupun orang yang memuji enaknya makanan karena santan. Tapi untungnya santan
yang sudah matang dalam mengarungi kesulitan hidup itu justru berjiwa besar. Ia
tidak mempedulikan orang-orang yang tidak mempedulikannya. Karena ia tidak
mengejar popularitas.
Biarlah daging, telur dan sayur mayor yang dikenal banyak orang. Ia
cukup bekerja dan bekerja melakukan yang terbaik dalam hidupnya dan memberikan
banyak manfaat. Santan akhirnya mulai belajar untuk ikhlas dalam bekerja. Ia harus
terus berbuat semaksimal melalui penderitaan dan penyiksaan untuk berhasil,
meskipun jauh dari popularitas.
http://yoogho.com/yoogho/media/170302.jpg Oleh: Teguh Estro Bagi pembaca yang menjadi penggemar Stand Up...