Oleh: Teguh Estro*
Segenap segmen
masyarakat memiliki ragam respon terhadap pencanangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
2015 kelak. Sebagian optimis melirik terbukanya pasar baru bagi ragam komoditas
industri domestik. Sebagian lagi keluhkan kurangnya daya saing Indonesia
terhadap produk negara-negara jiran. Terlepas dari pro dan kontra tersebut,
waktu terus berjalan menyongsong MEA yang telah dicetuskan sejak 2003 silam.
Secara peringkat
ekspor-impor kawasan, Indonesia masih tertinggal dengan Singapura dan Malaysia.
Singapura berada pada level 31,8%, Malaysia 29% dan Indonesia di peringkat tiga
sejumlah 26%. Kondisi ini akan menjadi pesakitan bagi Indonesia bilamana tidak
memiliki keunggulan komparatif terhadap produk negara-negara ASEAN. Pasalnya,
sampai sejauh ini ‘jualan’ yang ditawarkan masing-masing pihak masih memiliki
kesamaan produk. Inilah yang mengkhawatirkan akan munculnya kompetisi dagang
tanpa adanya resiprositas.
Indonesia memiliki
pengalaman buruk di era Soekarno dalam hal kerjasama kawasan. Dengan merapatnya
bung Karno pada poros Beijing membuat kita terkucil dari pergaulan kawasan. Di
sisi lain kedekatan dengan negara-negara sosialis tak lebih dari jargon-jargon
semata. Bahkan anggaran negara terkuras sebab kebijakan militer konfrontasi
dengan Malaysia dan Singapura. Oleh karenanya salah satu pertimbangan untuk
menyukseskan MEA adalah membangun keharmonisan kawasan. Mengingat banyak kawasan
lain yang harus membayar terlalu mahal harga sebuah kondusifitas. Sebut saja
Uni Eropa yang sempat mengalami resesi yang berawal dari utang macet di Yunani.
Dan parahnya merambat krisis ke negara lainnya. Begitupun kondusifitas di timur
tengah yang harus dibayar dengan ongkos minyak dunia kian melonjak. Belajar
dari sana, Indonesia yang masih tertatih membangun ekonomi dalam negeri,
membutuhkan kondusifitas kawasan. Mengingat konflik antar negara juga kerap
menjadi sandungan ekonomi ASEAN.
Singapura dan Malaysia Pesaingkah?
Daya saing
Indonesia, menurut indeks daya saing global pada tahun 2010 pada urutan 75.
Jauh berada diatas yakni Singapura berada pada urutan ke-2 di dunia, Malaysia
29, Filiphina 44 dan Vietnam 53. Sehingga kekhawatiran terhadap defisit
perdagangan dirasa cukup beralasan. Karena boleh jadi ketika terjadi
‘liberalisasi’ perdagangan justru produsen besar saja lah yang mampu
mendominasi. Industri-industri lokal akan bersaing lahan pasar dengan industri
luar yang sudah mapan. Hal ini seharusnya dihitung secara matang oleh pengambil
kebijakan. Sebagai mana yang diungkapkan oleh Martin Khor dalam bukunya Memperdagangkan
Kedaulatan: Free Trade Agreement dan Nasib Bangsa:
“…Alasan utama adalah liberalisasi
yang sedemikian cepat menimbulkan lonjakan impor di banyak negara berkembang,
dengan dampak negatif pada sektor industry dan pertanian lokal, serta neraca
pembayaran dan situasi hutang…”
Persiapan
menjelang MEA tahun 2015 bukan sekedar mempush kuantitas produksi saja.
Akan tetapi kreatifitas produk yang berbeda dari negara lain. Karena bila
komoditas primer kita masih tetap sama dengan negara lain pengalaman-pengalaman
sebelumnya akan kalah bersaing. Dan akhirnya neraca perdagangan kembali
defisit, karena justru Indonesia lebih banyak mengimpor. lihat saja neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN yang didominasi defisit anggaran. Perdagangan Indonesia
dengan Brunai defisit 281,7 juta dollar AS. Terhadap Malaysia defisit 511,3
juta dollar AS, terhadap Singapura defisit 707,9 juta dollar AS, terhadap
Thailand defisit 721,4 juta dollar AS bahkan terhadap Vietnam defisit 157,5
dollar AS. Hal ini tidak akan terjadi apabila dari sekarang Indonesia mampu
mengcreate produk yang memiliki nilai komparatif. Dalam artian berbeda
dengan komoditas primer dari negara lain. Dan tentu saja harapannya bukan dari
sektor migas.
Dalam buku Reformasi
Indonesia karya Widoyo Alfandi mengungkapkan mengenai Singapura di ASEAN;
“Negara yang paling menikmati
organisasi ASEAN di bidang perdagangan adalah Singapura. Di bidang kesejahteraan
sosial ekonomi urutan teratas diduduki oleh Singapura, walaupun negara kecil
dan tidak memiliki sumber daya alam, tetapi rakyatnya relatif kesejahteraannya
lebih terjamin….”
Singapura
memanfaatkan arus transportasi perdagangan ASEAN melalui selat malaka. Dan jasa
sebagai negara transit benar-benar keunggulan usaha jasa kelas internasional
yang tidak dimiliki negara lain. Inilah yang membuat Singapura benar-benar
hidup sebagai kota transit perdagangan. Akan tetapi lain lagi ceritanya apabila
di kawasan timur Indonesia memiliki pelabuhan transit yang memotong rute dagang
Cina, Jepang, Filiphina menuju Australia. Sehingga akhirnya tidak perlu melalui
Singapura lagi. Tentu saja bukan sekedar infrastruktur yang berkelas
internasional. Akan tetapi dibutuhkan pula masyarakat yang memiliki habit
professional dalam pelayanan.
Filiphina dulu
sempat menjadi pionir beras di ASEAN bahkan Indonesia kerap menjadi langganan importir.
Namun akhir-akhir ini antara Indonesia, Vietnam, Thailand dan Filiphina sudah
bisa bersaing, karena sama-sama kuat secara ketahanan pangan. Satu hal yang
harus diingat, secara produktifitas mungkin Indonesia tengah naik-naiknya saat
ini. Namun tetap saja hal tersebut cukup minim bila dibandingkan jumlah ratusan
juta perut yang harus jadi pembaginya.
Maaf kang, kalau menurut ane membandingkan Indonesia dengan Singapore itu bukan sesuatu yang relevan. Karena banyak faktor yang berbeda, dari luas negara misalnya. Kenapa tidak sekalian dibandingkan dengan rata-rata ekspor ataupun impor ASEAN?
BalasHapus