Oleh: Teguh Estro
(Cerpen inspiratif)
(Cerpen inspiratif)
“Pokoknya kita putus, titik…..”
Hening menyesak penuhi dadaku mendengar ucapan Hanung barusan. Serasa diriku ini gadis paling sial di dunia. Semakin jauh langkah pria paling romantis yang pernah kukenal itu. Adakah dia berbalik badan padaku. Sudahlah, kupaksakan diri ini menapaki jalan lain. Jalan tanpa awan keceriaan seperti biasa. Gelanyut kehinaan menemani langkah gontaiku pulang sekolah sore ini.
“Wulan, kok pulangnya agak sore” Sapa ibuku terheran karena sedari pagar rumah tadi, muka anak pertamanya ini nampak padam. Tiada terpancar aura kegenitan seperti biasanya. Aku masuk rumah begitu saja tanpa sepatah kata. Lalu diikuti lirikan mata ibu sampai masuk ke kamar. Kaki yang lunglai sergap menghampiri ranjang kesayangan untuk melampiaskan gelisah romansa hari ini. Mungkin ini bukan yang pertama kegagalanku dalam dunia percintaan. Tapi ini adalah yang tersakit. Sangat sakit, terutama melupakan Hanung. Getar jantung tambah kencang setelah dari saku SMA ku bergetar juga HP mungil. Astaga! New message from Sayang Han.
From Sayang Han: “…Lan, mg kamu baik-baik saja. Dan mghdapi hari2 stelah ini dg tenang. Mmbiasakan hdupmu yg makin ceria meski tanpa aku. Mf kan aku yg pasti menyakitimu. Dari Hanung, ‘Kekasih yg hilang’ :)….”
“Wulan, buruan sholat ashar dulu….” Itu suara bapak dari luar kamar. Dia manusia yang paling kutakuti sepanjang hidupku. Sepertinya begitu juga dengan ibu dan adik-adik, mereka takut pada bapak. Apalagi sejak memenangi pemilihan kepala desa, ia kian semena-mena.
“Kamu punya telinga nggak….?” Suara itu lagi. Tetapi mulut ini tak juga mau bicara. Sampai lama tak ada bunyi keras lagi dari pintu kamar. Dan kembali mataku memperhatikan HP di tangan yang rasanya menjadi benda paling berat saat ini. SMS Hanung harus kujawab.
Reply to Sayang Han: “ Aq yg salah Han, kuakui itu. Minta maaf atas khilaf yg trjadi kmrn. Trserah ap pun sikap mu stlah ini, aq sllu terima saja. Yg pnting sdh kuakui atas kesalahan itu. Dari Wulan, ‘Mantan Kekasih’ :(…”
Belum lama setelah SMS jawaban terkirim, hatiku sedikit lega. Ya sedikit saja. Namun kali ini malah Hanung yang Calling ke HP di tanganku. Aduh, gimana ya angkat atau tidak, bingung. Berkali-kali Hanung menghubungi, kian membuat salah tingkah.
“Wulaaaaaaan, buka pintunya. Atau bapak dobrak dari luar….” Begitu kencang teriakan dari luar menambah panik saja. Begitupun nada dering tak henti-hentinya menjadi suara yang tak kalah membuatku panik. Akhirnya ku pilih untuk mengangkat panggilan Hanung terlebih dahulu.
“ Halo Wulan, kamu gak ap2 kan….?” Suara yang khas membuat jantung tambah gemetar. Lagi-lagi bibir ini tak sanggup bicara untuk menjawab. Biarlah ia terus bicara dan telinga ini cukup mendengar. Aku tak mau bicara pada pria berkacamata ini lagi. Hanung terus memanggil namaku dan semakin kencang terdengar.
“GedubBBbrrRRaaaa….KKkk!!!!” Suara pintu kamarku didobrak dari luar. Sosok lelaki tinggi besar dan wajah merah perlahan mendekati.
“ Kamu itu ya, anak perempuan gak tau sopan santun. Kalau punya mulut itu dipake buat ngomong. Jangan diem aja! Mau jadi orang bisu hah…?” Belum selesai bapak marah-marah langsung aku pergi ke kamar mandi dan kumatikan HP. Aku tak mau bicara.
***
Sungguh sulit bagi gadis sepertiku menyembuhkan luka perasaan. Hubungan kami sudah dua tahun terjalin tak mungkin terlupakan. Selama ini memang tidak jarang ada pertengkaran mulut, tapi biasanya mudah terselesaikan. Untuk ‘percekcokan’ yang terakhir ini sangat ganjil rasanya. Suatu alasan yang tidak berperasaan menjadi penyebab usai sudah masa indah ini. Alasan itu yakni ketidakcocokan. Pria kelahiran Bekasi itu seenaknya memutuskan tidak adanya kecocokan lagi. Jelas sudah siapa yang menjadi korban. Selalu aku yang berkorban. Padahal Hanung sudah begitu akrab dengan keluargaku. Tepatnya ia sangat dekat dengan bapak. Karena bapakku dan bapaknya Hanung adalah teman dekat sejak mereka masih di Madrasah Tsanawiyyah.
Pagi ini kupaksakan berjalan ke sekolah sembari menahan wajah muram agar tak nampak oleh teman-teman. Tetapi, usahaku untuk tersenyum menjadi sia-sia saat di pintu gerbang sekolah terlihat Hanung di sana. Dia siswa terpintar di kelas IPA, jadi wajar banyak teman-teman yang mengerumuninya. Sempat kulihat matanya bertemu dengan pandanganku dari kejauhan. Belumlah aku sampai di gerbang sekolah, lelaki dengan nama lengkap Hanung Abrori itu sudah berjalan menghindari kedatangan ‘sang mantan’.
Selama di sekolah aku terus berada dalam bayang-bayang kenangan. Siang hari biasanya aku sudah berduaan di kantin, tapi kali ini sendiri. Kemanakah sosok yang selama ini mengajakku bercanda? Tak tahan lagi sampai nekad langkahku berlari menjumpai kelas IPA yang tak jauh dari kantin.
“…Cari siapa lan? Hanung gak ada di kelas. Dia lagi sakit di UKS” Ujar Bruno ketua kelas dengan tubuh gemuknya.
“Siapa di UKS….?” Tanyaku memastikan
“ H-A-N-U-N-G…! tadi sehabis pelajaran olahraga ia pingsan….” Bentak Bruno.
Telingaku ternyata masih kangen mendengar nama itu, walau ada perih di dada mengenangnya. Tanpa berpikir lama, kaki ringan ini sudah berlari menuju ruang UKS. Dan sesampainya kutemukan seorang pria berbaring tak sadarkan diri. Tak berani langkah ini mendekat, namun ia diam saja. akhirnya setapak demi setapak tak sadar bahwa keberadaanku sudah didepan pembaringan. Hanung tetap diam saja, aku pun sama. selagi ia tak sadar ingin sekali menegurnya seperti dulu pernah ia lakukan.
" Hanung, semoga kau tak mendengar ini. Hanya satu yang kuingin tahu. kenapa kita kini tak seperti dulu. Mulutmu jangan diam saja Han, apa alasannya.Aku hanya butuh alasan darimu. katakan saja, jika memang aku tak menarik bagimu, aku terima alasan itu. atau karena sikap seorang Wulan yang kekanak-kanakan, juga tak masalah. jika kau sampaikan alasannya, setidaknya membuat perasaan ini tenang Han..." Rengekan air mata membanjiri pipi di depan pria yang tak berdaya ini. Sampai kering air mata. sesekali kulihat pintu luar yang masih terbuka. mungkin saatnya kembali ke kelas. Tatkala badan ini berbalik menuju pintu UKS. terdengar suara yang sudah lama kukenal.
"Wulan, sebenarnya aku ingin sampaikan itu. Tapi kekhawatiranku jauh lebih kuat. Aku sangat khawatir pada dirimu dan keluargamu. keadaan ini bukanlah kehendak pribadi yang memang direncanakan. Tetapi aku terpaksa lan. Bapakmu yang memaksaku untuk menjauhi anak gadisnya yang paling disayangnya. tapi kau harus berjanji padaku untuk tidak merubah sikapmu pada pak Mur. Ia bapakmu yang hebat, aku menghormatinya seperti bapakkku sendiri...."
sendu sekali suara Hanung. Telinga ini sangat manja dengan suara itu. tetapi aku tak sanggup untuk berbalik menghadap Hanung yang sudah sadarkan diri. niat untuk kembali ke kelas menghantarkan kekesalanku pada Bapak sampai terbawa di dalam ruangan. Apa peduli janji pada Hanung, tetap geramku pada bapak kian menjadi. Selama di sekolah satu hari ini aku hanya membisu, bertarung di dalam batin antara hormat pada Bapak atau sesekali memberi pelajaran pada orang tua. Ini sudah kelewatan, ada hak pribadi yang terlalu jauh terganggu oleh ulah Bapak.
***
Seperti biasa selepas Isya', sesosok lelaki tua sedang menyendiri di luar rumah. Dirinya dan sebatang rokok asyik berdua diusik sesepoi angin malam. seorang anak gadis yang katanya tak punya sopan santun malam ini mengadu nasib berusaha menemuinya. Aku adalah anak pertama. Kalau aku tak berani padanya, maka adik-adikku juga akan menghadapi hal yang sama di kemudian hari. Kuawali dengan mengajaknya berbicara lembut. Walaupun dia tak akan peduli itu semua.
" Pak, sendirian di luar ya..." kubuka percakapan. Namun sang kepala desa ini hanya memandangku lalu mengerutkan dahinya. setelah itu ia tak berkata apa-apa sembari dihisapnya rokok batangan di tangannya yang tampak keriput.
" Pak, Aku mau..." Belum selesai bicara bibir ini, ia sudah memotong dengan segera.
" husssss, dah kamu masuk sana. dah malem. anak gadis malem-malem kelayapan di luar rumah aja. dah masuk sana" itulah Bapakku, otoriter, mau menang sendiri, tak pernah peduli, hanya berbuat kasar pada keluarga. kekesalanku terbungkam mendengar ucapan bapak tadi. Ku balikkan badan untuk masuk ke rumah. Belum sampai di depan pintu, kembali ku dengar Bapak memanggil.
" Wulan, kamu sekarang fokus saja pada Ujian Akhir Nasional mu. Jangan kegatelan main sama cowok terus. Jangan nyusahin si Hanung terus. Biarin dia juga fokus pada sekolahnya...!" Pedas kudengar ucapan yang terakhir. kali ini tak bisa aku diam saja. ku balikkan badan serta tangan ini begitu keras mengepal di sebalik rok panjangku.
"Maksud Bapak sulit aku ngerti. Wulan merasa justru bapaklah yang menyusahkan kami berdua. Hanung tadi siang cerita kalo' bapak yang meminta dia untuk menjauhi aku. Selama ini aku hormat pada orang tua, tapi untuk yang satu ini tidak bisa Wulan ngerti pak..." Seumur-umur baru kali ini aku bicara selantang ini pada Orang yang paling kutakuti. entah apa yang akan dikatakan Bapak aku tak peduli. Semua resiko harus ditanggung, dan aku merasa yang kulakukan sudah benar.
Bapak juga terkejut mendengar ucapanku yang sangat tidak sopan. Ia membalikkan badannya lalu mematikan rokok butut itu. Perlahan ia mendekatiku. Kali ini ia tersenyum sinis melihat anak gadisnya yang mungkin dirasa kurang ajar.
" Kamu nggak tahu apa-apa lan, Si Hanung itu selama dekat dengan anak gadis bapak ini malah menderita. Semua kelakuan manjamu itu membuat ia repot membagi waktunya. Ia harus menuruti segala maumu. sedangkan ia adalah anak pertama yang harus membantu Bapaknya berjualan di pasar. Dia sudah tak punya ibu lagi. Dan pak Tris sudah terlalu tua untuk menghidupi kelima anak-anaknya. Berkali-kali sahabat bapak itu masuk rumah sakit. Dan Hanung yang mengurusnya. kamu pernah ngerti kondisi itu....? Ia bekerja menghidupi dagangan di pasar sejak subuh sebelum berangkat sekolah. kamu pernah tahu itu....? Untungnya ia masih bisa menjadi juara umum di kelas. Dan akhir-akhir ini pak Tris kerap mengeluh ke Bapakmu ini kalau Hanung mulai kerepotan dan sering sakit-sakitan sepulang sekolah bahkan pingsan. Kamu yang ngakunya dekat dengan Hanung pernah tahu itu....? Kamu itu gadis genit yang cuma tahunya menuntut dan menuntut. Hanung itu anak baik-baik, dan Bapak tak mau ia terus-terusan tersiksa, karena dekat dengan kamu. Walaupun kamu anak yang paling Bapak sayang......" Aku diam tak berkutik. Dan Bapak terlihat berkaca-kaca wajahnya. Dan ia malah lebih dahulu masuk ke rumah. Astaghfirullah, kenapa Hanung tak pernah cerita tentang ini. Bodoh sekali aku ini. sangat bodoh. Kalau memang benar seperti itu. Aku justru yang Zhalim terhadap kedua lelaki ini. Hanung Maafkan aku, Bapak Maafkan aku.
***
Hari minggu ku terbangun paling siang. Kucoba menuju dapur melihat apa yang dilakukan ibu. Wanita terhebat itu sedang memandika adik bungsuku. Sebelum diperintah, langsung kudekati tumpukkan piring dipojok dapur. Bilasan demi bilasan piring mengingatkanku pada ucapan bapak semalam. Sangat menusuk, untunglah aku tersadarkan. Bahwa selama ini justru akulah yang tidak pernah peduli. Terutama pada Hanung, Mantanku itu. Lagi-lagi kuingat-ingat, dan memang benar akulah yang selama ini egois.
" Astaghfirullah..." ibuku tiba-tiba berteriak dan langsung menuju kamar. Ia keluar lagi dengan berpakaian rapi. wajahnya panik seperti ada masalah serius.
" Buk, kenapa sih, kok teriak-teriak"
" Ini rantang bapakmu ketinggalan, nanti di sana dia nggak sarapan. gawat...!"
" ya sudah, biar Wulan yang nganter ke kantor" jawabku ringan.
" beneran kamu, ini untuk bapak lho. kamu kan sama bapak....."
" ya nggak masalah kan bu, aku kan anaknya Bapak juga. Anak gadisnya pak Mursidi, Kepala desa he he" Sambil kulepas senyum ke wanita terhebat dihadapanku ini. sebenarnya ibuku setengah tidak percaya, kalau aku mau melakukannya. Semua anggota keluarga tahu, jangankan menemui bapak ke kantor. Kalau ada Bapak di rumah ini, aku selalu menghindar kalau diajak bicara. Kalau saya ada di ruang tengah nonton Tv dan tiba-tiba bapak mendekati, aku lebih memilih menghindar pindah ke kamar. Tapi itu kan dulu, sekarang aku agaknya harus merubah sikapku pada bapak.
Setelah berdandan rapi, Aku berangkat dengan motor matic di garasi menuju Kantor kepala desa. Beginilah Bapak walaupun hari minggu ia tetap bernagkat ke kantor. Sesampainya di serambi kantor, kumelihat ramai orang menunggu di luar. Kuurungkan niatku untuk masuk ke dalam karena nampaknya sangat mengganggu. Kubawa rantang menuju kursi di serambi kantor, bersebelahan duduk dengan ibu-ibu muda. Ia terlihat berwajah serius. Sepertinya ia hendak mengadukan masalah pelik kepada kepala desa.
" Maaf bu, lagi ngantri ya..." tanyaku tipis.
" iya mbak, ini masih masalah yang kemarin"
" Soal apa tuh?"
" ini, saya mau mengadukan suami saya yang menikah lagi. Dan ketua RT di tempat saya tak mau melayani. ya jadinya saya urus ke KADES deh. walaupun belum tuntas juga sampai sekarang. Ternyata KADESnya sama aja nggak becus...." jawab wanita itu dengan ketus. aku pun geram mendengarnya. seenaknya dia bilang Bpakku tidak becus.
" Maaf bu, Nggak becusnya gimana ya... setahu saya KADES kita selama ini profesional aja kok..." usahaku membela bapak.
" Begini mbak, suamiku itu setelah bercerai langsung menghilang. Ternyata lelaki bejat itu membawa semua perhiasan saya, buku tabungan dan sertifikat tanah keluarga saya. nah, urusan bgini siapa yang mau bertanggung jawab. Pokoknya saya minta ke pak KADES untuk menyelesaikan urusan ini. Enak aja dia jadi KADES korupsi duit rakyat, urusan kita yang kaum jelata ini nggak diurus." jawabnya panjang lebar. akupun tak mau kalah dibuat emosi oleh wanita nggak tahu diri ini.
" Maaf ya bu, Anda jangan ngomong sembarangan. Pak KADES kita itu tidak pernah korupsi ya. Kalau urusan anda dan mantan suami anda itu ya diurus ke pengadilan dong. itu kan urusan pribadi. kok malah orang lain yang diminta menyelesaikannya..." kali ini aku berteriak dan berdiri mengumpat wanita sialan ini. Ternyata janda genit itu malah bertambah galak akhirnya terjadilah kegaduhan diluar kantor. Sampai akhirnya semua orang keluar menyaksikan.
" Wulan, kenapa kamu ada di sini...." Suara itu sudah ku kenal, Bapak. Kuberbalik badan mendekati bapakku tercinta dan memeluknya. Sungguh aku gadis tak tahu sopan santun. Ternyata begini pekerjaan sehari-hari seorang kepala desa. Barulah ku mengerti kenapa Bapak selama ini sangat kaku dan terlihat kasar di rumah. Karena setiap harinya banyak urusan rakyat yang harus diselesaikan. Sungguh aku yang egois tak mau peduli.
" Pak Maafin Wulan ya..."
" Kamu pulang dulu ya, biar bapak yang selesaikan..." Kali ini ia bertutur sangat lembut. Seperti berbisik di telinga sambil memeluk anak gadisnya yang kurang ajar ini.
***
Beginilah cinta, ia butuh saling mengenal, Memahami dan saling menanggung beban. Bapakku adalah KADES terhebat. Aku yakin ia sangat mencintai aku, juga keluarga kami dan mencintai warganya. ya, Beginilah cinta....
Tidak ada komentar