Ilustrasi |
Oleh:
Teguh Estro
(Cerpen
Inspiratif)
“Saya tidak
mencuri, lepaskan…! Tolong lepaskan!” Susah payah usahaku melepaskan
cengkeraman kedua polisi ini.
“ Jangan banyak
bergerak, nanti jelaskan saja semuanya di kantor polisi. Sudah diam!”
Sebuah malam yang
mangagetkan. Seketika keluargaku menjadi shock. Anak-anak dan isteriku
hanya menjerit-jerit melihat kepala keluarga mereka ditarik paksa. Entah apa
yang terjadi mungkin isteriku sudah pingsan tak sadarkan diri. Apalagi tetangga
di sebelah rumah secepat kilat bergerombol menyaksikan penggrebekkan di
kediamanku.
Ini kali pertama
diri ini diseret secara tidak hormat ke institusi penegak hukum. Bahkan ruang
interogasi sudah tersetting apik. Nyaliku kian ciut saja, seketika
didorong untuk duduk di kursi panas. Ada sekitar lima petugas mengelilingi
bagian belakang tempatku bersandar ini. Sedangkan dihadapanku seorang polisi
yang terlihat lebih senior tengah serius menatap mangsa.
“ Nama lengkapmu?”
Tanya pria berperut buncit itu.
“ Saya? Umar
Salim…..” jawabku tegas.
“ Hah, kamu Cina
kan….?” Polisi itu seakan tak percaya
“ Kenapa? Kalian
heran ada Cina bernama Umar hah…?” Emosiku semakin naik.
“ Begini mar,
kesalahanmu sangat fatal. Mobil yang ada di garasi rumahmu tercatat sebagai
mobil curian. Dan saya cuma ingin memberi tahu kalau kamu dan teman-temanmun
para mafia curanmor tak perlu macam-macam di kota ini…” Ujar manusia
menyebalkan itu. Aku yang telah terlanjur emosi akhirnya tak bisa menahan diri.
“ Maaf, saudara
polisi yang saya hormati. Saya tidak mencuri, dan saya tidak memiliki teman
dari komplotan mafia. Mobil itu hasil kerja keras dengan membeli pada teman
kuliah dulu.” ujarku berbicara bernada tinggi.
“ ya, namanya
maling mana mungkin ngaku. Ya nggak? Tapi tenang aja yang bakal interogasi kamu
bukan saya. Tapi atasan saya. Pak Leo namanya…” Polisi kurang ajar itu menyebut
nama Leo. Serasa ada yang aneh dengan nama itu. Selama setengah jam lebih
penantian membosankan di ruang tanpa AC itu. Pak Leo, atasan dari para polisi
ini tak kunjung datang ke dalam. Hingga semua yang ada saling menatap satu sama
lain lalu hening.
“ krek, Selamat
malam” Itu suara pintu terbuka. Itu suara orang masuk.
“ Leo ? Kamu
atasan mereka? Kurang ajar kamu….!” Melihat wajah lelaki yang masuk itu
membuatku emosi. Dengan tangkas aku melompat mendekatinya. Genggam ini mengepal
siap melesatkan pukulan terhebat yang aku punya. Belum sampai lengan ini
menyentuh tubuh Leo, segerombolan polisi di barisan belakang melumpuhkan dengan
cekatan. Serasa tak mau kalah, tubuhku kian memberontak sejadi-jadinya. Hingga
kepalaku dibenturkan pada benda keras, dua kali. Pandanganku kini
berbayang-bayang menatap sekitar, sangat memusingkan. Langkahku kian sempoyongan
menuju tempat duduk lalu penglihatanku berubah gelap, tak tahu apa yang
terjadi.
***
Masa-masa SMA itu
sangat indah. Teman-teman banyak yang bertanya, bagaimana bisa aku menjadi
siswa paling pintar ? Entahlah, aku merasa melakukan hal yang sama seperti
siswa lainnya. Kendatipun demikian jangan salah sangka. Sepintar apapun saya di
sekolah ini, tetap tak akan bisa kuraih Juara umum. Apa mungkin karena saya Cina
ya? Dialah juara umum 4 semester berturut-turut, Leo Batubara. Sedangkan
prestasiku sudah tertebak menjadi juara 2 umum selama 4 semester pula. Leo itu
anak guru, anak kepala sekolah malah. Dimana-mana juara satu itu hanya boleh
dinikmati anak guru, sudah lumrah!
Mobil paling mewah
di sekolah ini baru saja melintas. Ayah dan anak bak selebritis tumben
datang pagi-pagi. Dua orang itu keluar dari mobil dengan sombong, eh sebentar,
ada satu lagi cewek yang keluar dari mobil. Wah, memang Leo itu cowok paling
beruntung. Itu kan si Fitri yang baru saja juara model se provinsi. Mereka
bertiga membuat iri siapapun yang menyaksikan. Bapaknya kepala sekolah, anaknya
juara umum dan satu lagi si cantik, aduh parah…!
Fitri itu dulu
sangat akrab denganku. Rumah kami berdekatan selisih dua gang di komplek yang
sama. Sekali lagi kami berdua cukup dekat, bahkan bisa dibilang spesial, lebih
tepatnya pernah spesial. Tapi itu dulu sebelum ia secantik ini. Sampai akhirnya
kutahu, perempuan berhidung mancung itu hanya berpura-pura. Aku saja yang
terlalu berharap. Buktinya dia kian lengket dengan Leo.
Menjelang ujian kelulusan
banyak rekan-rekan yang mengajakku belajar kelompok, sangat banyak. Dari
kesemua permintaan hanya satu orang yang kupilih, itulah Leo. Hampir tiga
tahun, baru kali ini ia mengundangku ke istananya. Walau Cuma via SMS sih. Ada rasa
kaget, ragu-ragu, takut dan kesal saat mendatangi rumah Leo, sekaligus kediaman
kepala sekolahku itu. Sesampainya di gerbang coklat dan lebar, aku disambut
oleh anjing dan gonggongannya.
“ Cari siapa ya…?”
Ujar satpam buru-buru menyapa.
“ Leo ada? Saya
Umar teman sekolahnya….”
“ Maaf, dik Umar
sudah janjian sebelumnya?” tanya lagi Satpam kerempeng itu.
“ oh, sudah kok.
Leo SMS saya pak…” Busyet, ribet sekali birokrasinya.
Masuk rumahnya
seperti hendak mendatangi presiden. Leo akhirnya menjemputku masuk ke dalam. Dan
setelah memasuki ruang tamu, jantung ini serasa mau lepas. Di sana sudah ada
Fitri duduk manis dengan pakaiannya seperti model. Kami berdua sama-sama
melempar senyum, sama-sama senyum terpaksa. Aku tahu itu. Dan di ruangan ini
tak ubahnya neraka sebelum neraka sebenarnya. Bingung, nggak konsentrasi
pastinya, salah tingkah, malu-malu, dan semua bergumul di dadaku karena melihat
Fitri.
“ Mar, kita hari
ini ngebahas soal-soal ya. Kamu kan jago he he” Akhirnya Leo memecahkan
suasana. Syukurlah kurasakan kelegaan sesaat, selebihnya tersiksa. Memaksakan untuk
fokus pada soal-soal yang harus dipecahkan. Sampai akhirnya dua jam lebih kami
belajar, tepatnya saya yang mengajari. Mereka hanyalah pendengar setia diantara
soal-soal yang dibawa Leo. Dan kuputuskan untuk menyudahi saja untuk pulang,
tak tahan aku berlama-lama. Segera ku melangkah menuju rumah sendirian, tanpa
Leo dan juga tanpa Fitri.
Satu minggu
berhasil kulewati kegalauan menuju sekolah untuk Ujian Akhir Nasional. Aneh,
soal-soal yang disodorkan begitu mudahnya terselesaikan. Sesekali kuingat,
bentu-bentuk pertanyaan di kertas yang katanya rahasia negara itu. Astaga, ini
kan soal-soal yang sama persis dengan materi belajar di rumah Leo kemarin. Dengan
sigap tentunya kulahap semua soal dengan gampang. Tidak sampai 15 Menit kulalui
waktu ujian dengan cepat. Lalu pulang dengan riang.
Pada hari kedua
tanpa kecurigaan kuulangi hal yang sama. Sepertinya 10 menit akan terasa sangat
lama di dalam ruangan. Sampai akhirnya terjadi malapetaka yang tak akan pernah
terlupakan. Datanglah seorang dewan pengawas yang berpakaian dinas rapi
memasuki kelas.
“ Maaf bagi yang
bernama Umar Salim bisa ikut saya ke kantor sebentar….!” Kutepok jidat sampai
benar-benar pucat pasi wajahku. Sampai mengangkat pensilpun tak sanggup lagi
jemari ini. Batin berkecamuk diantara ribuan tanya yang tak sanggup kujawab.
Apa salahku, apa salahku dan Apa salahku begitulah pertanyaan di dalam hati
hingga ribuan kali.
Ruang kantor kali ini begitu horror. Dengan culun pura-pura
kubenahi tali sepatu sampai gugup. Di hadapanku sudah berdiri pak Felix
Batubara, kepala sekolah terkejam dalam seumur hidupku. Tiga orang di
sebelahnya adalah wali kelasku, dan dua orang pengawas ujian di kelasku
kemarin. Mereka menatap sinis, kasihan, kejam dan rasa tak percaya atas apa
yang terjadi.
“ Umar, tolong jawab dengan jujur, mata pelajaran Matematika kemarin
kamu menyontek atau tidak….” Tanya bu Linda wali kelasku.
“ tidak bu” jawabku singkat kepada guru teladan di sekolahku ini.
“ kenapa jawabanmu sama persis dengan Leo…” tanya bu Linda dengan
berkaca-kaca. Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Sesaat pikiranku
kosong, jantung serasa berhenti.
“ Kalau kamu ingin jadi juara umum mengalahkan Leo, jangan berlaku
curang seperti ini dong Umar….!” Tiba-tiba pak Felix membentak meja mengagetkanku. Tetap
saja aku kehabisan kata-kata, bibir keluh dan lidah sejenak kaku. Aku ingin
mati saja. Sampai hari itu entah berapa kali mereka membentakku untuk
menanyakan pertanyaan yang serupa. Hingga adrenalinku memuncak tak sanggup
terkuasai, dalam waktu singkat tubuh ini lunglai, gelap, pingsan.
***
“ Byur…. Byur…”
Kepala ini basah tersiram air berkali-kali dan akhirnya kembali
sadar. Tapi tubuhku sudah terikat kencang pada kursi besi dengan tali melilit. Lampu
penerangan hanya ada satu di ruangan ini. Pandanganku kabur, dengan tubuh tak
bisa bergerak. Sekumpulan polisi masih setia mengelilingi ruangan ini. Sedikit mereka-reka
sosok yang kini duduk berseberangan meja denganku.
“ Umar, kita
bertemu lagi….!” Itu suara Leo, Sombong dan sok berwibawa.
“ Mau ngapain lagi
kamu. Tidak cukupkah kamu merusak masa laluku. Gara-gara ulahmu aku didropout
dari sekolah. Sampai akhirnya terpaksa sekolah memutasikan ke sekolah swasta. Kamu
tahu leo, aku harus mengulang umur studi selama satu tahun di sekolah yang baru….”
Lirihku dengan suara yang tersisa.
“ Satu lagi yang harus kamu ketahui. Keluargaku
shock menahan malu hingga seperti orang gila, terutama ayahku. Dan sekarang saya ucapkan selamat untuk kamu yang berhasil menjadi polisi di kota ini” Tambahku
lagi dengan menatap wajah Leo, sangat tajam.
“ oke aku ngerti
itu, aku Cuma mau minta maaf. Dan sebagai ganti kejadian itu, kasusmu akan saya
tutup mar….” ucap Leo sembari memberi kode kepada bawahanya untuk membebaskan
aku.
Dua orang polisi mengawalku dan mengantarku pulang dengan mobil
polisi di depan kantor. Kutatap cuaca di luar kantor polisi sudah menyengat
terik siang hari. Kali ini kunikmati langkah keluar dan inilah kemenangan dari
sebuah kejujuran. Di dekat parkir mobil aku berdiri menunggu mobil yang hendak
mengantarku pulang.
“ Mar, kamu Umar kan….?” Dari belakang pundakku ditepuk oleh
sesosok wanita cantik. Dan lagi-lagi aku bertemu dia, Fitri Naysila. Kali ini
aku tidak terkejut kenapa Fitri ada di sini. Tentu saja karena di tempat ini
ada Leo. Tapi kali ini aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Kutinggalkan
begitu saja sang primadona di sekolah dulu. Kaki ini melangkah memasuki pintu
mobil yang sudah berhenti tepat didepanku. Senyum kecil pada diri sendiri
meihat kejadian ini, dan tanpa kusangka Fitri mengejar menghampiri mobil yang
hampir berangkat ini.
“ Mar, ini kartu namaku. Mungkin suatu saat ada yang bisa saya
bantu….” Ujar Fitri tergopoh-gopoh memasukkan tangannya ke jendela mobil. Dengan
santai kuambil kartu nama itu lalu kurobek-robek dihadapan mukanya.
“ Maaf bu Fitri, Saya sudah punya Istri” Jawabku bangga.
Tidak ada komentar