www.patrioticpictures.us |
Oleh:
Teguh Estro
Kariernya sebagai astronot telah di ujung tanduk. Maklum
sudah tujuh kali ekspedisi tak satupun menghasilkan penemuan. Perjalanan yang
menghabiskan budget selangit itu tak
menuai sesuatupun, arang habis, besi binasa. Udin Van Armstrong seorang
antariksawan yang pernah sukses di masa lalu. Konon dialah orang yang pertama
kali nyruput kopi di bulan. Pria
kelahiran Amrik, Desa Sukamaju ini
hanya memiliki kesempatan terakhir untuk kembali blusukan ke luar angkasa. Bilamana tak berhasil juga jerihnya, maka
ia akan dipecat dalam tempo sesingkat-singkatnya.
“ Udin, kau sudahkah siapkan penerbangan esok?” Tanya
Bedjoe Castello seorang jenderal berbintang tujuh kepada Udin Van Armstrong.
“ Siap Jenderal, Kalau kaki lelaki sudah melangkah,
pantang niat tersurut” Jawab Udin van Armstrong dengan nada tegas dibuat-buat.
Sang Surya telah menyelesaikan tugasnya hari ini. Artinya
Udin van Armstrong semakin dekat dengan keberangkatannya ke negeri antum-barantum. Sadarlah bujang lapuk
ini, kalau kali ini adalah last time
baginya untuk berpetualang ke planet jauh.
***
“ 5…., 4…., 3…., 2….., 1…… Luncurkan Roket
sekarang…..!” itulah kalimat terakhir yang di dengar Udin sebelum ia merantau
jauh. Besi terbang yang ditumpanginya sudah menuju atmosfer demi atmosfer.
Diintipnya di luar sana, ternyata bulan tak secantik seperti yang dikatakan
para pujangga di kampungnya. Menurut Jenderal Bedjoe Castello, ia akan menuju
target sebuah planet anyar sekitar
100 juta kilometer dari Pluto. Entah planet apa namanya, kesanalah tujuan dari
astronot penggemar Real Madrid ini.
Berhari-hari masa terlewatkan di dalam pesawat ulang-alik ini, puluhan puisi
sudah ia karang mengisi waktu luang. Sesekali juga mengisi TTS yang dibawakan
ibunya sebelum berangkat.
“ Target tujuan akan sampai, bersiap-siap, bersiap-siap,
bersiap-siap” suara komputer awak kapal mengagetkan seisi ruangan.
Benar saja, kini ia sudah memasuki atmosfer dari sebuah
tanah bulat raksasa. Berguncang tak karuan seisi awak kapal. Ternyata suara
komputer itu berasal dari sesosok robot yang sangat cantik menyerupai Dian
Sastrowardoyo. Lama ia terpaku menatap wajah robot yang ternyata satu tumpangan
dengannya itu. Hingga pintu pesawat terbuka dari luar dengan sendirinya.
“ Wush…. Suing, suing…” angin sepoi-sepoi dari luar sana
mengelus pipi berjerawat milik Udin van Armstrong. Namun pria berambut brokoli
ini tak jua bergeser matanya dari menatap si robot berpakaian serba merah nan aduhai
di hadapannya.
“ Segera keluar dan selesaikan misi…” ujar Cinta Aguilera
yang tak lain adalah nama robot wanita tersebut.
“ Cinta, aku janji akan segera kembali menemuimu selepas
misi ini. Inilah rupanya jatuh cinta pada pandangan pertama itu” sahut Udin van
Armstrong.
“ Hmm, mulut lelaki tak boleh dipegang. Dalamnya laut
boleh diselami, dalam hati siapa yang tahu. Siapa tahu isi hatimu busuk, aku
tak akan tertipu. Lihatlah dirimu, ular bukan, ikan pun bukan, tak jelas baik
atau buruk perangaimu. Lagipula kita tidaklah sebangsa….” Cinta menjawab dengan
tegas.
“ Cinta, kita mungkin berbeda. Tapi bukankah garam yang
jauh dari laut, asam yang tinggi dari gunung bisa juga bertemu di pemasakan.
Artinya bagaimanapun perbedaan suku bangsa kita, bukanlah penghalang…” Kini
Udin coba meyakinkan.
Cinta Aguilera hanya terdiam lama. tapi lekas saja ia
tepis menungnya dan meninggalkan pria yang sejatinya labuhan hatinya pula.
tinggallah Udin van Armstrong berdiam diri di pintu kapal. Ia memikirkan
bagaimana balasan kasih dari perasaan Cinta Aguilera. Serasa menggantung
dibuatnya, ke langit tak sampai, ke bumi tak berpijak.
Berangkatlah Udin menjelajahi dunia yang barusan ia
datangi ini. Tak Nampak manusia satu batang hidungpun. Semuanya ditumbuhi rimba
belantara dan hewan-hewan yang semuanya boleh bicara. Namun anehnya tak satupun
makhluk yang terusik oleh kehadiran pria yang badannya setinggi Norman Kamaru itu.
Berhari-hari Udin van Armstrong berjalan beroleh banyak kenalan dan akhirnya tempat
menginap. Inilah planet demokrasi, ya namanya planet demokrasi sungguh unik.
Pantas saja mereka tak sedikitpun menaruh curiga terhadap makhluk asing semacam
Udin. Karena di tempat ini menjunjung tinggi kebebasan dan perbedaan antara
rakyat sipil.
Sebuah alun-alun megah menghiasi tengah hutan belantara
nan luas ini. Di bawah pohon beringin besar, terdapatlah singgasana pemimpin
baru mereka. Ternyata seluruh hewan di sini baru saja mempunyai pemimpin yang
baru. Dari pemerintahan si Macan kepada pemerintahan si Banteng Muda sang
pemimpin baru. Sampai akhirnya Udin van Armstrong berkesempatan hadir menemui
kedua pemuka itu di alun-alun persis di bawah pohon beringin.
“ Kemarilah duhai tamu dari jauh. Tak kenal, maka tak
sayang” ujar si Banteng Muda kepada Udin. Diiringi senyum dari si Macan yang
duduk tak jauh dari si Banteng Muda.
“ Hamba hanyalah perantau yang singgah di negeri hijau
ini. Patutlah bagi hamba untuk memaklumi bahwa dimana bumi dipijak, disana
langit dijunjung. Terimalah salam hormat dari hamba, tuan-tuan, tabik….” Ucap
Udin van Armstrong.
“ Tabik, Justru perantaulah yang sudah jauh berjalan,
lebih banyak melihat dunia. Tentu kakanda sudah kenyang makan asam garam
kehidupan. Sudilah berbagi cerita, menyumbang nasihat pada kami. Kalau boleh
tahu siapa pula nama kakanda ini. Dan dari binatang bangsa manakah kiranya”
sahut si Macan kepada Udin.
“ Oh, nama hamba Udin van Armstrong, panggil saja Udin.
Kami dari bangsa manusia. Kalau tuan-tuan sekalian sudikah memperkenalkan siapa
sebait nama di balik badan…” jawab Udin singkat.
“ Saya sendiri Subowo dari bangsa macan. Dan ini pemimpin
kami Jacko dari Bangsa Banteng. Kalau sudah saling kenal, maka terikatlah kita
bak saudara. Se-iya sekata, senasib sepenanggungan.”
“ Benar yang dikatakan kakanda Subowo, beruntung sekali
kami kedatangan kakanda Udin. Mungkin bisa menemani menghabiskan kopi, merasai
hidangan bersama. Karena ada banyak soal negeri kami yang butuh masukan agar
lekas dipecahkan” sambung Jacko, sang pemimpin Planet Demokrasi.
“ Pasal apa kiranya yang tuan-tuan perbincangkan..? Tak
kan mungkin hamba menggurui tuan-tuan. Itu tak ubahnya mengajar itik berenang,
melatih burung terbang. Tentulah sekalian lebih paham soal beserta jawaban
masalah negeri tuan sendiri”
“ persoalan kami cukup sulit. Bila memikirkannya membuat
makan tak enak, tidur tak nyenyak, Air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa
sekam. Kami memikirkan masalah ini siang dan malam karena begitu besar
mudharatnya bila tak segera ditutup lubang yag menganga ini…” cemas Subowo
mengernyitkan dahinya.
“ persoalan apa kiranya yang tuan khawatirkan. Bolehlah hamba
menyumbang saran. Karena tak ada soal yang tak berjawab. Kalau tiada angin
berhembus, tak akan mungkin pohon bergoyang. Apapun yang berkejadian pastilah
ada asal-usulnya…” lugas Udin van Armstrong kepada tuan rumahnya.
“ Begini, di negeri kami sudah kehabisan muara
penghidupan. Rakyat kian berkeluh kesah karena pekerjaan kian sulit didapat.
Alam kami yang ada ini, tidak subur seperti dahulu lagi. Sedangkan kekayaan yang tersisa tinggal gunung emas di
ujung hutan ini. Itupun adalah harta pusaka warisan leluhur kami yang tak boleh
dijamah selain untuk diwariskan kembali.” Cerita Jacko pada tamunya itu.
“ Tuan-tuan sungguh berhati mulia, duka rakyat selalu
didahulukan. Pemimpin adil, ia disembah. Pemimpin zhalim, ia ditinggalkan. Itulah
pepatah mengatakan. Apalagi ini untuk kepentingan rakyat. Maka perlu dipikir
masak-masak, ditimbang baik dan buruknya. Karena berpikir adalah pelita. Namun
dalam pikir sehat hamba, kepentingan rakyatlah harus diutamakan. Kalau untuk
keperluan yang lebih besar, maka segala pantangan boleh ditepikan. Kalaulah leluhur
tuan, masih hidup dan paham akan masalah ini. Tentu mereka memikirkan rakyatnya
sama seperti kita. Gunung emas takkan berfaedah bila hanya mematung tanpa dinikmati
rakyat jelata. Maaf kiranya kalau hamba
salah berucap atas saran ini” Jurus Silat lidah Udin van Armstrong cukup
memukau.
“ Bagaimana kakanda Subowo, pendapat dari Udin ini ada
benarnya juga. Kepentingan wong cilik lebih didahulukan. Kita berpeluh siang
dan malam tidak lain untuk rakyat juga. Jika sampai rakyat tercekik derita,
kita juga menanggung dosanya.” Tanya Jacko kepada Subowo pelan.
“ Adinda pemimpin kami, apapun keputusan adinda tentu
sangat dihormati. Pilihan kita ini bak buah simalakama. Lepas dari mulut buaya,
masuk ke mulut harimau. Kedua-duanya pilihan yang sulit. Namun saya masih
meyakini kalau leluhur kita membuat pantangan atas gunung emas itu tentu ada
maksud dan tujuannya. Inilah pusaka satu-satunya yang tersisa, tentu perlu
dipikir masak-masak….” Subowo mulai sedikit cemas.
“ Kakanda Subowo macam tak sehatkah, sampai pucat wajah..
Khawatir adinda batin pun ikut menderita. Pemikiran kakanda pun ada benarnya. Kekayaan
alam kita tak boleh sembarang diatur-atur. Namun bukankah bila niat hendak
mengail ikan, hendaklah pula rela membuang umpan. Artinya untuk kepentingan
yang lebih besar mestilah ada yang dikorbankan…” Jacko menatap mata Subowo
tanda meminta persetujuan.
“ Adinda Jacko, saya belum bisa memberikan masukan. Karena
berat hati, kalau-kalau kita salah langkah. Apatah yang hendak dikunyah, bila
gigi sebatang pun belum bertumbuh. Artinya apa yang akan kita buat dengan
gunung emas itu, padahal kecakapan mengelolanya kita belum beroleh. Ibarat kera
beroleh permata, hanya sia-sia karena tak paham berharganya batu mulia. Rakyat kita
belumlah cukup pandai bergaul dengan benda logam. Selama ini rakyat kita hanya
tahu adat bertani saja.…” Tercekat-cekat Subowo berbicara.
“ Tuan-tuan tak perlu khawatir, dimana ada kemauan pasti
ada jalan. Asalkan kita bersungguh-sungguh, kesulitan mudah dilalui. Bukankah tak
ada laut yang tak bergelombang. Semua upaya mesti ada kesulitannya
masing-masing. Di sinilah faedahnya hamba berada disamping tuan-tuan sekalian. Sebagai
saudara tentulah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Kalau rakyat di
negeri ini belum boleh berkepandaian mengelola gunung emas, maka hamba bisa
datangkan bantuan dari negeri hamba. Kami cukup berpengalaman bergaul dengan
logam emas, cakap dalam mengatur hulu dan hilirnya. Tapi tetaplah hamba tak
boleh lancang tanpa perizinan dari tuan pemimpin…” Udin van Armstrong tertawa
di dalam hati. Rupanya kedua mangsa hampir masuk perangkapnya.
“ wah, kalaulah yang kakanda Udin sampaikan benar. Sungguh
negeri kami bak mendapatkan durian runtuh. Saya yakin rakyat kita pun boleh
mendapat ajaran bagaimana pasal mengolah logam. Lama-kelamaan mereka akan
pandai dengan sendirinya. Tajam pisau karena diasah, ala bisa karena biasa. Namun
serasa ada yang ganjil bila saya sebagai pemimpin memutuskan tanpa ada
pertimbangan dari kakanda Subowo…”
“ Adinda tak perlu sungkan, saya ini hanya rakyat biasa.
Cukuplah menjadi berlebihan bila adinda selalu menggunungkan hal yang sedikit
dari nasehat-nasehat saya ini. Kalaulah Sudah hendak bermufakat atas keputusan
ini, turut berbahagia juga mendengarnya. Karena sebaik-baik ucapan adalah yang
keluar dari mufakat. Pesan saya, janganlah dihabiskan kesemuanya gunung emas
itu. Sisakan sebahagian untuk diwariskan ke anak-cucu kelak. Dan kita semua
sudah seperti saudara dalam hal tolong menolong, sifat kekeluargaanlah yang
didahulukan. Jauhkan sejauh-jauhnya sifat musuh dalam selimut, mengail dalam
belanga, menggunting dalam lipatan…” Dengan hati-hati Subowo melempar
senyumnya.
Akhirnya mereka bertiga di bawah pohon beringin besar bermufakat
untuk mengelola gunung emas milik leluhur itu. Ambisi Udin van Armstrong
tercapai juga untuk mengeruk gunung emas itu. Inilah kabar hebat yang akan ia
laporkan pada Jenderal Bedjoe Castello nantinya. Sebelum astronot berkumis
tebal itu berpamitan diri, dimintanyalah satu contoh batu kecil emas untuk
dibawa pulang. Sebagai buah tangan pengingat persahabatan.
***
“ Cinta, buka pintunya…. Misiku sudah selesai…” Teriak
Udin van Armstrong. Dan lekaslah Cinta Aguilera membukakan pintu.
“ Masuklah dan kita bergegas untuk pulang. Siapkan,
siapkan siapkan….!” Suara Cinta meski aneh seperti umumnya robot, namun tetap
membuat Udin jatuh hati. Dan setelah semua beres, kapalpun berangkat untuk kembali
ke bumi.
“ Cinta, apa yang kau lihat di luar sana. Pemandangan angkasa
menjadi tak menarik. Sadarkah engkau mereka cemburu melihat wajahmu yang cantik”
Udin van Armstrong memang pandai bersilat lidah.
“ ucapanmu sedikitpun tiada berfaedah. Lebih baik kau
sampaikan Apa yang kau dapatkan dari misimu…” Cinta tak kunjung tersenyum
rupanya.
“ Tengoklah benda yang kubawa. Inilah batu emas sebagai tanda
mata untukmu Cinta. Boleh kudapatkan dari planet demokrasi yang dihuni penduduk
dan pemimpin dungu itu ha ha ha…” Tertawa puas Udin sambil menikmati kopi.
“ Maksudmu tak jelas, ceritakan pangkal dan ujungnya…!”
“ Aku berhasil beroleh kesepakatan mengolah gunung emas
besar di planet itu. Dan kita akan datang lagi untuk mengeruk emasnya dengan
harga rendah, biaya pekerja murah, tanpa pajak sedikitpun lalu bagi hasil upetinya
hanya 1 persen saja…” jawab Udin van Armstrong sembari mengedipkan mata pada
Cinta Aguilera.
“ Baguslah, kali ini kau cukup pandai. Aku suka. Maksudnya
aku suka kerjamu” Sepertinya Cinta Aguilera mulai terperngkap rayuan Udin van
Armstrong.
Akhirnya mereka pulang dengan selamat. Tidak lama kedua
sejoli pun menikah dan bahagia selama-lamanya.
***
“
Kakanda Subowo, tampaknya ada yang hendak disampaikan. Tak baik gundah
disimpan, lama-lama menjadi sakit di badan.”
“
Adinda, kau pemimpin di negeri ini. Usia saya tingal sepenggalah. Saya semacam
ada firasat tak enak dengan orang asing itu. Janganlah kita seperti kerbau
dicocok hidung. Saya hanya khawatir kita ditelikung jua. Boleh saja orang asing
itu hanya berniat mengeruk pusaka leluhur kita. Akhirnya Nyamuk tak mati, gatal
tak hilang. Gunung emas habis, tapi rakyat tak kunjung sejahtera. Inilah yang
saya khawatirkan adinda…” Berat sekali Subowo melafalkan kata demi kata kepada
Jacko.
“
Kakanda Subowo, Nasehat itu akan saya jadikan panutan. Selama hayat dikandung
badan, nasehat kakanda akan saya junjung. Bolehlah dipegang janji saya akan hal
ini…” Ucap Jacko si Banteng Muda.
Tidak ada komentar