Oleh: Teguh Estro
Sebuah kisah legendaris dari Negeri Minang
buah karya Marah Rusli menjadi trend di zamannya. Bahkan hingga kini pun tokoh
Sitti Nurbaya menjadi Icon atas penindasan kaum perempuan. Namun dari kesemua
hikayat yang berjudul “Kasih Tak Sampai” tersebut. Saya coba mengutip
dialog-dialog yang cukup emosional dibaca.
Pertama,
Sebuah percakapan dua sejoli yang masih muda yakni Samsul Bahri dan Sitti
nurbaya di Gunung Padang. Sebuah percakapan di saat Samsul Bahri hendak
merantau kuliah ke Jakarta. Beberapa masa sebelum berangkat ia mengungkapkan kekhawatirannya pada Sitti
Nurbaya:
“Barangkali Sangkamu, aku pura-pura berbuat
susah, karena akan pergi ke Jakarta itu’ Kata Samsu pula, “Tetapi
Sesungguhnyalah sangat khawatir hatiku mengingatkan…..:”
Hingga ini Samsu
berhenti, sebagai tak berani menyebut nama orang yang dikhawatirkannya itu.
“ Meninggalkan
siapa Sam?” Tanya Nurbaya. “Adakah orang di sini tempat hatimu tersangkut?”
“Meninggalkan
engkau Nur” Jawab Samsu terus terang.
“ Aku?” Tanya Nurbaya
pula seakan-akan heran.
“ya” Jawab Samsu
dengan pendek.
Nurbaya termenung mendengar pengakuan ini, lalu menundukkan kepalanya ke tanah, sehingga tiadalah dapat dilihat, bagaimana warna mukanya pada waktu itu.
Nurbaya termenung mendengar pengakuan ini, lalu menundukkan kepalanya ke tanah, sehingga tiadalah dapat dilihat, bagaimana warna mukanya pada waktu itu.
Kedua,
Sebuah nasihat Baginda Sulaiman, Ayah Sitti Nurbaya. Beliau manusia paling
santun di tanah Padang. Ia pun saudagar kaya namun jatuh miskin karena
diperlakukan licik oleh Datuk Meringgih. Ketika toko dagangnya dibakar oleh
Datuk Meringgih, perahunya yang berjumlah 5 Sampan pun dikaramkan ke Teluk
Bayur. Begitupun kebun kelapanya diracun oleh suruhan Datuk Meringgih. Hingga ia
jatuh bangkrut dan banyak hutang kepada Datuk Meringgih. Dan ketika tak kuasa
melunasi hutangnya, akhirnya Sitti Nurbaya dijadikan ‘bayaran’. Terpaksalah Sitti
Nurbaya menikah dengan Datuk Meringgih dan bersedihlah Baginda Sulaiman yang
telah memberikan putrinya pada Datuk Meringgih.
Ketika hendak tiba ajalnya, Baginda
Sulaiman berpesan kepada Sitti Nurbaya.
“Jika pergi
ke negeri orang, haruslah air orang disauk (ditimba). Dan ranting orang
dipatah, artinya jangan membawa aturan sendiri, melainkan adat kebiasaan orang
dan negeri itulah yang dipakai dan dijalankan, supaya disukai orang dan lekas
mendapat sahabat kenalan yang baik”
Ketiga, sebuah pantun pamungkas dari
Samsul Bahri yang membuat hati Sitti Nurbaya meleleh mendengarnya:
"Berbunyi
Meriam Tanah Jawa
Orang
Belanda Mati Berperang
Haram
Kakanda berhati dua
Cinta
kepada Adik seorang."
Keempat, sebuah kutipan paling dalam
dari seorang Sitti Nurbaya kepada Samsul Bahri. Setelah ia resmi menjadi isteri
Datuk Meringgih. Ia menyampaikan kegundahannya pada Samsul Bahri.
“oleh sebab itu, kupinta
kepadamu Sam,” Kata Nurbaya pula, “Bila Engkau kelak beranak perempuan,
janganlah sekali-kali kau paksa kawin dengan laki-laki yang tiada disukainya. Karena
telah kurasai sendiri sekarang ini, bagaimana sakitnya, susahnya dan tak
enaknya, duduk dengan suami yang tiada disukai. Tak heran aku, bila perempuan,
yang bernasib sebagai aku ini menjalankan pekerjaan yang tak baik, karena putus
asa. Aku ini, sudahlah, sebab terpaksa akan menolong ayahku. Tetapi perempuan
yang tiada semalang aku, janganlah dipaksa, menurut kehendak hati ibu-bapa,
sanak saudara sahaja, tentang perkawinannya, dengan tiada mengindahkan
kehendak, kesukaan, umur, kepandaian, tabiat dan kelakuan anaknya.”
Tidak ada komentar