Oleh:
Teguh Eko Sutrisno. S.Kom.I
Pembangunan adalah kosakata lama
yang tak kunjung usai untuk dituntaskan. Mulai dari cara pandang hingga teknis
pelaksanaan, belum banyak perubahan paradigma. Semisal pembangunan yang selalu
identik dengan pengembangan fisik atau sarana-sarana mercusuar. Setiap daerah
berlomba-lomba memamerkan tembok-tembok raksasa sebagai icon keberhasilan. Orang-orang lebih bangga berfoto ria di jembatan
Ampera tinimbang mengaplikasikan makna mendalam dari kata AMPERA, Amanat Penderitaan Rakyat. Kita berharap
agar fenomena ini tidak serta-merta dibenarkan begitu saja. Perlu analisis
mendalam, karena ini menyangkut keberlangsungan generasi mendatang.
Dalam lirik lagu Indonesia Raya terdapat kalimat yang
menarik. “Bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya, untuk Indonesia
Raya”. Guru bangsa kita Wage Rudolf Supratman sang pengarang lagu
kebangsaan ternyata lebih mendahulukan kalimat Bangunlah Jiwanya sebelum kalimat Bangunlah Badannya. Artinya pembenahan manusia adalah
seutama-utamanya pembangunan. Kalimat Bangunlah
Jiwanya sudah berusia 80 tahun lebih namun sampai saat ini belum memiliki
khasiat yang ampuh. Ya, pendek kata pembangunan yang berporos pada kualitas
manusia belum menjadi arus utama.
Salah satu kata kunci dalam
pembangunan manusia adalah mewujudkan masyarakat yang partisipatif. Mereka
bukan melulu menjadi objek program
pengentasan kemiskinan, namun perlahan-lahan menjadi subjek yang ikut serta
menyelesaikan. Sehingga pekerjaan rumah buat kita adalah, bagaimana membentuk
masyarakat menjadi insan partisipatif. Bagaimana menggeser habitus masyarakat yang apatis menjadi korps penggerak bahkan
pemberdaya di lingkungannya. Namun sebelumnya terlebih dahulu kita kudu paham tentang penyebab apatisme
masyarakat.
Ketidakpedulian
muncul karena tidak sampainya informasi tentang tujuan pembangunan. Pengetahuan
tentang pemberdayaan masyarakat masih tersimpan rapi dalam seminar-seminar di
hotel berbintang. Informasi tentang tujuan mulia dari pembangunan belum sampai
kepada masyarakat dengan bahasa yang tepat. Seolah kajian terkait pembangunan
manusia hanyalah artikulasi yang pantas dikeluarkan oleh profesor saja. Oleh
karenanya dibutuhkan banyak orang yang mampu menjadi penerjemah idealita
pembangunan kedalam bahasa lidah wong
cilik. Andai saja kalangan akar rumput ini paham bahwa pembangunan itu
untuk kepentingan anak-cucunya. Tentu mereka akan tergerak. Bukankah kita tidak
ingin antrean raskin kian bertambah peminatnya setiap tahun bahkan berujung
anarkis. Sampaikan kepada masyarakat, cukuplah kita saja yang hari ini
berdesakan berebut raskin. Jangan sampai anak kita juga mengalami nasib serupa. Atau generasi cucu-cucu kita juga
mengenaskan hingga tewas saat antrean bantuan. Alangkah sedihnya bila semua
generasi keluarga kita tujuh turunan dikenal sebagai generasi pengemis antrean
bantuan. Tugas kita adalah memutus generasi daripada mental buruk tersebut.
Kalau
saja masyarakat meyakini bahwa pembangunan manusia adalah kebutuhan mendesak
bagi generasi mendatang. Tentu saja mudah bagi kita dalam membangun dan mengisi
ruh pembangunan fisik yang kita
bangga-banggakan selama ini. Sayangnya, masyarakat kita sudah terlanjur acuh tak acuh bahkan berbuntut pada
pragmatisme. Oleh karenanya semua sektor perbaikan jangan pernah lelah untuk
melakukan pendidikan sosial. Sehingga benarlah bila pemerintah meluncurkan
banyak program yang berorientasi pada pembagusan manusia. Semisal Program Keluarga Harapan (PKH) yang
mengangkat harapan keluarga sangat miskin menjadi mudah dalam mengakses
kebutuhan hidup mendasar berupa layanan kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya
terdapat pula program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang bertujuan mengangkat
ekonomi masyarakat sekaligus menggeser perlahan paradigma masyarakat yang
pragmatis tentang pentingnya jiwa entrepreneur.
Akan tetapi program sebaik apapun juga tidak akan berbunyi apa-apa bila tidak
diiringi kompetensi dan tanggung jawab sosial. Informasi program pemerintah
hanya akan menjadi pipa penyalur fulus
ke dompet orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akan muncul banyak volunteer ‘abal-abal’ yang asyik menjadi
penadah dana bantuan sosial. Hal tersebut terjadi karena pemahaman informasi yang
tidak diiringi taggung jawab sosial.
Budaya Organisasi Sebagai Solusi
Penanaman
sikap tanggung jawab sosial bersumber dari pola pembentukan karakter yang jitu.
Sedangkan wadah terbaik untuk penanaman karakter tanggung jawab adalah melalui
pendidikan organisasi. Bila seseorang sudah memiliki budaya organisasi yang
baik, maka sedikit banyak akan mempengaruhi sikap tanggung jawabnya. Sejak SMP
mereka sudah diajarkan bagaimana menjalankan organisasi OSIS dilanjutkan di
tingkat SMA dan semasa kuliah. Bahkan organisasi di tingkat masyarakat semisal
karang taruna dan sebagainya. Sehingga mendatang akan lahir generasi yang
cerdas dan matang dalam mengelola dan membangun manusia. Di dalam organisasi
ditanamkan sikap tanggung jawab dan melatih kecerdasan interpersonal. Mereka
adalah orang yang tidak hanya berhenti pada melafalkan teori-teori sosial namun
menjadikan teori tersebut hidup pada tempat yang tepat. Memang menjadi seorang
organisatoris cukup melelahkan. Pengorbanan atas banyak materi dalam waktu yang
tidak sebentar. Dan membutuhkan kesabaran dalam menghadapi keragaman manusia. Memang,
menghidupkan budaya organisasi yang baik di era modern sungguh melelahkan.
Sehingga bolehlah bila hal tersebut pantas dibayar mahal dengan keberhasilan
pembangunan masyarakat.
Tidak ada komentar