Oleh: Teguh Estro*
(*Curhatan seorang Jomblo tentang kisah cintanya.)
Referensi Buku Bacaan:
1. Dr. Ir. HermenMalik, M.Sc. Melepas Perangkap Impor Pangan. LP3ES, Jakarta : 2014.
2. Mark Skousen, Teori-TeoriEkonomi Modern. Prenada, Jakarta : 2005.
3. EffendiSiradjuddin, Nation in Trap. EsirInstitute bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Jakarta : 2012.
4. BernhardLimbong, Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi. PustakaMargaretha, Jakarta: 2013.
5. Prof. Dr.Rahardjo Adisasmita, M.Ec. Ekonomi Tata Ruang Wilayah. GrahaIlmu, Yogyakarta : 2014.
(*Curhatan seorang Jomblo tentang kisah cintanya.)
Pada April 1804, Seorang Thomas Robert Malthus
akhirnya melepas masa lajangnya di usia 38 Tahun. Seorang Ekonom yang
gemar berdebat dengan ayahnya itu mencetuskan teori yang kejam. Ia
mengatakan; “Populasi cenderung bertambah menurut deret ukur ( 1, 2,
4, 8, 16,32,…..) sedangkan Produksi Makanan cenderung bertambah menurut
deret hitung (1,2, 3, 4, 5…….)”. Lantas dimana letak kejamnya teori
ini. Secara sederhana Pria yang menguasai lima bahasa ini hendak
menyampaiakan bahwa populasi manusiabertambah jauh lebih cepat daripada
pertambahan sumber makanan. Artinya umat manusia dalam ancaman serius soal krisis pangan.
Namun teori ini ia sampaikan200 tahun lalu saat jumlah penduduk bumi
masih berkisar 1 Milyar saja. Menurut Malthus, setiap usaha untuk
menciptakan masyarakat yang lebih baik justru akan selalu
kontraproduktif. Sistem kesejahteraan pasti akan menambah populasi tanpa
menambah produksi makanan, dan akibatnya menambah penderitaan orang
banyak.
Terlepas dari pro dan kontra atas ocehan Malthus tersebut. Setidaknya pernah ada orang yang serius mengingatkan bahwa salah satu masalah mendasar umat manusia adalah mandegnya
pertambahan produksi pangan. Kian bertambah usia dunia kian bertambah
manusia yang tertatih-tatih mencari sesuap makan. Ledakan populasi
artinya ledakan jumlah mulut yang berebut pangan. Ada yang menjadi
pedagang, pegawai bahkan pengangguran sekalipun adalah manusia yang
sama-sama berjuang memenuhi isi perut.
Masihkah ingat kisah si Jomblo Mohamed Bouazizi dari Tunisia yang menyiram tubuhnya dengan minyak dan membakar diri.
Seorang lulusan perguruan tinggi yang terpaksa menjadi tukang gerobak
sayur karena keterbatasan lapangan kerja. Awalnya lelaki yang berumur 26
tahun itu dipukul oleh polisi Tunisia karena tak sanggup membayar uang rokok pada petugas yang kelewat mahal. Meninggalnya si tukang sayur yang belum sempat naik haji itu, menyulut kemarahan rakyat hingga terjungkalnya sang Diktator Ben Ali. Setidaknya dari cerita ini membuat kita belajar bahwa penguasa sekalipun jangan main-main untuk urusan perut.
Namun jangan pula mudah terjebak pada persoalan-persoalan permukaan
saja. Kepahaman yang matang peristiwa hulu dan hilirnya mebuat kita
lebih jernih memilah masalah.
Persoalan krisis pangan memiliki banyak faktor penyebabnya. Mulai dari
kesalahan paradigma dalam konsumsi pangan, masalah berkurangnya lahan
pertanian secara drastis, suramnya reforma agraria, infrastruktur yang
menunjang pertanian masih sangat compang-camping, tercekiknya hidup para
petani oleh harga kebutuhan sarana produksi tani yang melambung,munculnya pemerintah ‘psikopat’ yang terus-menerus melakukan impor pangan.
Kesemuanya itu adalah benang kusut persoalan pangan yang ujung-ujungnya
secara laten mendorong lahirnya kelaparan di kemudian hari. PBB merilis
bahwa saat ini ada satu milyar penduduk dunia dalam kondisi kelaparan
dan kurang gizi karena krisis pangan.
Paradigma Sesat dalam KonsumsiPangan
Berkembangnya teknologi di bidang pangan dan pergeseran gaya hidup
telah memicu terjadinya perubahan kebiasaan makan (food habits) masyarakat Indonesia. Makanan cepat saji (fast food)
menjadi idola generasi saat ini. Ditinjau dari pandangan ilmu gizi
perubahan perilaku tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya
masalah gizi lebih, obesitas dan penyakit degeneratif.
Beragam merk mie instan dan panganan instan lainnya telah massif
beredar di masyarakat sampai perdesaan. Mie Instan yang berbahan baku
gandum, cukup aneh sampai bisa digemari di Indonesia saat ini. Pasalnya
Indonesia bukanlah negara penghasil gandum dan memang tidak cocok
dilahan tropis kita. Pertanyaannya kenapa mie instan bisa popular
sampai kedesa-desa? Padahal bahan baku nya berasal dari gandum impor
yang dahulunya tidak dikenal oleh lidah orang Indonesia.
Ini sebuah rekayasa yang berlangsung puluhan tahun. Lidah kita sudah
terjajah dengan bahan baku impor. Bagaimana mungkin saat ini lidah orang
Indonesia bisa menerima rasa dari gandum impor yang direbus itu. Dahulu lidah orang tua kita enjoy mengecap singkong, Sagu, Jagung, gadung, kentang dan aneka asupan lokal lainnya.
Dan 20 tahun terakhir ini lidah kita sudah diserang oleh penjajahan
mie instan. Tahukah dari mana impor gandum tersebut? Ya jelas,
Australia, Kanada, Amerika Serikat, Rusia, Turki, SriLanka, Belgia dan
Ukraina dan masih banyak lagi negara ladang gandum yang tertawa melihat kebodohan kita manusia Indonesia. Dalam catatan tahun 2012, kita melakukan impor gandum melebihi 6 Juta ton.
Kedatangan gandum di Indonesia tidak langsung sukses begitu saja.
Pihak pengusaha Mie Instan melakukan Beragam penelitian, kampanye yang
konsisten dan sampai melalui pendekatan rasa makanan lokal. Selama 20
tahun mereka mengkampanyekan gandum agar ‘selidah’ dengan orang-orang
pemakan singkong seperti kita. Baik kampanye di televisi terutama
ataupun via media lainnya. Bahkan gandum sudah mulai menjajah jajanan
lokal. Jajanan lokal yang dahulu menggunakan tepung beras,tepung sagu
atau tepung lainnya. Kini jajanan lokal sudah menggunakan tepung gandum
sebagai bahan baku. Begitupun mie instan juga sudah menawarkan rasas
esuai selera makanan lokal. Mie Instan rasa rendang, Soto Lamongan atau
makanan lokal lainnya.
Kemudian manusia Indonesia juga mengalami kesesatan pandangan dalam mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Ada pihak-pihak yang memaksakan kehendak agar semua orang Indonesia menjadikan beras sebagai pangan utama.
Padahal kita dahulu terbiasa makan singkong, sagu dan jagung. Sehingga
ketergantung manusia Indonesia dengan beras sudah sangat kronis.
Konsumsi beras masyarakat Indonesia setiap orangnya rata-rata sebesar139
kg per tahun atau sekitar 0,4 kg per hari. Ini angka yang cukup
fantastis tertinggi di Asia bahkan mungkin dunia. Di Thailand dan
Filiphina hanya 100 kgper tahun, Cina mengkonsumsi 90 Kg per tahun dan
India hanya 74 kg per tahun untuk setiap satu orang warganya. Hal ini
menandakan kebutuhan beras di Indonesia cukup besar. Meskipun gertak-gertak swasembada pangan terus didengung-dengungkan, tetapi tetap saja Impor beras terpaksa menjadi solusi.
Konsumsi beras bisa dikurangi dengan melakukan sosialisasi konsumsi
pangan yang benar. Bahwa menu makan tidak harus selalu dengan beras,
bisa diganti dengan singkong, jagung atau umbi-umbian lainnya. Begitupun
dalam mengkonsumsi nasi, masyarakat Indonesia sangat ‘beringas’. Satu piring penuh oleh nasi dan sisanya baru sayur dan lauk seadanya. Padahal seharusnya nasi secukupnya diimbangi dengan sayur, lauk dan cairan yang seimbang. Karena pandangan sesat orang Indonesia dalam konsumsi pangan adalah hanya bertujuan ‘asal kenyang’.
Makan bukan bermaksud untuk menambah asupan gizi, namun dimaksud untuk
menghilangkan rasa lapar semata. Inilah yang dimaksuddengan rice food traps atau perangkap pangan beras di Indonesia.
Tradisi makanan lokal pun terancam. Sego jagung di Jawa tergeser oleh beras, Kebudayaan penduduk di Maluku untuk menanam tanaman sagu hilang berganti dengan beras.
Sungguh kejam sekali monopoli beras saat ini. Beras adalah salah satu
pangan kunci di dunia dan dimakan oleh sekitar 3 Milyar orang setiap
hari. Sungguh menggiurkan bagi para mafia untuk bisnis distribusi beras
di dunia ini. Sehingga ujung-ujungnya bisa mengorbankan pangan lokal
perlahan-lahan.
Kebijakan-kebijakan ‘Psikopat’
Kembali kita mengupas diskursus Malthusian yang sangat pesimis terhadap
keberlangsungan hidup umat manusia. Banyak ekonom-ekonom lain yang
‘usil’ mengkritik teori Malthus ini. Semisal tentang populasi manusia
dan hewan. Perempuan butuh waktu Sembilan bulan untuk melahirkan, dan
jarang sekali melahirkan bayi kembar dua atau tiga. Sementaraitu banyak
hewan –terutama sapi, ayam, babi, ikan, dan hewan lainnya yangdikonsumsi
manusia- jauh lebih produktif. (Mark Skousen : 2005). Tentu sajad engan
pendekatan-pendekatan lainnya, kita bisa saja membantah teori dari
pendeta Anglikan tersebut. Hanya saja di era modern ini teori Malthus
masih ‘agak nyambung’ bila digunakan untuk menganalisis krisis pangan di
negara –negara berkembang bahkan negara miskin.
Indonesia bisa jadi salah satu negara yang masuk dalam kategori ‘ramalan’ Malthus.
Sebab penduduk yang banyak namun mengidap krisis pangan yang serius.
Hanya saja krisis ini bukan karena terbatasnya Sumber Pangan, tapi
karena tersumbatnya pengelolaan sumber-sumber produksi pangan tersebut.
Indonesia memiliki peternak sapi namun dijegal oleh kebijakan impor
yang mematikan pasar bagi peternak okal. Kebijakan impor pemerintah
sudah kelewatan, hingga membuat petani dan peternak kehilangan ‘selera’ untuk menggarap sawah dan ternaknya.
Banyak orangtidak mau lagi bekerja sebagai petani di pedesaan. Mereka
memilih pindah kekota, meski apapun pekerjaannya. Dikhawatirkan bila
urbanisasi dari pedesaan keperkotaan bertambah terus, akan berdampak
pula pada pengolahan lahan pertanian tidak produktif, tidak mampu
mengimbangi pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong akan
mengimpor berbagai komoditas pertanian yang sebelumnya surplus.
Semisal perhatian pada kebijakan land reform/kebijakan
lahan agraria. Saat ini lahan pertanian semakin memprihatinkan. Luas
lahan pertanian kini tinggal 13 juta hektar saja. Salah satu penyebabnya
semakin maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman,
pertambangan, perkebunan dan kawasan industri. Rata – rata laju konversi lahan pertanian adalah 110.000 hektar per tahun.
Hal ini cukup menyedihkan mengingat kemampuan pemerintah mencetak sawah
baru hanya 40.000 hektare per tahun. sehingga harus ada usaha radikal
untuk mendorong lahirnya kebijakan lahan pangan yang berpihak pada
petani. Kita mengutuk kebijakan akhir-akhir ini yang lebih mengutamakan
kepentingan pemilik modal dalam alih fungsi lahan pertanian.
Permasalahan akutnya bukan terletak pada hilangnya lahan pertanian itu
sendiri. Melainkan pada mentalitas manusianya, yang tidak bisa
dilepaskan oleh pengaruhzaman. Konversi lahan pertanian manjadi lahan
pemukiman, industri pabrik, atau lahan non produktif lainnya
dilatarbelakangi oleh ‘mental agraris’ manusia yang dekaden dari hari ke
hari. Mengapa terjadi? Jawabannya sederhana, zaman semakin modern, kapitalisme semakin mencengkram dan hidup bertani kurang bergengsi.
Selanjutnya kebijakan infrastruktur pertanian, banyak sekali hambatan
teknis petani-petani di pedesaan. Banyak faktor yang dapat disebutkan,
misalnya tenaga kerja di sektor pedesaan masih lemah, sarana produksi
(saprodi) sektor pertanian kurang, modal usaha lemah, kualitas hasil
komoditas rendah, saluran pemasaran terbatas, manajemen usaha pertanian
masih lemah, dan faktor-faktor eksternal lainnya, serta faktor
ketataruangan (Rahardjo Adisasmita:2014). Untunglah di era Presiden Jokowi ini sedikit ada kepedulian untuk anggaran infrastruktur. Meskipun masih tanda tanya bagaimana master plan nya ke depan.
Infrastruktur dan kebutuhan pertanian kini dikuasai oleh segelintir
pihak. Kekuatan monopolistik akan menjerat petaniuntuk membeli harga
input pertanian dan alat mesin pertanian dengan harga yangtinggi karena
petani sangat tergantung pada input dan sarana produksi tani dari
penyuplai berotak bisnis.
Kebijakan
selanjutnya yang sangat gila adalah kebijakan impor. Pemberian izin
impor beras oleh swasta dan privatisasi Bulog memberikan ruang besar
bagi impor pangan. Inilah kontroversi dimulai. Pemerintah selalu
tertarik mengadakan beras melalui impor yang secara nyata jauh lebih
murah dan merugikan petani tetapi hemat fiskal. Pilihan impor beras
atas nama ketahanan pangan cukup menyedihkan. Kenyataan yang kita hadapi
saat ini adalah bahwa: kita juga telah mengimpor Singkong, Ubi
Jalar,Kacang kedelai bahkan garam pun impor di negara penuh pantai
seperti kita, astaghfirullah.
Pada dunia industri, normalnya produsen adalah penentu harga. Tetapi
tidak demikian dengan pertanian, petani sebagai produsen tidak mempunyai
posisi tawar yang kuat untuk menentukan harga -bahkan harga gabah
sekalipun. Harga beras ditentukan oleh pasar yang tidak lain adalah para pedagang besar, importir kelas kakap dan pelaku Industri.
Akhirnya ucapan mantan PerdanaMenteri India, JAWA-Harlal Nehrumenutup tulisan ini: “Everything can wait, except agriculture. Obviously, we must have food and enough food” atau artinya adalah “Kabeh menungso arep mangan, Mangkane urusan panganan ojo mung inggah-inggih. Kudu nggenah Sesuk mangan opo…?”
Referensi Buku Bacaan:
1. Dr. Ir. HermenMalik, M.Sc. Melepas Perangkap Impor Pangan. LP3ES, Jakarta : 2014.
2. Mark Skousen, Teori-TeoriEkonomi Modern. Prenada, Jakarta : 2005.
3. EffendiSiradjuddin, Nation in Trap. EsirInstitute bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Jakarta : 2012.
4. BernhardLimbong, Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi. PustakaMargaretha, Jakarta: 2013.
5. Prof. Dr.Rahardjo Adisasmita, M.Ec. Ekonomi Tata Ruang Wilayah. GrahaIlmu, Yogyakarta : 2014.
Tidak ada komentar