Oleh: Teguh Estro
Ada dua jenis pendekatan dalam
mendidik. Pertama pendekatan pedagogik
dan Kedua Pendekatan Andragogik.
Mendidik secara Pedagogik merupakan metode pendekatan secara anak-anak. Pendekatan
ini kerap digunakan dalam kelas sekolah, training atau kursus. Mengenai metodenya
sudah kita kenal secara akrab. Seorang guru menyampaikan ceramah. Para siswa
mencatat dan harus menerima seluruh pengetahuan dari guru secara satu arah.
Adapun pendekatan Andragogik kerap dikenal sebagai pola mendidik orang dewasa. Tidak
ada guru tuanggal yang mengajari, akan tetapi semuanya saling belajar satu sama
lain. Bukan sekedar ceramah, namun pola diskusi, dialog konstruktif maupun pola
penggalian gagasan mendalam lainnya. Satu individu dan individu lainnya saling
berbagi wawasan tanpa memaksakan kehendak. Sehingga masing-masing bisa saja
memiliki kesimpulan yang berbeda sesuai kemampuan masing-masing.
Kedua pendekatan tersebut sama-sama
pentingnya. Pendekatan secara anak-anak (pedagogik) tepat bila digunakan dalam
hal pemenuhan kognitif siswa. Sedangkan Aspek Afektif lebih tepat menggunakan
pendekatan Andragogik. Hanya saja selama ini kita hanya menikmati pendekatan
pedagogik (anak-anak) dalam dunia pendidikan.
Sudah menjadi lumrah kata
pendidikan sudah identik dengan kata ‘sekolah’.
Setamat sekolah tak ada lagi belaian pendidikan pada masyarakat kita. Karena dunia
pendidikan kita belum punya konsep dalam mendidik orang dewasa dengan
pendekatan orang dewasa (andragogik). Sehingga kerap kali mereka yang juara
saat di sekolah justru berbelok arah secara moral ketika sudah dewasa. Ternyata
masyarakat tempat ia bertumbuh menanamkan nilai-nilai teladan yang buruk.
Sedangkan input nilai positif ditanamkan secara salah. Banyak orang dewasa yang
diajarkan masih dengan pola anak-anak. Misalnya dengan paksaan, harus menurut
dan lain-lain. Padahal dunia orang dewasa adalah tentang penghargaan, pengembangan
dan pendekatan dialog.
Secara kebangsaan kita kenal istilah ‘Guru
Bangsa’. Setiap tokoh yang memiliki peran dan pengabdian secara nasional
biasanya sering digelari panggilan tersebut. Namun itu belumlah mengakar sampai
merubah karakter masyarakat. Lebih tepatnya dibutuhkan jiwa relawan dalam
setiap kita yang sadar untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Relawan yang
memiliki kepekaan dan panggilan jiwa untuk melakukan dialog bersama masyarakat.
Membangun masyarakatnya sendiri, anak-istri bahkan orang tuanya sendiri. Itulah
Relawan Sosial yang kita maksud.
Sebagai Relawan Sosial, wajib kita
memahami karakter masyarakat secara spesifik. Terutama pada masyarakat kita
terdapat karakter positif dan negatif yang kudu
dihafal. Semisal sisi positif dari beberapa masyarakat kita; masih adanya jiwa
gotong royong, Menghormati orang yang lebih tua, kekeluargaan dalam
menyelesaikan masalah dan ramah terhadap pendatang. Segi positif ini harus
digali dan diangkat kembali pada generasi muda. Adapun sisi negatifnya misalnya
Semakin maraknya pola pikir materialistis, kurang memiliki etos kerja, mudah
terpedaya pada hal-hal baru dan kerap mengkultuskan figur. Tentu saja masih
banyak lagi sisi positif dan negatif yang harus digali lewat ragam kajian
kemasyarakatan. Dan penulis sangat merindukan berdiskusi dan mendengar ilmu
dari pembaca sekalian mengenai karakter sosio-kultur masyarakat kita.
Karakter masyarakat penting untuk
dipahami sebagai data dalam mendidik masyarakat dengan pendekatan orang dewasa
(andragogik). So, pertanyaanya apakah mungkin kita merubah masyarakat tanpa
menceramahi. Tentu saja mungkin. Apalagi bila kita mau memahami karakter
masyarakat, metode pendekatan dan tujuan yang jelas. Terlebih utama kesabaran
tingkat international ofcourse. Selanjutnya
seorang relawan sosial pun wajib memiliki daya adaptasi yang cepat. Termasuk,
cepat dalam memakai bahasa masyarakat tersebut. So, harapannya diskursus
pemberdayaan masyarakat sangat menarik untuk diperdalam kembali. Tulisan ini
sekedar curhat dari penulis tentang problematika mendasar dari masyarakat kita.
Yakni, Krisis Karakter nilai luhur kebangsaaan.
Tidak ada komentar