Oke sob,
sebelum kita jauh membahas terkait dunia sosial. Saya mau sharing tentang hal
yang mendasar dulu. Apa itu? yah itu dia, problem kemiskinan. Saya yakin kalian
pasti pada tertawa. Ya iya lah, sudah bérapa banyak seminar diadakan untuk
membahas kemiskinan. Hehehe mungkin kita salah satunya yang sering koleksi
kartu peserta Seminar Kemiskinan. Toh, penyakit kemiskinan tak kunjung
menemukan penawarnya.
Banyak yang
bilang kemiskinan inilah ‘biang kerok’. Atau bahasa kerennya, kemiskinan
memunculkan efek domino bagi masalah-masalah sosial lainnya. Perhatikan saja,
setiap ada masalah sosial ujung-ujungnya dikaitkan dengan ‘Faktor Ekonomi’.
Tingginya angka kriminalitas, katanya faktor ekonomi. Maraknya aksi KDRT dalam
keluarga, juga dikarenakan faktor ekonomi. Bahkan meningkatnya jumlah para
jomblo bisa jadi lantaran Faktor Ekonomi sob he he he. So, tak heran bila
pemerintah kerap menjadikan angka kemiskinan sebagai indikator maju mundurnya
kinerja. Namun, kita tak akan bicara soal angka-angka itu, saya janji deh. Yah
karena kemiskinan itu sebuah kondisi yang multi dimensi. Lebih dari sekedar
angka, dalam kemiskinan itu ada bahasan tentang penyebab kemiskinan, pengaruh
kemiskinan, lingkungan yang memiskinkan dan yang lebih ngeri lagi adalah kemiskinan
mental.
Duh gaes,
bahasannya sudah mulai serius nih. Okelah kita lanjut ya. Coba deh kita buat
pertanyaan yang lebih kritis lagi. Seandainya orang-orang yang bermasalah
dengan faktor ekonomi ini diberi sumbangan uang, anggap saja masing-masing 20
juta. So, apakah masalah akan selesai? (tolong tanda tanya-nya digedein dong),
Jawab...! oke kalau kita mau sok bijak, mungkin akan muncul jawaban begini :
“ya, tergantung orangnya dong” atau gini nih: “ya kalau dikasih uang 20 juta,
ada yang bisa menyelesaikan masalah, ada juga yang tambah bingung”.
Kalau kita
mau jujur, banyak masyarakat miskin yang bertambah rusak ketika mereka diberi
bantuan cash money. Yah, ini bukan
sekedar asal omong doang. Setidaknya penulis pernah melihat sendiri. Ada yang
diberi bantuan modal, malah ribut dengan keluarganya. Ada lagi mereka yang
mendapat bantuan, tapi uangnya dibagi-bagikan pada orang lain. Ada juga yang
sampai terjerat hutang dan masih banyak lagi masalah lainnya. Bukan menjadi
solusi, justru menjadi penyebab masalah baru.
Saya coba
beri gambaran sederhananya. Ada sesuatu yang menyebabkan kemiskinan dan
kemiskinan pula yang menyebabkan sesuatu itu. Nah pertanyaannya, apa sesuatu
yang dimaksud itu? Ini pertanyaanya ngajak berantem ya. Oke deh, jadi gini
gaes. Ada beberapa karakter/mental buruk yang membuat orang menjadi miskin. Dan
Kondisi miskin pula yang terkadang menyebabkan orang memiliki mental buruk.
Penulis sendiri sering berdiskusi dengan kawan-kawan yang menjadi pendamping
program PKH, Pendamping PNPM, pendamping Bantuan Kelompok Usaha Bersama.
Intinya ada sebuah benang merah dari faktor ekonomi yang melilit masyarakat
kita. Yakni, faktor mental masyarakat.
Mental
masyarakat ini bisa divisualisasikan dengan kondisi ibu-ibu yang antri bantuan
bagi masyarakat miskin sambil membawa kalung emas dan bercincin permata. Nggak
malu tuh sama kalung dan cincin. Atau seorang pemuda tampan gagah perkasa yang
berebut bantuan raskin bersama kakek tua. Haduh, pusing kan. Padahal kejadian
itu adalah kondisi nyata di sekitar kita.
Nah,
sekarang bagi siapapun dari kita yang mau ambil bagian menjadi solusi maka
berpikirlah untuk memperbaiki mental masyarakat kita. Mungkin di antara kita
ada yang berperan sebagai relawan sosial, aktivis sosial, pendamping program
sosial, pekerja sosial atau apalah yang ujungnya sial, sial sial.... ups.
Ayolah, kalau tidak ada yang mengambil peran ini, gawat sob. Bukan melulu
membantu dengan membagi-bagi fulus.
Tapi buatlah program yang membuat masyarakat kita memiliki skill dan kompetensi
untuk berubah. Sederhana saja, semacam skill manajemen administrasi, kemampuan berorganisasi,
tidak gaptek, akrab dengan bacaan yang membangun, atau membuat lingkaran
diskusi entrepreneur.
“Terus caranya
gimana...?” (tiba-tiba ada yang bertanya dengan berteriak)
“Saya di
kampung ini bukan siapa-siapa, masih dianggap anak ingusan” ujarnya.
“Mereka tak
akan mau mendengar” tambahnya sambil tercekat-cekat.
“Tidak,
tidak Roma. Oh Ani” loh loh kok?
Alamak, kok
jadi ribet gini ya urusannya. Okelah kalau kalian menjadi pejabat mungkin agak
berbeda ceritanya. Dimana seorang pejabat jika minta dibuatkan kopi, masyarakat
malah menyuguhkan kopi tambah gorengan dan sebungkus rokok mungkin. Intinya
bila posisi sebagai pejabat ya pasti dipandang masyarakat lah. Sukur-sukur,
kalau ada pejabat yang mau mengambil peran mengajak rakyatnya berubah. Dengan
membuat program-program yang mendidik mental dan membuka akses peluang kemajuan
bagi masyarakatnya. Tapi yang jadi persoalan, pejabat yang begini gak banyak
bro.
Perubahan
mental masyarakat tak harus menunggu ente
jadi pejabat dulu. Bahkan bisa dimulai dari perkara-perkara yang sederhana.
Misalnya sambil nunggu peserta arisan kumpul di kantor desa. Daripada ngobrol
gak jelas tentang rumah tangga orang, mendingan diajak ngobrol tentang kampung
sebelah yang punya program “Kampung berbasis IT” atau kalian yang habis baca di
Internet tentang “Desa wisata sungai”. Berarti kita kudu banyak baca gaes. Emang mereka mau dengar? Entar dicuekin
gimana? Setidaknya kita sudah mencoba. Kalau itu tak berhasil, pake senjata
lain. Seorang pelopor perubahan masyarakat tak boleh kehabisan ide.
Tidak ada komentar