Menjembatani Realita Sosial
Oleh: Teguh Estro
Setiap kita pastinya mengharapkan terwujudnya masyarakat yang maju. Menurut saya, masyarakat yang maju harus memiliki empat karakter. Mau belajar, norma sosial yang mengakar, beradaptasi pada zaman dan menyiapkan generasi mendatang. Karakter masyarakat tersebut adalah modal sosial yang paling pokok.
Apabila masyarakat memiliki karakter yang baik, tentu lebih berpotensi untuk berkembang. Mereka terkadang cukup diberikan stimulan, arahan dan pendekatan kekeluargaan. Sehingga memudahkan program-program sosial dilaksanakan.
Semisal sebuah masyarakat mendapatkan program bantuan modal kelompok usaha. Dan sebuah kelompok usaha membutuhkan orang-orang yang mau bermusyawarah, skill berorganisasi, manajerial pencatatan keuangan dan pengalaman berdagang. Tentu saja semuanya itu akan mudah dijalankan bila masyarakat memiliki karakter yang kuat.
Pertanyaannya. Apakah dalam Realitas Sosial, masyarakat seperti itu ada? Jawabannya sangat sedikit sekali ditemukan masyarakat yang berkarakter baik. Sedangkan program-program pembangunan justru kerap ditujukan pada masyarakat yang terbelakang, terpencil dan miskin. Maka, bisa dipastikan terdapat gap atau kesenjangan antara orientasi sebuah program sosial dengan realita sosial. Jelas ini sebuah masalah.
Penulis sering menjumpai bantuan kelompok usaha yang hanya bertahan tak lebih dari tiga bulan saja. Setelah itu usaha tersebut tak ada kelanjutannya lagi. Hilang begitu saja. Bahkan ada pula yang sudah mengundurkan diri sebelum bantuan disalurkan. Jelas sekali ada persoalan mental dan karakter yang belum sehat.
Kesenjangan antara idealnya Sebuah program dengan Realita yang penuh keterbatasan tentu harus ada jembatan penyelesaiannya. Para pekerja sosial, pendamping program sosial atau relawan sosial lainnya kudu siap menjembatani itu. Kenapa harus dijembatani? Karena idealita dan realita adalah dua alam yang berbeda. Perlu ada penerjemah antara bahasa program menjadi kosakata teknis lapangan.
Dalam dunia program pembangunan Sosial, kita sering mengenal istilah program yang 'terencana', 'terintegrasi', 'berkelanjutan', 'tepat sasaran' dan bahasa langit lainnya. Namun saat di lapangan kita justru bertemu dengan kosakata yang berbeda. Misalnya, 'Wani Piro', 'uang rokok', 'Aku ikut aja'' dan kosakata lucu lainnya.
Sebagai seorang relawan sosial ada beberapa kemampuan dasar yang harus diperhatikan. Pertama, kemampuan mendefinisikan program. Kita harus paham tujuan akhir dari sebuah program sosial. Selanjutnya untuk mencapai tujuan tersebut, bagaimana caranya? Bukan hanya satu cara saja. Namun seribu satu cara untuk menggapai tujuan yang dimaksud. Disinilah kita dituntut agar menjadi orang yang mau terus belajar.
Tidak ada komentar