Oleh: Teguh Estro
Direktur RISET Lembaga RESEI
(Research and Social Empowerment Institute)
Diskursus terkait perubahan sosial kian menarik untuk diamati. Gelombang inovasi teknologi kian merombak dan menabrak pakam interaksi sosial. Teknologi komunikasi sudah menuntun bahasa pergaulan menjadi serba digital. Pelan tapi pasti para generasi lama akan mengalami clash of habit dengan ulah millenials dalam berkehidupan. Mulai dari pola komunikasi, transaksi keuangan, sampai urusan mencari jodoh semua akan dioperasikan secara online.
Melalui Smartphone, ruang publik sudah berpindah ke dalam ruang-ruang Social media. Keintiman pertemanan telah bertransformasi menjadi obrolan dalam aplikasi group chat. Mengutip pernyataan Dr. Muhammad Faisal dalam buku GENERASI PHI π, MEMAHAMI MILENIAL PENGUBAH INDONESIA. “…Dari Hasil riset pada 2015-2016, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, kami menemukan bahwa rata-rata seorang generasi π (phi) setidaknya memiliki lima group pertemanan di Chat-apps mereka. Jadi mereka mengatur begitu banyak informasi dalam setiap aktivitas harian mereka….” Direktur Youth Laboratory ini juga menambahkan dalam penelitiannya bahwa generasi milenial atau generasi Phi (π) memiliki hobi share informasi di sosial media karena mereka memiliki kultur untuk berbagi segala sesuatu kepada kelompoknya.
Perubahan platform komunikasi tentu akan mengubah kejiwaan para individu yang bertukar pesan. Dimana sebelumnya manusia berbicara dengan menambahkan bahasa tubuh, intonasi dan emosi mimik muka. Namun saat ini para pengguna akun hanya bertemu foto profil, kalimat langsung saat chat-messages serta sedikit tambaha gambar emoji. Kita kehilangan keintiman, emosi dan respek dalam berkomunikasi. Dampaknya kita akan menemukan percakapan online yang agresif, kurang memiliki tanggung jawab dalam beropini bahkan cenderung berani membully pendapat akun lainnya. Oleh karenanya pada akhir-akhir ini mudah ditemukan cyberbullying di dunia maya. Sebagaimana pendapat Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya THE GREAT SHIFTING, “…UNICEF (2016) menemukan, sebanyak 41-50 persen remaja berusia 13-15 tahun pernah mengalami cyberbullying”
Dunia kriminal juga mengalami kemunculan fenomena-fenomena baru. Kita kerap mengenalnya dengan istilah cybercrime. Pada masa lalu, kita mengenal seorang penjahat bisa dari fisiknya. Misalkan berwajah seram, memiliki tattoo dan membawa senjata tajam. Namun Pelaku kriminal dalam dunia virtual sangat berbeda kondisinya. Mereka tidak tampak secara fisik bahkan biasanya hanya anonymous account. Bisa jadi pelaku kriminal adalah seorang pemuda tampan yang tak pernah keluar kamar dengan akses internet melalui smartphone nya. Atau seorang lelaki berpakaian rapi lengkap dengan jas nya, namun dalam dunia maya ia mampu meretas dan menguras rekening Bank. Kegelisahan ini sempat dilontarkan oleh ALEC ROSS dalam bukunya THE INDUSTRIES OF THE FUTURE. “… Pertanyaan yang diajukan di dalam Situation Room Gedung Putih sekarang ini adalah apakah pemerintah seharusnya memperlakukan serangan cyber yang menguras rekening BANK AMERIKA di territorial Amerika sebagai serangan terhadap bangsa Amerika, sebagai perampokan, atau sesuatu yang berbeda?”
Dampak dari tindakan kriminal ini sangat kasat mata dan kita tak bisa mengetahui siapa pelaku kriminal di dunia maya tersebut? Oleh karenanya sangat wajar bila saat ini hampir semua pihak kepolisian di seluruh dunia memiliki divisi khusus yang menangani cybercrime. Mereka memiliki spesialisasi melakukan Digital Forensik terhadap kasus-kasus cybercrime. Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Paisol Burlian dalam bukunya PATOLOGI SOSIAL terkait pesatnya konten pornografi melalui situs-situs internet. “Mengenai bentuk dan wujud transaksi pornografi melalui media internet yang lebih modern. Karena sifat media dalam transaksi pornografi yang modern ini, aparat penegak hukum menjadi kesulitan dalam menindak pihak-pihak yang bertransaksi…”
Pelbagai fenomena kian mengindikasikan betapa eratnya irisan interaksi social antara dunia nyata dan dunia maya. Bahkan beberapa perusahaan besar melakukan pencarian jejak digital kepada para calon karyawan saat melakukan interview masuk kerja. Hal ini seharusnya memberikan sinyal kepada para Pekerja Sosial agar perlahan memutar haluan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Melakukan pendekatan secara digital tentu bisa menjadi kiblat baru bagi para Pekerja Sosial dalam menyusun program-program sosial.
Para aktivis sosial kudu mengupgride kapasitas mereka agar bisa lebih akrab dengan bahasa-bahasa digital. Termasuk tidak asing dengan aplikasi-aplikasi yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Sudah saatnya kita berpikir jauh ke masa depan. Karena penyakit sosial yang akan dihadapi generasi mendatang akan lebih rumit sebab ditunjang oleh teknologi yang maju. Para pekerja sosial harus mampu melakukan analisis sosial atas gejala-gejala sosial di dunia maya. Melakukan assesmen secara online terhadap ragam penyimpangan di sosial media. Sampai pada kegiatan advokasi terhadap problematika sosial di dunia virtual.
Teguh Indonesia
Shifting Interaksi Sosial
Oleh: Teguh Estro Direktur RISET Lembaga RESEI (Research and Social Empowerment Institute) Diskursus terkait perubahan sosial ki...
Teguh Estro
Selasa, 30 April 2019