Oleh : Teguh Estro
Direktur Riset Lembaga RESEI
(Research and Social Empowerment Institute)
Salah satu kegiatan sentral dalam program Kesejahteraan Sosial adalah kegiatan Penanganan Kemiskinan. Namun upaya tersebut sampai saat ini masih jalan di tempat. Padahal upaya pemerintah sudah maksimal. Akan tetapi belum cukup menjadi obat atas kemiskinan ini. Dalam buku Menuju Ketangguhan Ekonomi, Dr. Bambang Widianto menuliskan bahwa walaupun tingkat kemiskinan terus menurun mencapai 10,86 persen (Maret 2016, BPS), Jumlahnya masih sangat besar, yaitu sekitar 28 juta orang. Selain itu, selama lima tahun terakhir penurunannya semakin melambat walaupun pertumbuhan ekonomi tetap terjadi. Lantas dimana titik masalahnya.
Kebuntuan penanganan kemiskinan ini karena telah terjadi banyak perubahan pola kemiskinan di lapangan. Namun sayang dalam penanganannya masih menggunakan 'senjata lama'. Padahal kita telah memasuki zaman Disruption. Dimana pemain-pemain dagang kian mengejar efisiensi memanfaatkan teknologi. Para inovator menggunakan internet untuk memangkas biaya distribusi. Maka alamat pedagang-pedagang yang masih kekeuh dengan lapak tradisionalnya mengalami penurunan daya beli konsumen. Musababnya telah terjadi shifting pola konsumsi pada masyarakat kita menuju belanja online. Prof Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption menggambarkan “...dengan perkembangan itu, tradisi membangun superstore, bahkan superbranch (kantor cabang yang luas) menjadi kurang relevan karena konsumen telah beralih menjadi pelanggan yang mobile dan dikunjungi secara online.”
Mengamati penjelasan di atas, setidaknya kita mengetahui bahwa masyarakat kita tak semudah dahulu dalam memperoleh pendapatan. Bila dulu orang bisa mencukupi segala kebutuhan hanya mengandalkan sektor perkebunan/ pertanian. Namun saat ini hasil berkebun hanya mampu mengobati perut yang lapar. Masyarakat harus gali lubang tutup lubang untuk membiayai pendidikan anak, ongkos kesehatan sampai uang sewa rumah.
Masyarakat kita dituntut memiliki double income untuk keluar dari jerat kemiskinan. Maka dari itu, tugas kita adalah mengupayakan masyarakat agar memiliki kemampuan melakukan double income. Bahkan bila memungkinkan terjadi lompatan cash flow.
Dalam literatur bisnis, pendapatan masyarakat bisa menjadi double income apabila telah dalam dua kondisi berikut ini. Pertama, orang yang memiliki skill sudah dalam tahap ahli, tentu akan dibayar dengan harga yang lebih tinggi. Kedua, orang yang memiliki bisnis atau usaha yang sudah tersistemasi dengan kebutuhan pasar.
Tahap pertama, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka dibutuhkan wadah bagi mereka untuk mengembangkan keahliannya. Mulai dari keahlian dalam menggunakan teknologi, keahlian akademik atau keahlian pengembangan karier.
Kita harus menyediakan program magang, program kursus gratis, beasiswa diploma dan semua program keahlian lainnya. Kesemuanya diberikan secara gratis dan diselenggarakan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Tujuan akhirnya adalah peningkatan daya saing tenaga kerja kita.
Sebagaimana mengutip tulisan Dr. Asep Suryahadi dalam artikelnya Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, “...Indonesia memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah. Lebih dari setengah angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang...”. Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Australian National University ini menambahkan bahwa dalam jangka panjang, hanya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, laki-laki dan perempuan Indonesia akan dapat mengatasi masalah kemiskinan.
Tahap Kedua, menyediakan ekosistem untuk masyarakat agar memiliki mental enterpreneur. Memberikan akses sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk berani melakukan terobosan dalam membuka usaha. Dalam buku Kesenjangan Ekonomi yang ditulis oleh Eka Sastra,SE.,M.Si mengatakan bahwa orang yang terlahir dari keluarga miskin dan hidup di kawasan kumuh, yang notabene memiliki keterbatasan atas akses terhadap fasilitas publik, justru terpinggirkan pada masa depan, baik secara kompetensi maupun kepercayaan dirinya (Eka Sastra ; 2017).
Oleh karenanya kita harus memperbanyak circle bagi masyarakat untuk memudahkan mereka mengakses fasilitas publik dan menambah jaringan bisnis. Termasuk diantaranya penanaman skill manajemen organisasi. Selanjutnya untuk mengubah mindset masyarakat menjadi mental enterpreneur dibutuhkan pelatihan yang dibimbing langsung oleh mentor-mentor bisnis. Sasaran jangka panjangnya adalah perubahan mindset agar menjadi masyarakat dengan tangan di atas.
Teguh Indonesia
Tidak ada komentar