Oleh: Teguh Estro*
Diskursus terkait ekonomi global kian mengernyitkan dahi bagi banyak pihak. Pasalnya guncangan krisis di berbagai belahan dunia turut mempengaruhi laju resesi ekonomi, tidak terlepas Indonesia. Rentetan peristiwa mengejutkan sekaligus mampu ‘mengobrak-abrik’ ekonomi global. Semisal runtuhnya perusahaan raksasa Amerika Serikat, Lehman’s Brothers, menyusul kemudian Krisis Uni Eropa akibat didera lilitan hutang, lalu terakhir ini konflik middle-east antara Amerika dan Iran.
Pada dasarnya, semua gejala yang tampak itu sekedar efek dari praktek kapitalisme. Sejenak mari bercerita tentang kedigdayaan masa lalu kapitalisme. Bagaimana kebijakan Free Trade Area yang sempat ditentang awalnya justru malah dicap lumrah. Bahkan di negara China sekalipun, yang dulunya penganut sistem ekonomi sosialis. Anehnya tidak sedikit negara-negara berkembang ‘terpaksa’ manut lantaran tak punya pilihan. Dengan kata lain, Free Trade area hanyalah kedok dari penjajahan model baru bagi negara-negara berkembang. Contoh sederhana kini China bisa dengan leluasa memasarkan produknya di Asia Tenggara dengan kedok ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA).
Kapitalisme klasik mengajarkan agar patokan sebuah harga ditentukan langsung oleh mekanisme pasar. Di pasar bebas inilah yang memunculkan istilah invisible hand (tangan tak terlihat). Maksudnya setiap pihak memiliki kepentingan sendiri-sendiri pada sebuah pasar yang akhirnya terjadi supply and demand. Dengan kalimat lain, biarlah pasar yang menentukan harga tanpa turut campur tangan pemerintah. Berikut kutipan Adam Smith dalam buku The Wealth of Nations.
“Setiap orang, diperbolehkan secara bebas mengejar kepentingannya sendiri dengan caranya sendiri. Dan diperbolehkan bersaing dengan orang lain di bidang usaha dan pengumpulan modal”.
Jikalau dahulu Smith sekedar menulis sebuah blue print. Tampaknya dari sinilah cikal bakal munculnya egoisme pelaku ekonomi modern saat ini. Karena saat ini banyak pihak-pihak yang berlindung dibalik Smith-isme untuk melegalkan pasar bebas. Padahal maksud disebaliknya tidak lain hanyalah monopoli sebuah wilayah dagang. Dan perlu menjadi catatan bahwa Mark Skousen (2001) membela Adam Smith jika dianggap sebagai biang Egotism. Ia membela bahwa Smith justru menolak kekuatan monopoli dan lebih menyukai “harga natural atau persaingan bebas”. Dan Skousen kerap mengingatkan terkait background Smith sebagai guru Filsafat Moral di Skotland University. Maksudnya ia hendak mempertegas kemustahilan seorang pendidik moral jika mengajarkan keserakahan dalam ekonomi. Apalagi Smith dikenal sebagai sosok yang menentang praktek Merkantilisme yang merugikan banyak manusia dengan prinsip pengumpulan emas dan perak sebanyak-banyaknya.
Kritik Terhadap Kapitalisme
Pada era berikutnya, kapitalisme tidak berhenti hanya pada cerita Adam Smith saja. Pasalnya di era modern ini ideologi ekonomi sekedar menjadi topeng kejahatan ekonomi. Semisal kaptalisme modern menjadikan teori pasar bebas sebagai pelindung praktik monopoli wilayah dagang. Lihat saja negara-negara yang ‘konon’ mengklaim kebebasan pasar, justru kini ramai-ramai melakukan embargo ekonomi terhadap Iran, Korea dan negara-negara yang berbeda kiblat politiknya. Bahkan kini praktek merkantilisme yang dilawan oleh Adam Smith justru dilakoni lagi oleh negara kapitalis. Kendati mereka bukan lagi berburu emas dan perak, akan tetapi berganti dengan Oil Merchant (perdagangan minyak). Ketegangan di Selat Hormuz belakangan ini sejatinya hanya buntut dari konflik monopoli minyak dunia. Amin Sudarsono (2010) mengungkapkan, Aplikasi ideologi Kapitalisme dalam kenyataan riil adalah imperialisme. Itulah wajah dari kapitalisme modern saat ini. Agresi ekonomi kian binal hanya untuk memenuhi hasrat penguasaan komoditi, semisal minyak.
Selanjutnya marilah kita menilik beberapa negara yang pernah jaya dengan ekonomi kapitalisnya. Di Amerika kini muncul gerakan Occupy Wall Street yang menuntut untuk menutup Wall Street sebagai biang keladi kacaunya ekonomi global. Mereka juga menolak monopoli yang dilakukan oleh perselingkuhan perbankan dengan perusahaan multinasional. Begitupun dengan krisis di negara Yunani kemudian disusul oleh Irlandia, Inggris dan Spanyol yang rasio hutangnya hampir mendekati 100%.
Sepertinya Adam Smith mengabaikan satu hal yakni tidak adanya antisipasi terhadap kebablasannya self-interest (kepentingan pribadi) dalam sebuah pasar. Sehingga boleh jadi terdapat power yang terlalu besar dan cenderung acuh pada persaingan sehat. Dan inilah kesalahan fatal Smith yang secara total membuang peran negara di dalam ‘menjaga’ mekanisme pasar. Karena tugas negara dalam menjaga masyarakat juga teraplikasi dalam wujud menjaga pasar dari persaingan tidak sehat. Bukan sekedar itu pemerintah juga sebagai ‘partner’ dalam memajukan komoditi yang menjadi keunggulan komparatif suatu negara. Semisal saat ini di India dan Thailand yang mengalami laju pesat daam industri otomotif sebagai komoditi unggulan dibanding negara lain di kawasan sekitarnya.
Kritik terhadap kapitalisme bukan berarti meniadakan mekanisme pasar. Apalagi sampai meniadakan perdagangan dengan menjadikan negara sebagai penyuplai tunggal segala kebutuhan. Bahkan mekanisme pasar by control justru mampu melahirkan etos positif. Dengan adanya mekanisme pasar akan mendorong orang untuk belajar, bekerja keras dan mendisiplinkan diri. Pelaku ekonomi akan enggan menipu dan mau bersikap jujur agar tidak kehilangan konsumennya. Kesemuanya dengan sebuah syarat tentunya, masih adanya kontrol pemerintah.
*Penulis adalah Pegiat LPM Lensa Kalijaga
Teguh Indonesia
Tidak ada komentar