Oleh: Teguh Estro*
"...Semisal seorang pelajar SMP membeli kendaraan bermotor anyar senilai puluhan juta rupiah. Atau seorang pejabat perkotaan yang membeli mobil jenis Trail. Maka perlu ‘dicurigai’ tindakan tersebut sebagai kebutuhan ataukah sekedar simbol status sosial?..."
Pola hidup konsumtif telah terstereotip pada kebiasaan berfoya-foya. Dan begitu lucu sekaligus ironis bila mengamati stratifikasi para pelakunya. Tengok saja anak SD sudah ‘biasa’ menenteng Smartphone atawa Handphone qwerty. Dan kakak tingkatnya yang SMA mulai pamer gadget tablet. Begitupun para mahasiswa kian beken dengan koleksi motor gede (moge)-nya. Dan para pejabat pun gemar gonta-ganti mobil dinas dengan merk terbaru seperti Nissan x-trail. Bahkan seorang kepala negara dengan pesawat jet barunya. Seolah-olah barang ‘jajanan’ tersebut menandakan status sosialnya sebagai spesies ‘darah biru’.
Salah satu tulisan apik dari Prof. Dr. Janianton Damanik. M.Si terkait fenomena konsumtivisme ini. Guru besar Fisipol UGM itu menyebutkan jumlah middle class di Indonesia kini sekitar 43% dari total penduduk. Berarti sekitar 100 juta-an manusia yang berpenghasilan 2 - 20 dolar amerika perhari. Awalnya data tersebut cukup menggembirakan. Namun setelah pengamatan lapangan, sebenarnya mereka hanya berpenghasilan 2 – 4 dollar saja per hari. So Semisal terjadi guncangan ekonomi global lagi, sangat memungkinkan mereka tetap bernasib seperti kaum miskin. Akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan bukanlah kabar tersebut. Persoalannya kaum menengah-miskin ini sudah terlanjur memiliki libido-konsumtif yang tinggi. Gaya hidup nan latah terhadap kampanye reklame penuh rayuan gombal. Iklan-iklan yang sengaja menaikkan prestise barang rongsokan.
Salah satu tulisan apik dari Prof. Dr. Janianton Damanik. M.Si terkait fenomena konsumtivisme ini. Guru besar Fisipol UGM itu menyebutkan jumlah middle class di Indonesia kini sekitar 43% dari total penduduk. Berarti sekitar 100 juta-an manusia yang berpenghasilan 2 - 20 dolar amerika perhari. Awalnya data tersebut cukup menggembirakan. Namun setelah pengamatan lapangan, sebenarnya mereka hanya berpenghasilan 2 – 4 dollar saja per hari. So Semisal terjadi guncangan ekonomi global lagi, sangat memungkinkan mereka tetap bernasib seperti kaum miskin. Akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan bukanlah kabar tersebut. Persoalannya kaum menengah-miskin ini sudah terlanjur memiliki libido-konsumtif yang tinggi. Gaya hidup nan latah terhadap kampanye reklame penuh rayuan gombal. Iklan-iklan yang sengaja menaikkan prestise barang rongsokan.
Kegemaran menghambur-hamburkan uang mungkin terlihat logis kala dilakoni para konglomerat. Namun realita kini justru pemakai barang-barang ‘tersier’ itu berasal dari kalangan menengah-miskin. Lihat saja bagaimana lucunya koloni yang rela berebut untuk ‘dibodohi’ telepon pintar dengan iming-iming harga miring. Demi gengsi, uang SPP kuliah pun malah terpakai untuk menyicil kredit motor balap. Bukankah ini bentuk kapitalisasi gaya hidup secara terselubung.
Disfungsi Nilai Barang Konsumsi
Dalam suatu masyarakat primitif, konsumsi sangat sederhana, karena kebutuhannya juga sangat sederhana. Tetapi peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan manis akan kebutuhan-kebutuhan ini (M.Abdul Mannan MA. Phd : 1997). Dalam dunia ekonomi tindakan mengkonsumsi barang atau jasa bukanlah larangan. Bahkan hal tersebut mampu berperan sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi. Logika sederhana, bila konsumsi (demand) berjalan maka mampu menghidupi jalannya produksi (suply). Tentu saja ‘konsumtif’ yang tidak berlebihan dan memenuhi prinsip keadilan, prioritas dan moralitas. “keinginan” seseorang untuk membelanjakan kelebihan uangnya di sisi lain merupakan peluang bagi terciptanya pendapatan bagi sebagian orang yang lain (Fahri Hamzah : 2010).
Kecenderungan konsumsi di era globalisasi ini telah bergeser fungsi. Maksudnya seseorang merasa terpuaskan bukan karena mengkonsumsi barang. Akan tetapi hanya merasa puas dengan tindakan ‘membeli’nya saja. Parameternya tidakah nilai guna sebuah produk, namun kepuasan lantaran membeli produk. Semisal seorang pelajar SMP membeli kendaraan bermotor anyar senilai puluhan juta rupiah. Atau seorang pejabat daerah perkotaan yang membeli mobil jenis Trail. Maka perlu ‘dicurigai’ tindakan tersebut sebagai kebutuhan ataukah sekedar simbol status sosial? Sehingga tampaknya tindakan konsumsi yang muncul lebih tepat dikatakan ‘budaya konsumtif’.
Memuluskan Hukum Pasar J.B Say.
Seorang Ekonom berkebangsaan Perancis ini populer dengan ungkapan “Penawaran meciptakan permintaannya sendiri”. Hukum tersebut memang dianggap wagu saat di zamannya. Dan sebenarnya kalimat tersebut hanyalah kesimpulan sederhana dari John Maynard Keynes. Asal muasal hukum pasar ‘Say’ itu dilatarbelakangi oleh begitu sederhananya para pelaku ekonomi dalam menangani krisis. Seolah untuk memulihkan perekonomian hanyalah dengan mencahari uang sebanyak-banyaknya lalu dibelanjakan. Ketika uang telah terkumpul maka akan muncul permintaan. Kemudian barulah unit-unit produksi melakukan penawaran. Dan Jean Baptiste Say menolak kaidah tersebut. Justru sebaliknya, dengan adanya unit produksi yang ‘berinisiatif’ melakukan penawaran maka mekanisme pasar akan memunculkan permintaannya sendiri.
Hukum pasar Say tersebut mungkin akan mudah terpahami bila dipraktikkan pada zaman konsumtivisme ini. Tengok saja dagangan-dagangan yang secara prinsip kebutuhan tidak akan laku di pasaran Indonesia, malah kian digandrungi. Hal ini lantaran produsen ‘lihai’ menawarkan produk dan nilai prestisenya sekaligus. Kenapa muncul banyak permintaan anak SD terhadap produk gadget. Jawabnya sederhana, karena ada pihak yang memproduksinya kemudian menambah prestise barang tersebut seolah sebuah kebutuhan. Jadi sebenarnya bukanlah butuh terhadap barangnya, namun mereka butuh terhadap prestise saat memiliki barang tersebut.
Penyakit konsumtif bisa menjadi bom waktu. Ada dua hal yang menjadi akar masalahnya. Pertama, prilaku konsumsi tanpa prinsip prioritas. Kenikmatan sementara saat shopping barang-barang ‘selebriti’ mengalahkan kebutuhan primer selama sebulan. Salah satu obatnya yakni masyarakat mengerti prioritas nilai guna suatu barang. Kedua, prilaku middle class yang berburu prestise. Pencegahannya harus gencar sejak konsumen masih mengenyam bangku sekolah. Sehingga membuka peluang munculnya rasa tanggung jawab kala mereka beranjak dewasa. Semisal dengan melakukan kampanye konsumen cerdas di sekolah-sekolah. Pasalnya bila perilaku tersebut sudah melekat hingga dewasa, maka lebih sulit untuk dicegah. Bayangkan bila seorang ibu rumah tangga yang rela mengorbankan anggaran dapur demi belanja barang-barang fashion. Maka seharusnya kegelisahan ini menjadi perhatian masyarakat untuk menghadang dampak buruknya.
*Penulis bergiat di LPM Lensa Kalijaga
Teguh Indonesia
Tak ada jalan lain.
BalasHapusSudah menjadi harga mati, KITA HARUS BERTINDAK!
BERGERAK!
ALLAHU AKBAR!!!
Siapapun kita punya tanggung jawab moral...
BalasHapushanya saja terkadang justru kitalah yang menjadi korban