Oleh: Teguh Estro
Kasih Tak
Sampai, sebuah novel legendaris karya Marah Rusli pada 9 dekade silam.
Mohon maaf karena kali ini penulis tidak mengupas tentang kisah cinta Siti
Nurbaya dan Samsul Bahri yang begitu tragis. Akan tetapi ada suatu plot yang
menarik tentang hutang. Diceritakan Ayahanda Siti Nur Baya yang bernama
Sulaeman terlilit hutang pada Datuk Maringgih ‘Sang Rentenir’. Hutang bisa
terlunasi asalkan baginda Sulaeman berkenan menyerahkan puterinya menjadi
isteri Datuk maringgih.
Cerita tersebut memang sudah lama sekali akan tetapi bisa saja
berulang-ulang. Hal serupa terjadi di belahan bumi lainnya, yakni negeri Suriah.
Kini bumi Syam tersebut tengah berkecamuk perang saudara yang menimbulkan
ribuan jiwa meninggal dunia. Dan selebihnya penduduk mengungsi ke negara-negara
tetangga. Ada yang ke Turki, Yordania serta Lebanon. Sebuah kejadian
memprihatinkan dialami oleh para pengungsi. Mereka tentu saja mengalami
kekurangan harta untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bayangkan orang-orang kaya yang tinggal di Aleppo, Homs atau
Damaskus tiba-tiba secara drastis menjadi pengungsi miskin yang hanya mengandalkan
bantuan dari UNHCR perwakilan PBB. Tentu saja mereka tidak siap baik secara
fisik maupun psikologis. Mereka tidak siap mengatakan kepada anak-anaknya bahwa
kondisi keluarga sedang miskin total. Hal ini menyebabkan ribuan pengungsi
tersebut mencari pinjaman hutang ke mana-mana. Bahkan sampai-sampai mereka tega
menjual (menikahkan) anak-anak gadis mereka kepada pria-pria arab hanya demi fulus.
Di Yordania terdapat sebuah tempat pengungsian kamp Zaatari. Disanalah
para lelaki Arab itu berdatangan ke kamp Zaatari untuk mencari gadis Suriah
yang terkenal cantik dan berbicara dalam dialek Arab yang sangat lembut,
terbaik di seluruh Arab. Ini sebenarnya perdagangan perempuan terselubung. Dalam
sebuah berita disebutkan Federasi Perempuan Mesir telah melaporkan bahwa dalam
kurun satu tahun terakhir telah terjadi 12.000 kasus pernikahan dengan ‘harga’
500 pound, antara gadis Suriah yang menjadi pengungsi di Mesir dengan pemuda
Mesir. What….!
Dalam menjalani kerasnya hidup memang tidak ada makan siang yang
gratis. Bagaimana tidak sejak ekonomi dunia diwarnai oleh ideologi kapitalisme,
membuat orang miskin menjadi lebih miskin. Setiap manusia berlomba-lomba
menjadikan uang sebagai tujuan ekonomi. Pada fungsi asal uang adalah sebagai
alat ekonomi, bukan tujuan ekonomi.
Alangkah bahagianya jika tokoh imajiner ‘Santa claus’ benar-benar
ada dalam kehidupan. Setidaknya mencicipi bagaimana rasanya mendapat benda
berharga secara free. Oleh karenanya manusia begitu menggemari kata-kata
free bila melekat pada sesuatu yang disangka bernilai tinggi. Begitupun saat
seorang manusia yang memiliki hutang bertumpuk, namun seketika tanpa alasan,
orang yang dihutangi membebaskan begitu saja secara free. Sangat bahagia,
Hutang 10 juta dianggap lunas seketika, itu lebih dari sekedar kabar bahagia. Tapi
hal tersebut langka terjadi, bahkan sebagian besar hanya berwujud bunga tidur
semata.
Kalau urusan hutang misalnya, apakah ada seorang rentenir yang
tiba-tiba membebaskan segala hutang-hutang kita tanpa sebab. Padahal hutangnya
bernilai puluhan jutaan rupiah yang mustahil kita sanggup membayarnya. Tentu itu
kejadian yang teramat langka bila benar-benar pernah terjadi. Tidak akan
mungkin muncul setiap hari. Juga mustahil dirasakan semua orang, secara
bersamaan.
Seumpama seorang rentenir mau membebaskan hutang kita yang bernilai
10 juta dengan syarat kudu dihukum berdiri selama 3 jam di tengah malam sampai
kakinya bengkak. Apakah pembaca sudi? Tentu itu syarat yang teramat mudah dan
pasti setiap orang mau menjalaninya. Bukan Cuma itu kita pasti akan mengucapkan
terima kasih setiap bertemu dengan rentenir tersebut sebagai balas budi karena
kebaikannya. Masih ingat cerita One Piece ketika Roronoa Zoro terikat
dan hendak dieksekusi, ia diselamatkan oleh Monkey D Luffy. Dan sebagai balas
budi ia bersedia menjadi pengikut bajak laut topi jerami.
Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari kita telah mengalami
kejadian tersebut setiap hari. Salah satu harta dalam diri kita yang bernilai
sangat mahal adalah kemampuan untuk bernafas setiap hari. Sekali lagi nafas adalah
harta yang sangat berharga kalau hendak dinominalkan. Dalam sehari manusia
membutuhkan oksigen sebanyak 2880 Liter. Sedangkan harga oksigen per liter nya
adalah Rp.25.000,-. Maka sebenarnya kebutuhan untuk bernafas yang kita lakukan
sehari sama harganya dengan uang senilai 2880 x 25.000. Dan nilainya adalah Rp.
72.000.000 tiap harinya.
Bayangkan uang 72 juta bukanlah nilai yang sedikit dan itu kita
miliki hanya untuk satu hari saja. Atau sama dengan 2,16 Milyar selama
satu bulan. Dan untungnya semua itu kita peroleh secara free. Sekali lagi
kita sebenarnya sudah menerima uang 2,16 Milyar free setiap bulannya. Itulah
kemurahan dari Sang Pencipta. Bayangkan saja kalau hal tersebut harus dilunasi
tiap bulannya. Duit dari mana? Sebagian besar manusia mustahil memiliki gaji
sebesar 2,16 Milyar untuk melunasinya. Sekali lagi untungnya karunia tersebut
diberikan secara gratis.
Apakah Tuhan pernah meminta kita imbalan sebagai balas budi atas
hutang-hutang tersebut. Apalagi dengan berdiri 3 jam di tengah malam setiap
harinya sebagai ganti untuk melunasinya. Andaikata Tuhan benar-benar menjadikan
Nafas sebagai sesuatu yang harus dibayar, dan cara untuk melunasinya dengan
berdiri selama 3 jam di tengah malam. Maka
manusia dengan rela hati dan suka ria melakukannya. Akan tetapi untungnya tidak
demikian. Kita dibebaskan untuk bernafas semaunya tanpa harus takut membayarnya.
Oleh karenanya jangan heran apabila di masa lalu orang-orang Sholeh selalu
berdoa, bersyukur pada Tuhan selama 3 jam di
tengah malam sampai kakinya bengkak.
Tidak ada komentar