Menu
Teguh Indonesia

Generasi yang Terluka di Kabupaten PALI


Oleh : Teguh Estro
(Direktur RESEI) 

"Anak-anak adalah lentera yang meneruskan cahaya peradaban. Tapi bagaimana jika lentera itu ditiup angin kencang sebelum sempat menerangi bumi serepat serasan?"

Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) di Sumatera Selatan telah berusia hampir 12 tahun. Usia yang cukup untuk mengevaluasi generasi pertamanya. Namun, yang terjadi justru pengabaian. 

Kita hanya melihat gejala: buta huruf yang mengganjal, disorientasi seksual yang mengkhawatirkan, pergaulan menyimpang yang merajalela, dan perkawinan dini yang melahirkan orang tua prematur.  

Muskilat pertama, Efek Domino Pernikahan "Belarian"

Sebagaimana kita tahu dalam masyarakat kita terdapat penyakit masyarakat yang disebut 'Belarian'. Yakni menikah dengan konsep terpaksa dilarikan karena faktor 'Married by Accident' (MBA).


Bahkan di beberapa lokasi pihak lelaki masih SMA dan pihak Perempuan masih di bangku SMP. Sialnya Biasanya mereka sudah dalam kondisi hamil.

Apakah mereka punya kesadaran pentingnya menjaga anak sejak masa kehamilan. Mengertikah mereka bahwa Seorang ibu hamil harus terjaga asupan nutrisinya, pengendalian stress yang baik. ini baru pertanyaan dasar untuk mendeteksi kualitas calon generasi kabupaten PALI.
"Pelaku nikah belarian ini belum selesai dengan diri mereka sendiri: mental labil, ekonomi lemah, literasi rendah"

Akhirnya kita bertanya-tanya dengan kegelisahan. Bagaimana mungkin para orang tua prematur ini bisa menerapkan pola asuh positif? 

Sedangkan mereka saja sebagai orang tua masih berusia belasan tahun sedang bermasalah dalam hal mental, ekonomi dan sosial. Sudah bisa kita tebak Kualitas Gen-Z dan Gen-Alpha kita akan merosot. Karena mereka diasuh oleh orang tua prematur. 

Padahal Gen-Z dan Gen-Alpha adalah tipe yang suka dengan kejujuran, komunikasi blak-blakan dan melek digital. Apakah mereka bisa diasuh dan dibesarkan oleh para orang tua prematur ini.

Hal ini diperparah dengan rendahnya literasi terkait pengetahuan parenting. Para pelaku nikah Belarian ini bahkan tidak berniat untuk mengasuh anaknya. 

Kejadian di beberapa daerah banyak orang tua muda yang menitipkan anak-anak nya pada sang Nenek. Disinilah bencana dimulai yakni miskonsepsi terkait pola asuh yang diakibatkan 'gap generation'. Para puguk dan Kajut dari generasi boomer harus menerapkan pola asuh kepada sang Cucu dari generasi Z. 

Bagaimana generasi 'boomers' menerapkan pola asuh kolonial yang kaku, satu arah dan over protektif kepada Gen-Z dan Gen Alpha. 

Bagi Gen-Z dibentak dan diancam sama halnya dengan memulai perang. Bagi Gen-Z dan Gen Alpha, sikap orang tua yang mudah berpura-pura dan menunda-nunda adalah penyelewengan. 

Karena Gen-Z apalagi Generasi Alpha hampir tak bisa dibohongi. Mereka mudah mengakses informasi dan pengetahuan dengan cepat meskipun kerap tercampur dengan hoax. Mereka kritis dalam banyak hal. Meskipun tidak diungkapkan, setidaknya mereka bertanya-tanya dalam hati. 

Bahkan R. D. Asti dalam buku Parenting 4.0, Mendidik Anak era Digital mengungkapkan
"Kesabaran adalah seni yang hilang pada generasi Z"
Asti menambahkan bahwa generasi Z senantiasa bertindak serba cepat untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan agar tidak dikalahkan orang lain. 

Penulis sangat khawatir kedepan akan muncul generasi yang tak terkendali atas aturan positif. Terbiasa memberontak dan asal melawan karena diasuh oleh kultur feodal warisan generasi boomer.

Malpraktek pola asuh terhadap Gen-Z ini bisa dihindari Kalaulah Nikah belarian tidak terjadi atau dibiarkan terjadi. 

Pernikahan yang benar-benar dilandasi kesiapan lahir dan batin. Mereka dengan sadar membesarkan anak-anaknya, bukan hanya dititipkan pada neneknya sepanjang hari. Pernikahan yang matang bertanggungjawab untuk menerapkan pola komunikasi yang sesuai dengan gaya khas Gen-Z dan gen Alpha. 

"Berapa banyak lagi anak-anak PALI yang harus menjadi korban belarian sebelum kita menyadari ini adalah darurat sosial?"

Bisakah kita berharap pada orang tua berusia 15-17 tahun—yang sendiri masih butuh bimbingan—untuk membesarkan generasi berkualitas? Ketika seorang ibu remaja tak paham nutrisi dasar untuk janinnya, bagaimana mungkin kita berharap anak itu tumbuh tanpa gangguan mental?

Masalah Kedua, Disorientasi Seksual dan Krisis Identitas
  
Ada yang lebih menggelisahkan: anak-anak laki-laki yang menyerupai perempuan bukan karena pilihan, tetapi karena ketiadaan figur identitas yang sehat. 

Dra. Nur’aeni dalam buku "Intervensi Dini bagi Anak Bermasalah" menegaskan: 
"Perkembangan seseorang sangat bergantung pada pengalaman yang pernah diperoleh dari lingkungannya."
Di PALI, pola asuh yang salah—entah terlalu keras atau terlalu abai—menciptakan self-esteem yang rapuh. Pola asuh orang tua yang penuh ancaman, mengungkit-ungkit kesalahan anak, menakut-nakuti bahkan banyak orang tua yang menjadi pendengar yang buruk alias egois. 

Rumah bukanlah tempat kembali yang nyaman. Anak-anak mencari pelarian di dunia luar yang mau mendengar kegalauanya. Akhirnya Mereka akan berkumpul pada komunitas yang tak pernah mengungkit kesalahan masa lalunya. Dan kebetulan di beberapa daerah komunitas yang terindikasi disorientasi seksual ini kerap merangkul anak-anak yang tersakiti di rumahnya. 

Bahkan di beberapa daerah terdapat komunitas disorientasi seksual yang memberikan modal usaha. Kelompok tersebut sangat mengayomi dengan komunikasi yang sangat lembut. Berbeda sekali kondisinya dengan verbal kasar di rumah orang tuanya.

"Jika anak-anak hanya meniru apa yang mereka lihat, lalu mengapa kita kaget ketika mereka tumbuh dengan disorientasi seksual di tengah lingkungan yang tidak memberi contoh sehat? "

Berapa banyak lagi anak laki-laki di PALI yang harus berperilaku feminin bukan karena identitas, tetapi karena ketiadaan figur ayah yang stabil dalam hidup mereka?

3. Sekolah yang Gagal Menjadi Tempat Aman
  
Sebaiknya kita tak perlu lagi menutupi bahwa sekolah justru menjadi medan perang: senioritas yang menindas, guru yang tidak peka, kelas kosong yang menjadi ajang bullying.  

Generasi Z dan Alpha—yang menurut Dr. Muhammad Faisal dalam "Generasi Phi" adalah "generasi yang menuntut transparansi dan keadilan"—tidak tahan dengan sistem feodal ala boomer. Mereka memberontak karena dibohongi. Mereka mengadu karena tidak mau ditindas. 
"Tapi sayang, orang tua mereka sibuk bekerja, sementara guru-guru masih berkutat dengan metode mengajar abad ke-19."
Bila analisa terkait generasi ini mau dilanjutkan maka kekhawatiran kita juga muncul di sekolah. Generasi yang saat ini berusia 8 tahun s.d 16 tahun tidak benar-benar aman di sekolahnya. 

Para guru, orang tua dan masyarakat tak pernah serius terhadap isu yang muncul di sekolah. Bagaimana anak-anak kita bertahan dengan anak nakal yang menerornya, biasanya dari kakak kelas yang lebih senior. 

Seringkali anak-anak justru cemas saat kelas sedang kosong tak ada guru. Artinya anak-anak nakal akan mulai mendominasi suasana kelas. Bahkan di beberapa daerah justru anak-anak alumni yang nakal masih kerap berbaur dengan adik-adik kelas. 
"Ada semacam penyakit untuk mendominasi kepada adik kelas atau teman sekolah yang lebih lemah."
Sebagaimana kita tahu bahwa gen-Z dan generasi Alpha sangat sensitif berhati helo kiti. Mereka mudah tersinggung saat ditegur karena makan di kelas. Mereka mudah mengadu ke orang tua hanya karena guru yang terlalu ikut campur. 

Generasi saat ini cukup unik, memunculkan siswa-siswi yang suka mengadu. Dan diperparah aduan tersebut didengar oleh para orang tua yang overthinking karena terlalu sibuk bekerja. Maka muncullah kasus-kasus saling adu polisi guru dan orang tua akhir-akhir ini.

Ketika anak-anak lebih takut pada senior yang nakal daripada bersemangat belajar, masih pantaskah kita menyebut ini "sekolah"?

4. Kekerasan Seksual dan Luka yang Tak Sembuh

Inilah tragedi paling kelam: anak-anak PALI yang menjadi korban kekerasan seksual. Seorang siswi SD digagahi pamannya sendiri. Siswi SMA dijual online oleh temannya. 

Dr. Abu Huraerah mencatat: "Korban kekerasan seksual akan membawa trauma seumur hidup—mulai dari depresi, putus sekolah, hingga kecenderungan balas dendam ketika dewasa." 

Budaya patriarki, kemiskinan, dan narkoba menjadi lingkaran setan. Anak perempuan dianggap "pelampiasan" yang bisa diperlakukan semena-mena. Dan ketika mereka mencoba melawan, masyarakat justru menyalahkan mereka. 

Berapa banyak lagi siswi SD di PALI yang harus diperkosa predator seks sebelum masyarakat berani bicara?
"Ketika seorang ayah tiri bisa memperkosa anak perempuannya, lalu apa artinya keluarga di kabupaten ini?"

 

5. Menyongsong Bonus Demografi atau Bencana Generasi?

Bonus demografi seharusnya jadi berkah. Tapi jika generasi muda PALI terus terjerat dalam perkawinan belarian, buta huruf, dan kekerasan seksual, yang muncul bukanlah golden age, melainkan lost generation.  

Dua Wajah Bonus Demografi di PALI.  
Di satu sisi, Kabupaten paling tengah di Sumsel ini akan memasuki puncak bonus demografi pada 2030-2040: 70% penduduk usia produktif (15-64 tahun). Di sisi lain, apa artinya bonus jika generasi muda PALI justru terbelit buta huruf, nikah dini, dan trauma kekerasan?

Sementara dunia kerja bergerak cepat menciptakan profesi seperti:  
- Teknisi Energi Terbarukan (matahari/angin)  
- Spesialis Kecerdasan Buatan (analis data, software developer)  
- Penyembuh Digital (telesurgeon, konselor rehabilitasi kecanduan gawai)  
- Arsitek Peradaban Baru (smart building designer, insinyur nanoteknologi)  

Lalu, di mana posisi generasi PALI yang hari ini masih berkutat dengan masalah baca-tulis dan identitas diri?  

Refleksi terhadap 3 Jurang Besar yang Harus Diseberangi  

Pertama, Jurang Literasi Digital vs Buta Aksara Konvensional. 
"Faktanya Masih ada siswa SMA di PALI yang belum lancar membaca. Padahal challenge buat generasi kita 10 tahun terakhir ini adalah. Pekerjaan masa depan seperti data analyst atau AI trainer membutuhkan literasi matematika, logika, dan bahasa pemrograman."
Kita harus wujudkan Revolusi metode belajar. Sekolah harus beralih dari hafalan ke pemecahan masalah. Pelatihan coding dasar sejak SD menggunakan alat sederhana seperti Scratch

Kedua, Jurang Kesehatan Mental vs Tuntutan Kreativitas. Kita tahuBanyak remaja PALI tumbuh dengan pola asuh keras, memicu rendahnya problem-solving skill.  
Padahal di masa depan saat mereka masuk usia angkatan kerja. Pekerjaan seperti augmented reality designer atau cyborg engineer membutuhkan kreativitas dan ketahanan mental.  

Penulis hanya berandai-andai jika terdapat Program "Sekolah Ramah Trauma" untuk korban kekerasan  dan "Pelatihan mindfulness" Untuk membiasakan berpikir kreatif.  

Ketiga, Ketimpangan Sosial vs Peluang Global. Penulis masih kerap menjumpai Anak-anak PALI di desa terpencil mungkin belum pernah melihat komputer. Bahkan menghidupkan komputer pun masih takut meledak. 

Bila menilik perkembangan teknologi, Pekerjaan seperti drone pilot atau weather control engineer memerlukan akses teknologi tinggi. Bila kita diam saja, maka selamanya generasi muda PALI tak akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak di masa depan. Karena Gap Teknologi yang terlalu jauh ini menjadi kendalanya. 
"Sebenarnya penulis gregetan punya gagasan dengan program Mobile Tech Lab — bus keliling berisi peralatan VR, drone, dan alat energi terbarukan untuk mengenalkan teknologi ke pelosok"
Bila memungkinkan Beasiswa khusus anak untuk belajar di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Math).

Orang tua zaman now harus melek digital, tetapi juga melek psikologi anak. Sayangnya, di PALI, banyak orang tua bahkan belum melek huruf.Jangan tutup mata. Setiap anak yang terluka adalah tanggung jawab kita bersama.  

KITA MASIH PUNYA WAKTU. TAPI TIDAK LAMA.

___________________________


Referensi :
1. Buku "TEMANI ANAKKU MENGHADAPI SEKOLAH" ditulis oleh Siswa Dewantara. 

2. Buku "Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah diatur" ditulis oleh Edy Wiyono. 

3. Buku "Parenting 4.0 mendidik anak era digital" ditulis oleh R. D. Asti. 

4. Buku "Intervensi Dini bagi Anak Bermasalah" ditulis oleh Dra. Nur'aeni., MA. 

5. Buku "Generasi Phi (Pengubah Indonesia) Memahami Milenial Pengubah Indonesia" ditulis oleh Dr. Muhammad Faisal. 

6. Buku "Kekerasan Terhadap Anak" ditulis oleh Dr. Abu Hurairah, M. Si. 

Teguh Indonesia

1 komentar