Menu
Teguh Indonesia

PALI Bukan Lahan Tak Bertuan

Oleh : Teguh Estro
(Direktur RESEI) 

Menelisik fenomena Di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Provinsi Sumatera Selatan, cerita tentang konflik, sampah, dan banjir adalah narasi yang tak pernah usai. 

Seperti sebuah drama yang terus berulang, masalah-masalah ini muncul silih berganti, meninggalkan jejak kerusakan dan keputusasaan. Tapi di balik semua itu, ada cerita tentang manusia, alam, dan kebijakan yang seringkali gagal menjembatani keduanya.

Pelbagai pihak kerap terlalu dominan memposisikan dirinya saat bertuan di lahan kabupaten PALI. Saat mereka telah membayar pundi-pundi operasional, malah pihak tersebut  berubah menjadi monster di atas bumi serepat serasan. Menggaruk bumi seenaknya, hingga abai terhadap tuan rumah. Seperti Hewan setempat, sungai setempat dan pemukiman setempat. 

Konflik Lahan: Ketika Gajah dan Manusia Diadu domba.

Di Desa Semangus, konflik antara PT. Musi Hutan Persada (MHP), koloni gajah, dan warga setempat adalah potret nyata bagaimana industrialisasi berbasis ekstraksi sumber daya alam mengganggu keseimbangan ekologi dan sosial. Dulu, gajah-gajah itu datang dengan tenang, seolah mereka adalah bagian dari keluarga. Tapi sekarang, mereka datang dengan gelisah, seperti tamu yang tak diundang. 

PT. MHP, dengan izin konsesi yang dikeluarkan oleh negara, telah mengubah lanskap ekologi dan sosial. Hutan yang dulu menjadi rumah bagi gajah-gajah itu kini menjadi pabrik kayu. Dan warga, yang dulu hidup damai dengan satwa liar, kini terjepit di antara kepentingan perusahaan dan desakan alam.

Herman Hidayat dalam bukunya Deforestasi dan Ketahanan Sosial (2020) menjelaskan bahwa "Rusaknya Siklus Ekosistem (hutan) secara berkelanjutan mengakibatkan kepunahan spesies lainnya" Hal ini terlihat jelas di PALI, di mana pembukaan lahan untuk industri kayu oleh PT. MHP telah memicu konflik antara manusia dan satwa liar, serta merusak hubungan harmonis yang sebelumnya terjalin antara warga dan koloni gajah.

Mungkin sudah waktunya untuk berpikir ulang tentang model pembangunan kita. Apakah kita harus terus mengorbankan hutan dan satwa liar demi keuntungan ekonomi? Ataukah ada cara lain, di mana kita bisa hidup berdampingan dengan alam tanpa harus merusaknya?

Sebuah pemetaan partisipatif yang melibatkan warga, ahli ekologi, dan perusahaan bisa menjadi langkah awal. Tapi yang lebih penting adalah keberanian negara untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

"Tambang Binal" PT. PEB: Longsor dan Ketimpangan yang Menyedihkan

Di desa Panta Dewa dekat lokasi tambang PT. PEB, seorang ibu bercerita tentang bagaimana tanah di belakang rumahnya tiba-tiba ambles. "Seperti ditelan bumi," katanya. Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketimpangan yang ia lihat setiap hari. Di satu sisi, truk-truk besar terus mengangkut hasil tambang. Di sisi lain, anak-anak di desanya masih kesulitan mendapatkan air bersih.

Aktivitas pertambangan PT. PEB adalah contoh nyata dari apa yang disebut sebagai "kutukan sumber daya alam." Sumber daya yang seharusnya menjadi berkah justru menjadi bencana bagi masyarakat sekitar. Longsor yang terjadi adalah dampak langsung dari eksploitasi yang tidak terkontrol. Tapi yang lebih parah adalah ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Perusahaan menikmati keuntungan besar, sementara warga hidup dalam kemiskinan.

Paulus Wirutomo dalam Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosial (2012) menegaskan bahwa "Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan (ekonomi semata) yang telah menghasilkan tiga krisis besar : Kekerasan, Kemiskinan dan Kehancuran Lingkungan." Di PALI, kebebasan itu justru direnggut oleh aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan memperlebar ketimpangan. 

Wirutomo menambahkan bahwa "ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi di sekitar wilayah tambang seringkali menjadi pemicu konflik horizontal yang berkepanjangan."

Mungkin sudah saatnya kita memikirkan model ekonomi yang lebih adil. CSR (Corporate Social Responsibility) yang selama ini dijalankan oleh perusahaan seringkali hanya menjadi alat pencitraan.

Apa yang kita butuhkan adalah kebijakan yang memastikan bahwa keuntungan dari tambang benar-benar dinikmati oleh masyarakat sekitar. Pajak ekologis bisa menjadi salah satu solusi. Tapi yang lebih penting adalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sampah dan Narkoba: Dua Wajah Desa Tempirai dan Air Itam

Di Desa Tempirai, tumpukan sampah menggunung di pinggir jalan. Bau busuk menyengat, tapi warga seolah sudah terbiasa. "Sudah bertahun-tahun seperti ini," kata seorang pemuda. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah persoalan narkoba. Banyak pemuda di desa ini yang terjebak dalam lingkaran setan narkoba. "Mereka kehilangan harapan," kata seorang aktivis sosial.

Sampah dan narkoba adalah dua sisi dari mata uang yang sama: kegagalan negara dalam menyediakan layanan dasar dan menciptakan harapan bagi warganya.

Tumpukan sampah yang tidak terkelola adalah simbol dari ketidakpedulian kita terhadap lingkungan. Sementara narkoba adalah cermin dari kegagalan kita dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda.

A. Sony Keraf dalam Ekonomi Sirkuler: Solusi Krisis Bumi (2021) menawarkan solusi bahwa "pengelolaan sampah harus diubah dari model linier (buang dan lupakan) menjadi model sirkuler (daur ulang dan manfaatkan)." Keraf menekankan bahwa "sistem ekonomi sirkuler tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat." 

Sementara itu, Dr. Kartini Kartono dalam Patologi Sosial (2009) mengingatkan bahwa "narkoba adalah gejala dari kegagalan sistem sosial dalam memberikan harapan dan masa depan bagi generasi muda." Kartono menambahkan bahwa "penyalahgunaan narkoba seringkali terjadi di daerah-daerah yang miskin dan terpinggirkan, di mana akses terhadap pendidikan dan lapangan kerja sangat terbatas."

Kita perlu pendekatan yang holistik. Untuk masalah sampah, kita butuh sistem pengelolaan yang terintegrasi, mulai dari pengumpulan, pengolahan, hingga daur ulang. Tapi yang lebih penting adalah edukasi dan partisipasi masyarakat.

Untuk narkoba, kita butuh program rehabilitasi yang komprehensif, tapi juga lapangan kerja dan kegiatan kreatif yang bisa mengalihkan perhatian pemuda dari narkoba.

Banjir di Sungai Lematang: Cerita yang Tak Kunjung Usai

Di Desa Curup, banjir adalah tamu yang datang setiap tahun. Warga sudah terbiasa melihat rumah-rumah mereka terendam air. Tapi yang membuat mereka frustrasi adalah janji-janji relokasi yang tak kunjung terealisasi. "Sudah puluhan tahun kami menunggu," kata seorang warga.

Banjir di Sungai Lematang adalah cerita lama yang tak kunjung usai. Perubahan aliran sungai, deforestasi, dan kurangnya perencanaan tata ruang adalah penyebab utamanya. Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan solusi yang konkret. 

Relokasi warga yang terus-menerus dijanjikan tapi tak kunjung terealisasi adalah bukti dari kegagalan kita dalam mengelola risiko bencana.

Hunggul Y. S. H. Nugroho dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) & Konservasi Tanah dan Air (2018) menekankan bahwa "restorasi ekosistem DAS adalah kunci untuk mengurangi risiko banjir dan erosi." Nugroho menjelaskan bahwa "tanpa restorasi ekosistem, upaya penanggulangan banjir hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah." 

Sementara Prof. Mudrajad Kuncoro dalam Perencanaan Pembangunan Daerah (2016) menegaskan bahwa "perencanaan tata ruang yang baik harus mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial." Kuncoro menambahkan bahwa "tanpa perencanaan yang matang, pembangunan justru akan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks."

Kita butuh tindakan yang cepat dan terencana. Relokasi warga ke daerah yang lebih aman harus segera dilakukan. Tapi yang lebih penting adalah restorasi ekosistem di sepanjang sungai. Menanam kembali vegetasi di sepanjang sungai bisa mengurangi erosi dan banjir. Tapi yang paling penting adalah komitmen politik untuk mengatasi masalah ini secara serius.


Kabupaten PALI adalah potret mini dari masalah-masalah yang dihadapi oleh banyak daerah di Indonesia. Konflik lahan, kerusakan lingkungan, sampah, narkoba, dan banjir adalah masalah-masalah yang saling terkait dan memerlukan solusi yang holistik. Tapi yang lebih penting adalah keberanian kita untuk mengakui kegagalan dan mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaikinya.

---

Referensi:
- Keraf, A. Sony. (2021). Ekonomi Sirkuler: Solusi Krisis Bumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.  
- Nugroho, Hunggul Y. S. H. (2018). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) & Konservasi Tanah dan Air. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.  
- Wirutomo, Paulus. (2012). Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosial. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.  
- Kartono, Kartini. (2009). Patologi Sosial. Bandung: Penerbit Alumni.  
- Kuncoro, Mudrajad. (2016). Perencanaan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.  
- Hidayat, Herman. (2020). Deforestasi dan Ketahanan Sosial. Jakarta: Penerbit LP3ES.  


Teguh Indonesia

1 komentar