Menu
Teguh Indonesia

Sang Koruptor Raja Di Xin, Refleksi Sistem Koruptif Dinasti Shang


Penulis : Teguh Estro
(Direktur RESEI)

Sesekali kita belajar dari negeri Tiongkok. Terutama terkait muskilat yang sedang relevan saat ini. Pemerintah yang buruk, Koruptif, Proyek-proyek kepentingan pribadi dan Rakus pada salah satu DInasti di negeri Tirai Bambu.

Dinasti Shang (1600–1046 SM) adalah salah satu dinasti paling awal dalam sejarah Tiongkok yang meninggalkan jejak melalui tulisan pada tulang oracle dan artefak arkeologis. Ia adalah sebuah peradaban yang berkembang, dengan sistem tulisan, budaya, dan struktur politik yang kompleks. Tapi, seperti banyak kerajaan besar lainnya, ia akhirnya runtuh. Dan keruntuhannya, seperti yang sering terjadi, dimulai dari dalam.  

Di Xin, raja terakhir Shang, adalah sosok yang menarik. Ia digambarkan sebagai penguasa yang awalnya cakap, tapi kemudian berubah menjadi lalim dan kejam. Catatan sejarah seperti Bamboo Annals dan Records of the Grand Historian (Shiji) karya Sima Qian menyebutnya sebagai seorang yang boros, kejam, dan korup. Tapi, benarkah ia satu-satunya penyebab kehancuran? Atau, seperti yang sering terjadi, ia hanyalah puncak gunung es dari sistem yang sudah rapuh?

Raja Di Xin membangun istana ibu kota nan megah, menghabiskan kekayaan negara untuk proyek-proyek pribadi, dan mengabaikan nasihat bijak dari pejabat-pejabat yang setia. Ia lebih memilih untuk mendengarkan para penjilat, para pejabat korup yang hanya mencari keuntungan pribadi. Dalam Klasik Sejarah (Shujing), ada prinsip bahwa seorang penguasa harus memerintah dengan kebajikan (de) dan keadilan. Di Xin melanggar prinsip ini.  

Tapi, mari kita berhenti sejenak. Apakah kejatuhan Shang hanya tentang Di Xin? Atau, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, ia hanyalah simbol dari sistem yang sudah bobrok? Pejabat-pejabat korup, yang memanfaatkan kekuasaan untuk menindas rakyat dan mengumpulkan kekayaan, adalah bagian dari masalah yang lebih besar. Mereka adalah cermin dari tata negara yang gagal.  

Dalam sejarah hukum tata negara Tiongkok kuno, ada konsep "Mandat Langit" (Tianming). Seorang penguasa dianggap sah selama ia memerintah dengan kebajikan dan keadilan. Ketika ia gagal, rakyat berhak memberontak. Di Xin kehilangan mandat ini. Tapi, apakah mandat itu hilang hanya karena kejahatannya? Atau karena sistem yang membiarkan kejahatan itu tumbuh subur?  
Ilustrasi

Sejarah seringkali menyederhanakan cerita. Raja jahat, rakyat menderita, kerajaan runtuh. Tapi, seperti yang ditulis oleh Sima Qian, sejarah adalah cermin. Dan dalam cermin itu, kita melihat bukan hanya satu wajah, tapi banyak wajah. Wajah Di Xin, wajah para pejabat korup, dan wajah sistem yang membiarkan mereka berkuasa.  

Mari kita bandingkan dengan negara lain. Kekaisaran Romawi, misalnya, runtuh bukan hanya karena Nero yang kejam, tapi juga karena korupsi yang merajalela dan sistem politik yang tidak mampu beradaptasi. Nero membunuh para penentangnya, menghabiskan kekayaan negara untuk proyek-proyek pribadi, dan mengabaikan penderitaan rakyat. Tapi, apakah Nero sendirian? Tidak. Ia adalah produk dari sistem yang sudah sakit.  

Atau lihatlah Louis XVI dari Prancis. Ia bukan penguasa yang kejam seperti Di Xin atau Nero, tapi kepemimpinannya yang lemah dan ketidakmampuannya mengatasi korupsi di kalangan pejabat menyebabkan Revolusi Prancis. Di sini, kita melihat pola yang sama: pemimpin yang gagal, pejabat korup, dan sistem yang tidak mampu memperbaiki diri.  

Dan kemudian ada Moctezuma II dari Aztek. Ia adalah penguasa yang percaya bahwa penjajah Spanyol adalah dewa. Ketidakmampuannya memimpin dan ketergantungannya pada takhayul melemahkan perlawanan terhadap penjajah. Tapi, lagi-lagi, apakah ini hanya tentang Moctezuma? Atau tentang sistem yang tidak mampu menghadapi perubahan?  

Keruntuhan Dinasti Shang, seperti keruntuhan Romawi, Prancis, atau Aztek, adalah cerita tentang manusia dan sistem. Di Xin mungkin adalah raja yang jahat, tapi ia juga adalah produk dari sistem yang membiarkan kejahatan itu tumbuh. Pejabat-pejabat korup mungkin adalah pelaku, tapi mereka juga adalah korban dari sistem yang tidak memiliki mekanisme untuk mengoreksi diri.  

Refleksi: Indonesia dan Pelajaran dari Sejarah
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita bisa belajar dari keruntuhan Dinasti Shang dan negara-negara lain yang disebutkan di atas?  

Indonesia, seperti Shang, Romawi, atau Prancis, bukanlah negara yang kebal dari masalah korupsi, kepemimpinan yang lemah, dan sistem yang bobrok. Korupsi masih menjadi masalah serius di negeri ini. Pejabat-pejabat yang seharusnya melayani rakyat justru seringkali terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka, seperti para pejabat korup di zaman Shang, memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.  

Tapi, seperti yang kita lihat dalam sejarah, masalahnya tidak hanya terletak pada individu. Sistem yang tidak transparan, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya partisipasi publik dalam pengawasan pemerintahan adalah akar masalah yang lebih dalam. Jika sistem ini tidak diperbaiki, maka Indonesia bisa saja mengulangi kesalahan yang sama seperti Dinasti Shang atau Romawi.  

Namun, ada harapan. Indonesia memiliki modal sosial yang kuat: masyarakat yang kritis, media yang aktif, dan generasi muda yang peduli. Jika kita bisa memperkuat sistem hukum, meningkatkan transparansi, dan mendorong partisipasi publik, maka kita bisa menghindari nasib yang sama seperti Dinasti Shang.  

Sejarah mengajarkan kita bahwa keruntuhan sebuah negara tidak pernah terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah hasil dari kombinasi kepemimpinan yang gagal, sistem yang korup, dan ketidakmampuan untuk beradaptasi. Dan dalam cerita-cerita ini, kita menemukan pelajaran yang tetap relevan hingga hari ini.
Teguh Indonesia

Tidak ada komentar