Oleh: Teguh Estro*
Keberadaan pers memiliki sejarah yang erat terhadap berlangsungnya kehidupan manusia. Khususnya sejak era Perang dunia hingga masa kejayaan bangsa-bangsa saat ini. Hal ini sebab media berperan sebagai pelipat ganda pesan nan efektif sampai saat ini. Di negara-negara otoritarian, pemerintah memanfaatkan kantor-kantor berita laksana “PR” yang siap memuja-muji kebijakan dan kinerja penguasa. Pada negara libertarian sebaliknya, pers kerap ditunggangi oposan-oposan yang getol mengkritik negara. Sehingga tepat sekali bila mati hidupnya pers atau lancar tidaknya kehidupan pers disuatu negara dipengaruhi bahkan ditentukan oleh sistem politik pemerintahan negara di mana pers situ beroperasi.
Relasi antara pers dan politik kian berkerabat seiring mulai populisnya sistem demokrasi di dunia. Setidaknya secara historis, media cukup signifikan dalam memainkan perannya sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi. Alhasil, Kondisi ini justru mengarahkan pers menghadapi persimpangan nan serius. Satu sisi secara internal meja redaksi kekeuh untuk menjajahkan berita secara professional dan idealis dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Pada sisi lain, secara eksternal lembaga pers mulai ditarik dalam pusaran kuasa dan politik untuk melanggengkan eksistensi lembaga.
Dalam praktiknya, kantor-kantor berita tetap ‘memaksakan’ untuk mengambil keduanya. Tim redaksi menjalankan proses jurnalistik sedangkan tim perusahaan juga terkadang menyantolkan sahamnya pada konglomerat elit politik. Pada dasarnya setiap media memiliki kebebasan memiih bahasa politik dan fakta yang akan dipakai dalam teks yang dibuatnya tergantung pada pertimbangan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dimaksud bisa merujuk pada kepentingan pangsa pasar, pemilik modal perusahaan dan pengiklan. Adapun faktor internal erat kaitannya dengan kecenderungan ideologis media serta profesionalisme jurnalistik.
Kedua faktor di atas berperan besar bagi media dalam upaya kontstruksi realitas. Karena membuat berita pada dasarnya adalah mengkonstruksi realitas. Dalam pandangan ‘konvensional-positivistik’ media hanya dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator kepada penerima (khalayak). Hal ini nampak berbeda jauh dalam pandangan konstruksionis yang memandang media sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Ituah alasan kenapa acapkali sebuah pemberitaan mengalami distorsi. Tentu saja lantaran ada pengaruh dominan, baik faktor eksternal ataupun eksternal.
Dalam situasi transisi pasca reformasi tahun 1999, yang ditengarai dengan hidupnya kembali aliran-aliran politik serta menurunnya kontrol negara terhadap politik dan pers, perhubungan antara keduanya – partai politik dengan ragam aliran dan koran-koran yang memiliki latar belakang sejarah politik- mendorong dibuktikannya satu hipotesis bahwa liputan politik pasca reformasi akan bersifat partisan. Sehingga –setidaknya sampai saat ini- media yang terendus berlaku partisan ini cenderung berpihak saat mengkonstruksi realitas. Ditambah lagi era media partisan ternyata didalangi oleh pemain-pemain konglomerasi media.
Akhir-akhir ini sedang marak pendekatan analisis menggunakan pandangan konstruksionis. Karena dalam membingkai suatu realitas bukanlah sekedar memindahkan peristiwa menjadi berita. Begitupun seorang wartawan yang dipandang bukan sekedar ‘robot’ pemindah fakta di lapangan menjadi berita. Seorang reporter juga memiiki kecenderungan, keberpihakan dan referensi sendiri dalam mengkonstruksi suatu berita.
Pembingkaian Prahara NASDEM
Dalam berita kemunduran Hary Tanoe Sudibyo dari Partai Nasional Demokrat, Nampak jelas perbedaan media dalam membingkai informasi. Ada media yang menayangkannya seolah-olah terjadi perpecahan hebat antara Hary Tanoe dan Surya Paloh. Sampai pada titik paling ekstrem yakni mengarahkan ketidakbecusan partai yang masih seumur jagung ini mengelola internalnya. “Belumlah mengurus negara sudah saling berkelahi” begitulah kesimpulannya. Bahkan ditampilkan nara sumber yang mengarahkan pada kesimpulan tersebut. Mulai dari wawancara mantan ketua DPW Partai NASDEM provinsi Jakarta yang sangat keras dan akhirnya mengundurkan diri menyusul Hary Tanoe. Para awak media menyorot secara detail pengunduran diri ratusan anggota partai di sekretariat pusat. Bahkan angel foto nya diambil dari tengah kerumunan supaya terkesan ramai membludak.
Perbedaan mencolok bila ditilik dari pers dengan keberpihakan yang berseberangan. Sebagian pers menampilkan seolah-olah perbedaan diantara kader hanyalah hal biasa. Bahkan ditayangkan gambar anggota kongres Partai Nasdem yang tengah tertawa santai, menandakan tidak ada suatu keguncangan internal yang berarti. Selanjutnya selang beberapa hari muncul liputan eksklusif kongres Partai Nasdem menampilkan kehebatan Surya Paloh berorasi. Sebagai penunjangnya diselipkan berita bergabungnya O.C Kaligis sebagai advokat senior ke dalam partai ini. Bahkan dituliskan pula bahwa terdapat ratusan mantan aktivis ’98 memilih satu barisan bersama Partai NASDEM.
Kedua framing (pembingkaian) yang ditampilkan masing-masing media terlihat begitu terang ketidaksamaanya. Walaupun pada dasarnya informasi dan fakta lapangan yang diliput sama. Inilah kenapa begitu penting dirasa masyarakat memiliki dasar dalam menganalisis bagaimana frame sebuah surat kabar. Setidaknya di era media partisan ini, masyarakat jangan teralu cepat mengambil kesimpulan kebenaran terhadap penampakan muka sebuah surat kabar.
Bahan bacaan:
1. Analisis Framing karya Eriyanto
2. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa karya Ibnu Hammad
3. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi karya Onong Uchjana
Media Agen Politik
Oleh: Teguh Estro* Keberadaan pers memiliki sejarah yang erat terhadap berlangsungnya kehidupan manusia. Khususnya sejak era Perang d...
Teguh Estro
Selasa, 29 Januari 2013