Oleh: Teguh Estro*
Krisis Timur Tengah memang tak kunjung berujung. Akhir-akhir ini bergulirnya Arab Spring masih membawa pengaruh psikologis-politis terhadap negara-negara arab. Berawal dari revolusi Tunisia, menjalar ke Libya sampai kepada Mesir yang bergejolak memakzulkan Husni Mubarok. Kondisi perubahan tampuk kepemimpinan itulah yang merubah peta politik kawasan padang pasir ini.
Jatuhnya rezim di negara-negara arab membuat peta geopolitik dan geostrategi sulit tertebak. Termasuk salah satunya di negara Suriah. Belakangan ini perhatian publik terarah pada memanasnya seteru loyalis Bashar al-Assad dan pasukan oposisi. Secara internasional, perang saudara ini tidak terlepas dari perebutan pengaruh Amerika Serikat dan Rusia. Pihak pemerintah yang mendapat pengaruh Rusia, China dan akhir-akhir ini ditambah Iran. Sedangkan pihak oposisi didukung oleh Amerika Serikat dan Perancis.
Konstelasi politik timur-tengah memiliki dampak terhadap dunia internasional. Sebut saja prahara minyak yang masih menjadi barang panglaris di pasar dunia. Perebutan sumur-sumur minyak kerap memicu kegagapan sikap negara-negara besar. Sedangkan ketegangan antar negara merupakan unsur paling dominan yang mempengaruhi harga pasar. Tentu saja pihak yang paling merasa dirugikan yakni mereka dengan konsumsi energi terbesar di muka bumi. Amerika Serikat pada urutan pertama disusul Republik Rakyat China (RRC) yang baru saja awal tahun 2004 mengalami penaikan konsumsi drastis. Sehingga tidak aneh kiranya negara-negara besar terpaksa masuk dalam pusaran konflik timur-tengah.
Semua negara besar memiliki kepentingan masing-masing di setiap konflik negara timur tengah, termasuk krisis Suriah. Sehingga wajar saja bila pelbagai manuver dilakukan baik itu secara politik, militer bahkan strategi media. Dan perang antar media sudah bukan hal baru di kawasan arab. Ada empat media Internasional yang mendominasi pemberitaan selama ini. Yakni, 1) BBC (British Broadcasting Corporation) dari Inggris. 2) Reuters dari London, Inggris. 3) CNN (Cable News Network) dari Amerika Serikat dan 4) Al-Jazeerah dari Qatar. Sudah jamak kiranya kantor berita satu dan lainnya terjadi praktik back campaign. Al-Jazeera misalnya yang kerap tersematkan sebagai corongnya al-Qaeda. Puncaknya tatkala terjadi pengeboman kantor berita mereka di Iraq saat Invasi Amerika terhadap pasukan almarhum Saddam Husein.
Keempat kantor jurnalistik tersebut bukan sekedar meliput berita, tetapi menjadi rujukan dunia sebagai sumber berita. Termasuk dalam hal ini pemberitaan terkait krisis Suriah. Tentu saja terdapat dua kutub mainstream cara media tersebut mebingkai berita. Pertama, bagi media yang berpihak kepada pemerintah akan mengambil sudut pandang adanya pemberontak yang menjadi musabab chaos di negeri yang dulunya bernama Syam itu. Kedua, bagi pers yang menjadi corong oposisi, tentu akan mengambil case pembantaian sipil oleh militer sebagai angelnya.
Penyaduran Berita a la Indonesia.
Sudah jamak diketahui bahwa kabar timur tengah selalu ‘seksi’ untuk dijadikan pendongkrak oplah para awak media. Termasuk media di Indonesia yang tidak mau alpa dalam memberikan asupan info pada warganya. Sebut saja Surat Kabar Harian Republika yang begitu serius memberikan space lebih terhadap pemberitaan timur tengah. Bahkan bidang redaksi menyediakan satu tempat khusus, yakni rubrik ‘Internasional’.
Media yang pendiriannya digawangi oleh Zaim Uchrowi ini selalu menampakkan ketegasannya berpihak pada kepentingan umat Islam. Begitupun kala mengawal fenomena Arab Spring akhir-akhir ini. Sedari revolusi di Tunisia, Libya, Mesir hingga Suriah saat ini, Republika terlihat lebih dominan tinimbang lainnya.
Pangsa pasar Republika di Indonesia terdiri atas varian klasifikasi. Bukan semata para intelektual muslim yang mengkonsumsinya, kalangan masyarakat menengah ke bawah juga menjadi pembaca. Sehingga bisa saja mengalami random dalam penyebaran informasi. Kondisi ini memungkinkan terjadi misperception dalam menerjemahkan maksud berita terutama bagi kalangan yang belum memahami konteks realitasnya. Apalagi bila erat kaitannya dengan berita luar negeri, bahkan bukan bersumber dari liputan primer. Maka warga lokal yang buta kondisi internasional tentu tidak memiliki filter dalam membaca berita.
Selama ini sebagian besar pers di Indonesia dalam memburu berita timur tengah kerap membelinya dari kantor berita Reuters, termasuk Republika. Bahkan dalam peliputan info Suriah, media yang berdiri pada 4 Januari 1993 ini bersumber 100% dari kantor berita Reuters. Maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana warga lokal mampu menginterpretasi maksud dari sebuah berita yang sulit mereka konfirmasi kebenarannya. Dengan tegas peneliti menawarkan pentingnya suatu analisis sebagai alat bantu bagi pembaca terhadap berita internasional. Terutama kabar timur tengah nan sarat tarik-menarik kepentingan politik.
Tidak ada komentar