[Tolong Baca Hingga Usai, Agar Tidak Salah Persepsi]
Oleh: Teguh Estro
Andai menyebut
andai mencoba berumpama. Jikalau dihadapkan pada problem yang sama dengan Nabi
Adam a.s tentulah sudah lama tubuh ini sakit-sakitan. Hidup menyendiri bertahun-tahun di dunia ‘terkatung-katung’ terpisah dari sang Isteri. Apakah sang suami dari
bunda Hawa ini juga pernah mengalami titik nadirnya. Maksud lebih dalam kembali
mempertanyakan. Apakah para nabi juga pernah menatap persimpangan
keputus-asa-an? Pernahkah utusan langit ini sempat memikirkan berhenti dari
tugasnya? Sebuah jawaban yang mungkin ‘kontroversi’, bahwasannya Adam, Idris, Nuh dkk itu sedikit sekali kemungkinan berputus asa, kata kuncinya ada pada ‘fasilitas’ spiritual yang
didapat sebagai paket kenabian.
Berangkat dari perasaan ketidak-adil-an, hanya perasaan. Serasa
tidak adil manakala para Nabiyullah a.s diberi banyak keistimewaan. Mereka
memiliki ‘fasilitas’ spiritual yang berbeda sekali dengan manusia biasa.
Menerima wahyu, diberi mukjizat bahkan bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Pun seumpama
para nabi ini sedikit tergelincir, telah siap malaikat Jibril yang
mengingatkan. Melihat sepintasnya saja sungguh terbesit iri hati dengan
kemudahan-kemudahan itu.
Ke-iri-dengki hati ini lekas hilang setelah menemukan pertanyaan
berikutnya dalam pemaknaan sejarah para Nabi. Sebenarnya penulis ‘agak-agak’
takut juga bila mengkritik para nabi. Tapi bila mengkritik ahli syurga ini justru
membuat sadar diri, maka itu lebih baik. Akhirnya terpikirkan sebuah keganjilan
yang kedua tentang perjuangan anbiya’ wal mursalin. Yakni,
bagaimana metode mereka sehingga bisa menjaga kesabarannya hingga ajal
menjemput.
Ada nabi yang
hidup (menjadi hinaan umatnya), derita psikologis bukan satu atau dua tahun,
tapi 950 tahun. Juga terceritakan Ibrahim a.s dibakar hidup-hidup, dimusuhi
keluarga, terusir dari kampungnya. Ada pula dari mereka mendapat ujian yang
tampaknya mustahil bisa dilewati oleh penulis. Adalah Yusuf a.s dihadapkan pada
seorang permaisuri cantik yang minta ‘dizinahi’ di dalam ruangan yang tidak ada
manusia lain. Pun tidak sedikit Nabi yang dikejar-kejar sampai dbunuh oleh
umatnya.
Barulah terjawab,
sungguh terlepas dari keistimewaan yang didapat. Para Nabi telah membayarnya
dengan perjuangan yang sulit ditiru. Menurut pendapat subyektif penulis,
kesabaran yang mereka lakukan tidak lain juga mukjizat yang tak kalah ‘gila’. Padahal
kala itu belum ada profesi motivator bayaran dengan seminar-seminarnya.
Awalnya penulis
bermaksud dengan tulisan ini hendak menceritakan kesedihan-kesedihan yang
belakangan ini menumpuk. Namun serasa malu menuliskannya jika disandingkan
dengan kisah lara para nabi. dan entah kenapa, selepas pulang dari masjid subuh
tadi, begitu pas sekali membaca alQur’an surah Yusuf ayat 87. “Wa la tay asu……”
dalam hati kerap bergumam kok bisa pas banget bacaan tilawah pagi ini dengan keresahan hidup setiap harinya.
Tidak ada komentar