oleh: Teguh Estro*
Dalam bukunya Muqaddimah, Ibn Khaldun mengungkapkan mengenai tradisi hidup Wong Ndeso. Namun dalam redaksinya, bapak Sosiolog Islam ini menggunakan istilah ‘orang Badui’. Yakni, mereka yang bermukim jauh dari kemewahan kota-kota besar. Mereka yang hidup bergantung dan bergelut pada alam (di arab tentu saja hidup di gurun). Ibnu Khaldun menganalisis bahwa penduduk desa adalah basis dari penduduk kota. Artinya tradisi dan peradaban ala Wong Ndeso telah lebih dulu ada tinimbang penduduk kota.
Salah satu catatan dalam buku Muqaddimah mengatakan bahwasannya Wong Ndeso lebih memiliki keberanian alami daripada orang kota. Mereka terbiasa hidup di alam tanpa ada tembok tinggi mengelilingi ‘gubug’nya, tanpa ada body guard yang mengawalnya. Kebiasaan mempertahankan diri dengan kekuatan dan persenjataan sendiri itulah yang memupuk jiwa keberanian secara alami. Sehingga wajar jika ada Wong Ndeso yang terbiasa keluar masuk hutan di tengah malam hanya bermodalkan seonggok parang (pisau panjang) saja. Karena memang sejak kecil, mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan primer dari alam. Dan sebaliknya, Ibn Khaldun mewanti-wanti para penduduk kota agar jangan terlena dengan kemewahan. Pasalanya hidup serba instan yang dijalani masyarakat kota justru perlahan membunuh keteguhan jiwa mereka. Bayangkan saja mulai dari urusan perut, mereka telah menggunakan jasa cathering, langsung santap. Selanjutnya sandang yang dipakai sehari-hari di kerjakan oleh jasa laundry. Hingga dalam urusan keamanan, masyarakat kota khususnya penghuni komplek-komplek dan apartemen, menyerahkannya pada security bayaran untuk menjaga 24 jam. Pramilo tidak heran jika insan perkotaan lebih ‘lembek’ jiwanya dalam menghadapi keganasan hidup.
Ibnu Khaldun juga memaparkan mengenai tabiat alami wong Ndeso. Mereka lebih mudah dalam menerima nasihat kebaikan. Hal tersebut lantaran adanya tradisi ‘nggak neko-neko’ dalam melangkah. Kalau memang masyarakat menganggap baik mengenai suatu urusan, ya sudah jalankan saja. Namun hal yang berbeda jika kita lirik mengenai watak masyarakat perkotaan. Sejak kecil, penduduk kota telah mengenal banyak referensi penyimpangan-penyimpangan sosial. Dan alam bawah sadar mereka cenderung memberikan ‘label kelaziman’ akan banyaknya deviasi sosial. Sehingga mereka sudah tidak begitu menghormati lagi adanya nasihat-nasihat agar berlaku sesuai norma. Apalagi masyarakat kota pun tidak jarang nyambi sebagai pelaku kejahatan. Sebut saja kaum miskin kota, mereka dipaksa memilih jalan hidup antara pengemis, pengamen nyambi sebagai pencopet jalanan. Pun sama halnya orang ‘terlanjur kaya’ di perkotaan. Mereka lebih memiliki kesempatan dan lingkungan yang mendukung untuk mencicipi dunia kejahatan. Lantaran fasilitas untuk perjudian, korupsi hingga prostitusi mampu mereka jangkau dengan pembayaran yang cukup.
Tidak ada komentar