Menu
Teguh Indonesia

Ideologi Narsisme SBY

oleh : Teguh Estro*



Penampilan Tegap, berwibawa dan sedikit ganteng membuat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi figur yang perfect dipandang mata. Sang Arjuna, ya SBY bisa dijuluki sang Arjuna tatkala ‘nampang’ di media. Anggukan kepala teriringi ayunan tangan yang khas menjadi citra tersendiri bagi Presiden RI ini. Mungkin anak-anak muda suka menggunakan istilah kata ‘lebay’ jika mengomentari perform ketua dewan pembina partai Demokrat ini. Tutur bahasanya juga tersusun rapi dengan grammer yang apik.

Model pencitraan ala ‘pak BY’ ini mulai pamor di tengah-tengah menggeliatnya era media. Seorang kepala negara harus menjaga ketenarannya dengan tampil sempurna di depan kamera. Pasalnya pasca bergulirnya era kebebasan pers membuat pena para jurnalis bisa bebas menyiarkan apapun, termasuk gerak-gerik presiden. Jika sedikit saja SBY berbuat ulah tentu saja akan menjadi makanan empuk para redaktur dari berbagai institusi pers. Lihat saja bagaimana sang pimpinan republik ini tatkala menyampaikan pidato-pidatonya. Selalu mengutarakan berhasilnya kinerja kabinet pemerintahan. Majunya program-program para menterinya. Pun dalam beberapa kasus, sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak mengutarakan keberpihakannya. Semisal dalam kasus Bibit-Chandra, Skandal Century hingga ulah si Gayus. Entah disengaja atau tidak, ia kerap kali menyampaikan “Biarlah hukum yang menyelesaikannya”. Padahal pada masa itu ketegasan seorang pucuk pimpinan pemerintahan sangatlah dibutuhkan. Namun SBY tak jua bertindak, hingga akhirnya rakyat muak dengan sendirinya terhadap ‘Sinema’ kasus yang ada di media. Dan perkara tersebut kian terbengkalai tak jelas endingnya dalam hukum. Mengutip ucapan Bondan Prakoso “ Ya sudahlah…”

Ketampanan Presiden ke enam RI ini sungguh mampu menghipnotis rakyatnya. Berhasil atau tidaknya kinerja pemerintah selalu bisa dibungkus dengan manis oleh tutur kata. Bahkan mantan petinggi TNI tersebut kerapkali mengungkapkan posisinya sebagai pihak yang tertindas. Semisal pada masa presiden Megawati, SBY ‘sengaja’ keluar dari kabinet gotong royong. Dan publik dengan mudahnya mengasihani mantan Menkopolkam tersebut sebagai petinggi yang tertindas oleh Megawati. Akhirnya dengan modal citra sebagai orang yang tertindas, ia mampu meroket hingga menjadi pimpinan lembaga eksekutif Republik Indonesia. Jurus yang serupa juga digunakannya tatkala booming kasus terorisme bom kuningan dan bom hotel Marriot. SBY kembali memasang mimik muka melaske sembari menunjukkan foto wajah tampannya. Terpampang dalam foto tersebut wajahnya yang menjadi sasaran latih tembak para teroris. Dan lagi-lagi masyarakat bersimpati kepada orang nomor wahid di negara kesatuan ini. Karena telah muncul brand baru lagi, dirinya sebagai pihak yang harus dibela dan dilindungi dari para teroris.

Persoalannya apakah pola komunikasi publik yang dipertontonkan oleh SBY tersebut pantas dipertahankan. Semisal saat di daerah-daerah tengah bergiliran mendapatkan bencana alam. Para petinggi Istana negara hanya mengucapkan “Kami turut berduka cita”, Setelah itu selesai. Bantuan bencana barulah datang setelah setelah para korban mati kelaparan karena berhari-hari di tenda pengungsian tanpa makanan. Sedangkan pejabat pusat sibuk dalam rapat kabinet membahas berapa jumlah bantuan yang harus disumbangkan. Pun hal yang menyedihkan saat terjadi kerusuhan, cekcok antar warga, perang antar suku. Dengan santainya muncul kalimat “Kami menghimbau warga untuk menjaga perdamaian bla bla bla” setelah itu selesai. Seolah tugas duduk di kursi kepresidenan itu hanya asyik memberikan himbauan agar rakyatnya baik-baik saja. Sedangkan perselisihan antar suku, ras dan agama tetap memanas di daerah-daerah. Dan masih segar di telinga rakyat saat SBY ‘curhat’ soal gajinya yang tak kunjung naik selama tujuh tahun terakhir.

Hal sepele yang kadang terlupakan adalah adanya instruksi yang tegas dari pemimpin untuk menyelesaikan masalah. Berani mengambil resiko atas setiap keputusan yang diambil. Termasuk berani untuk tidak tersohor dengan mengutamakan hal-hal yang prioritas. Karena seringkali SBY lebih memilih bersikap terhadap isu-isu yang populis dan strategis saja. Sedangkan permasalahan rakyat yang butuh solusi cepat entah kemana. Ya itulah politik citra, politik ‘narsisme’ yang harus dikoreksi ulang.

Namun terlepas dari itu semua, SBY bukanlah sosok yang tanpa prestasi. Keberaniannya memberantas korupsi di kalangan elit pemerintahan pantas untuk diacungi jempol. Tentu saja di masa kabinet Indonesia bersatu inilah ada para menteri yang berskandal lantaran korupsi. Apalagi anggota dewan, tentu banyak yang terseret ke meja hijau. Dan akhirnya putra daerah kelahiran Pacitan Jawa Timur ini tetap kita harapkan. Semoga dalam kepemimpinannya di KIB jilid II ini bisa lebih baik. Salah satunya dengan lebih memikirkan solusi cepat untuk masalah bangsa. Bukan sekedar memikirkan citra pribadi di mata media.

Tidak ada komentar