Oleh: Teguh Estro*
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 telah berlalu dengan sekian kontroversinya. Bagi rakyat papua pro-NKRI, hasil plebisit itu sudah sah sebagai tindak lanjut dari New York Agreement. Bahkan telah ditandatangani oleh pihak Indonesia, Belanda dan PBB. Sehingga hasil PEPERA yang memenangkan NKRI dianggap sudah final. Akan tetapi hal lain juga berhembus. Bahwasannya referendum tersebut hanya akal-akalan TNI saja yang sudah membungkam rakyat Papua dengan senjata. Sampai saat ini berbagai pihak masih saling mengklaim mengenai kebenaran sejarah PEPERA 1969.
Hal yang sangat disayangkan, yakni tidak dimaksimalkannya peran Dewan Papua dalam New York Agreement tahun 1962 lalu. Sehingga pemaknaan kata Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) dalam Agreement tersebut dimaknai sepihak. Dan akhirnya sekarang kita mengenalnya dengan istilah PEPERA. Celah-celah seperti inilah yang digunakan secara politis oleh pihak-pihak separatis untuk memprovokasi rakyat papua. Para separatis bersikukuh bahwa aneksasi yang dilakukan RI merupakan penjajahan terhadap negeri cenderawasih.
Konflik di Indonesia paling timur ini cermin dari penanganan yang tak pernah tuntas. Jika hendak diruntut pasca diserahkan Papua dari pihak UNTEA ke NKRI selalu ditangani ‘setengah-setengah’. Dan tidak jarang selalu menggunakan pendekatan militer. malah kelihatannya pasukan keamanan justru tidak memunculkan rasa aman. Bahkan boleh jadi selama ini kelompok separatis sengaja memancing terjadinya baku tembak senjata. Lantaran mereka akan menggunakannya sebagai isu pelanggaran HAM oleh TNI dikemudian hari.
Sila ke-5 Segera Diterapkan
Terkait ‘kue kesejahteraan’ di provinsi yang dulu bernama Irian Jaya ini memang terabaikan. Masih ingat saat dua tahun sebelum PEPERA, Indonesia telah tanda tangan kontrak karya pertama kalinya dengan Amerika Serikat atas PT.Freeport. Sehingga wajar saja jika banyak pihak yang menyangka proyek tambang tersebut merupakan ‘suap pelicin’ dari Jakarta untuk Amerika agar memuluskan referendum. Dan tentu saja, Freeport adalah hak kesejahteraan rakyat papua yang tidak mereka cicip.
Pemerintah harus benar-benar melek agar tidak menjadikan Papua sebagai sapi perah. Karena salah-satu ‘janji’ yang diobral oleh OPM terhadap rakyat papua adalah diberikan rumah secara gratis bagi masyarakat. Sehingga benar-benar faktor kesenjangan sosial kudu diperhatikan. Dan Alhamdulillah syukur beberapa bulan yang lalu TNI sudah memulai itu dengan program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). Di sana para tentara tanpa banyak janji membangun rumah untuk warga. Dan sukses merebut hati rakyat di daerah-daerah basis pemberontak. Sehingga tidak jarang TNI yang tewas tertembak, karena separatis tidak menyukai program TMMD itu.
Kendatipun telah diberlakukan otonomi khusus di Papua, tetap saja belum menuai hasil memuaskan. Hal itu tidak lain lantaran tidak menyentuh kebutuhan yang paling mendasar, yakni peningkatan kesejahteraan warga. Begitupun dengan peran pihak intelijen yang belum maksimal mengawasi gerak-gerik para separatis disana. Sehingga pemerintah tidak sempat mengantisipasi setiap kejadian berikutnya yang bisa menimbulkan korban. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah program pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan. Dengan demikian terintegrasinya papua kedalam NKRI bukan seperti Sapi perah yang dibeli tuannya.
*Penulis sedang membaca lalu menulis lagi
Tidak ada komentar