oleh: Teguh Estro*
Soekarno mungkin dulu sempat di sebut-sebut sebagai guru bangsa paling berpengaruh di Indonesia. Ketika beliau orasi, semua pendengar tertegun dan terkesima. Setiap ia berkata, maka mulai dari pejabat hingga wong cilik meng-iya-kan saja. Namun, kini Soekarno telah redup pengaruhnya sebagai guru bangsa. Pasalnya di era informasi ini, justru televisilah yang menjadi guru bangsa terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. Lihat saja, sejak jam 6 pagi masyarakat Indonesia telah dicekoki dengan informasi-informasi dari siaran berita. Mulai dari penculikan, kebakaran, kerusuhan, pemerkosaan hingga sambutan-sambutan pejabat negara. Dan lucunya sang penonton hanya melongo saja sambil manggut-manggut mengiyakan isi beritanya. Begitupun pada siang harinya, sore, hingga malam hari, bangsa ini kembali disuguhi informasi-informasi dari chanel TV yang cuma itu-itu saja.
Suguhan informasi yang ditayangkan tanpa jeda akan membuat penonton kehilangan daya analisisnya. Bayangkan saja belum sempat penonton menganalisis berita yang satu, telah muncul lagi berita lainnya. Padahal tidak sedikit berita-berita yang disampaiakan adalah tayangan kontroversial. Dan dikarenakan penayangannya terlalu cepat, maka terpaksa penonton mengambil kesimpulan yang telah diarahkan oleh redaksi berita. Sehingga wajar jika otak manusia yang terbiasa menonton berita TV cenderung lambat dalam menganalisis informasi. Tumpulnya sifat kritis ini menyebabkan para penggemar berita televisi terjebak pada sempitnya pandangan. Ia cenderung hanya memiliki cara pandangan persis seperti apa yang disampaikan sang pembawa berita. Apalagi kita ketahui bersama bahwa hampir setiap siaran berita merupakan ‘berita titipan’ dari para pemilik industri televisi. Mereka ‘nitip’ pemberitaan yang menguntungkan partainya, ormasnya dan kepentingannya. Dan akhirnya lengkap sudah kejumudan orang-orang yang mengais informasi hanya dari televisi saja.
Tradisi menonton berita dari televisi sebenarnya tidaklah sepenuhnya salah. Karena mau tidak mau di era globalisasi ini manusia haus akan informasi. Namun yang terpenting adalah jangan sampai kita mengambil kesimpulan akhir tepat satu detik setelah berita selesai. Apalagi jika menonton berita dari TV justru melupakan tradisi berdiskusi antar sesama. Karena berdialog dan berdiskusi bisa menambah referensi cara pandang terhadap suatu masalah. Sehingga masyarakat tidak jumud pada persoalan bangsa. Dan masyarakat tidak gampang terprovokasi pada berita-berita kontroversial seperti belakangan ini.
Sudah saatnya masyarakat, apalagi mahasiswa bisa memfungsikan berita TV bukan sebagai sumber utama, namun sebagai referensi pembantu saja. Karena sangat berbeda dengan berita jika tersampaikan melalui media cetak. Pada media cetak, pembaca bisa berkesempatan menganalisis berita secara mendalam. Karena teks berita terpampang di hadapannya secara komplit dan bisa dibaca berulang-ulang sembari berdiskusi dengan teman. Dan alangkah lebih baiknya jika para pecandu berita TV bisa memiliki forum-forum diskusi baik di angkringan maupun di millis dunia maya. Harapannya agar penyakit ‘sempit pandangan’ masyarakat Indonesia bisa terobati perlahan-lahan.
Tidak ada komentar