Pesawat televisi bukanlah sekedar kotak berisi gambar dan suara saja. Dunia layar kaca memiliki peran yang lebih dari itu. Ia berperan besar sebagai sarana transformasi budaya bangsa. Sehingga apapun yang ditayangkannya tentu akan mempengaruhi karakter banyak orang. Karena masyarakat cenderung akan meniru hal-hal yang menjadi lumrah di mata publik. Dan televisilah yang hingga saat ini masih menjadi acuan mengenai ke’lumrah’an sesuatu bagi publik. Namun sayang, televisi sebagai ’guru bangsa’ kini tak bisa banyak diharapkan.
Pada era persaingan pasar kini, para pemilik modal tentu saja akan lebih mengutamakan keuntungan. Alhasil, tayangan-tayangan yang kurang mendidik kian gencar menghiasi layar kaca. Alasanya sederhana, karena rating-nya yang tinggi dan menghasilkan banyak rupiah. Hal tersebut tentu berdampak buruk pada konsumsi tontonan anak bangsa. Bagaimana mungkin mengharapkan generasi muda beretika, jika selalu dicekoki sinetron kekerasan rumah tangga. Belum lagi tayangan lawak yang hanya mengandalkan kosa kata ’saru’ untuk mengocok perut pemirsa. Pun geliat infotainment yang gemar mengkampanyekan gaya hidup artis nan hedonis. Lantas, dimanakah peran televisi sebagai sarana pendidikan....?
Mendidik masyarakat tidaklah selamanya dimaknai dengan menyampaikan pelajaran-pelajaran di bangku sekolah. Namun dengan menampilkan contoh hidup berkelakuan baik, itupun bisa disebut mendidik. Bahkan mendidik yang disertai contoh langsung, justru dapat memberikan pengaruh lebih bagi masyarakat. Bukankah pendidikan semacam itu justru seharusnya mampu dilakukan oleh media televisi. Melalui racikan gambar dan suara, pesawat mungil ini bisa menyihir jutaan pemirsa. Bayangkan saja jika banyak anak-anak bangsa yang menjadi juara olimpiade Internasional lantaran rutin mengkonsumsi tayangan-tayangn sains dan kuis-kuis yang mencerdaskan. Sungguh metode pendidikan yang fantastis.
Seiring kian bobroknya moral anak bangsa, seharusnya dunia layar kaca mulai berkaca. Saatnya mengembalikan peran media pada ’khittah’nya, yaitu menjadi guru bangsa. Selama ini tayangan-tayangan yang dianggap religius justru kemasannya kurang menarik, kaku dan tidak humanis. Sehingga televisi harus berani membuat program edukasi yang bisa digemari. Jangan sampai hanya menayangkan program yang penuh pembodohan.Termasuk mengurangi sinetron yang mengajarkan kekerasan rumah tangga dan menghapus berbagai reality show kacangan.
Perusahaan televisi harus lebih mengutamakan program-program yang bergizi. Mulai dari memilih production house yang berkualitas. Selanjutnya memiliki tim kreatif yang handal di setiap program acara. Sampai benar-benar memfungsikan editor sebagaimana perannya, termasuk jangan ragu-ragu memotong cuplikan yang tidak layak tayang. Selanjutnya pihak televisi harus rutin meninjau perkembangan dampak baik dan buruk tayangan bagi pemirsa. Sehingga kualitas siaran benar-benar teruji.
Pemerintah dalam hal ini memiliki peran sebagai pengawas content informasi. Sebut saja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seharusnya menjadi lembaga filter terhadap segala penyiaran di Indonesia. Namun lembaga yang dibentuk pemerintah itu kini kian ciut saja menghadapi desakan kaum elite media. Tayangan-tayangan khusus dewasa banyak bermunculan di layar kaca saat jam tayang prime time tanpa sensor. Padahal saat itu anak-anak kecil tengah asyik terpaku persis di depan televisi. Sehingga setidaknya KPI harus memperketat lagi sensor terutama pada saat jam tayang anak-anak.
Masyarakat Indonesia sebenarnya bukanlah objek yang sekedar menjadi penonton industri pertelevisian. Peran pemirsa justru sangat vital sebagai penilai obyektif terhadap content tayangan. Jika terdapat penyimpangan sekecil apapun segera laporkan pada pihak KPI di daerah masing-masing. Sehingga masyarakat mampu menjadi kontrol bagi media televisi.
Sepakat. Andaikan saja sekarang umat Islam memiliki stasiun televisi sendiri....
BalasHapuspasti manfaatnya akan jauh lebih banyak insyallah.